Rabu, 27 Juni 2012

Carpal Tunnel Syndrome

Setelah kami menyinggung masalah Carpal Tunnel Syndrome tidak ada salahnya kami membahas lebih jauh masalah CTS ini.
Bagi anda yang sering mengggunakan komputer baik untuk bekerja atau bermain, waspadailah penyakit yang satu ini, yang sering disebut penyakit CTS (Carpal Tunnel Syndrome).
Carpal Tunnel Syndrome adalah penyakit yang terjadi pada pergelangan tangan serta jari yang disebabkan oleh tekanan yang sering terjadi pada bagian tersebut. Dan biasanya sering diakibatkan karena terlalu sering memakai keyboard dan mouse.
Walaupun banyak penyebab lainnya tetapi pemakaian komputer yang terlalu sering menjadi salah satu penyebab yang paling banyak terjadi untuk penyakit persendian pergelangan tangan ini.


Tanda-tandanya antara lain seperti sering pegal dan atau nyeri pada bagian pergelangan tangan maupun juga jari tangan, terutama pada bagian ibu jari, telunjuk dan jari tengah.
Wanita bahkan mempunyai resiko 3 kali lipat lebih banyak untuk terkena Carpal Tunnel Syndrome dibandingkan dengan pria.
Hal terburuk yang mungkin terjadi?? jangan dianggap enteng dengan masalah CTS ini karena bisa saja CTS mengakibatkan putusnya sendi pergelangan tangan sehingga tangan tidak dapat berfungsi dengan sebagaimana mestinya bahkan mungkin tidak dapat digerakkan sama sekali.
Apakah Carpal Tunnel Syndrome dapat disembuhkan? Tentu saja, misal dengan terapi (therapy) dan sebagainya tetapi lebih baik kita mencegah terlebih dahulu sebelum terkena penyakit CTS ini.
Salah satu cara untuk melakukan pencegahan adalah dengan cara mengetahui bagaimana duduk yang benar dan baik serta posisi tangan pada saat menggunakan keyboard atau mouse.
Anda dapat melihat ilustrasi di bawah ini beserta penjelasannya.
1.
Jarak Pandang antara mata dengan komputer minimal 60 cm
2.
Pandangan antara mata ke monitor harus mengarah sedikit ke bawah

atau sekitar 5-15° lebih rendah dari posisi horisontal pandangan mata
3.
Usahakan menghindari pantulan lampu atau cahaya yang masuk ke

monitor
4.
Posisi tangan di atas keyboard harus membentuk sudut 90 derajat (lihat

gambar) begitu juga kaki
5.
Atur bangku anda sehingga posisi tangan menjadi sejajar dengan meja

ketika anda menggunakan keyboard
6.
Jangan menggunakan komputer tanpa henti (lebih dari 2 jam), berdiri,

sedikit olahraga (strecthing) dan berjalanlah sebentar (1 menit) secara

periodik sebelum melanjutkan pekerjaan anda

7.
Gunakan penyangga mouse dan atau keyboard untuk kenyamanan anda
8.
Gunakan penyangga kaki bila diperlukan
9.
Gunakan kursi yang dapat menyangga posisi punggung anda


Tidak mudah memang untuk melakukan semua itu diatas, apalagi bila berhubungan dengan istirahat pada saat kerjaan menumpuk dan kemungkinan besar kita akan lupa waktu.

Calcaneus Spur

Definisi Calcaneus Spur
Secara harafiah, calcaneus spur artinya, bagian tulang yang mengeras menjadi taji. Jadi calcaneus spur adalah pembentukan tulang kecil seperti taji di tumit.
Penyebab
Penyebab pasti dari calcaneus spur masih belum bisa dipastikan. Namun, banyak ahli medis yang berpendapat jika kondisi ini berhubungan dengan trauma atau benturan dalam waktu yang lama dan frekuensi yang cukup sering pada tumit di masa muda. Karenanya, calcaneus spur banyak dikaitkan dengan para atlet. Bahkan ada yang menyebut jika kondisi ini ini merupakan penyakit para atlet.
Namun anggapan tersebut tidaklah mutlak. Pada atlet ternyata jarang ditemukan calcaneus spur. Lalu jika dilihat dari segi usia, kondisi ini tidak hanya diderita oleh kaum usia tua. Banyak kaum muda yang terkena penyakit ini.
Selain itu, tak jarang ditemukan kelainan tulang tumit pada masyarakat non atlet akibat penggunaan sepatu yang tidak sesuai dengan anatomi kakinya. Karenanya, calcaneus spur dapat menyerang siapa saja.


Gejala
Pengidap calcaneus spur belum tentu merasa bermasalah dengan kakinya. Bahkan sangat mungkin tidak merasakan keluhan apapun meski sudah terbentuk taji di tulang tumitnya. Adapun gejala yang sering timbul adalah nyeri di tumit sewaktu bangun pagi atau sesudah duduk. Menapakkan kaki pertama kali setelah bangun tidur yang acapkali membangkitkan nyeri tumitnya. Hal ini merupakan pertanda khas pada kasus calcaneus spur.
Pada beberapa kasus, keluhan nyeri juga acap muncul setelah duduk atau berbaring lama. Keluhan juga bisa muncul setelah kaki menapak ke lantai lagi setelah lama tidak menapak. Seiring berjalannya waktu, rasa sakit ini bisa mereda pada siang hari. Intensitas rasa sakit bervariasi, bisa ringan sampai berat. Rasa nyeri ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap kehidupan penderitanya. Selain tidak leluasa melakukan aktifitas, gerakan tubuh pun jadi terbatas karena calcaneus spur.
Karena seringkali muncul tanpa gejala, para penderita tidak tahu jika dirinya terkena penyakit ini. Cara untuk mendeteksi kondisi ini dengan melakukan pemeriksaan sinar X. Hasil pemeriksaan akan menunjukkan seberapa besar taji yang sudah tumbuh. Akan tetapi, besarnya taji yang tumbuh tidak ada hubungannya dengan nyeri. Misalnya, taji di kaki kiri lebih besar daripada kaki kanan. Tapi, kaki kanan lebih terasa nyeri dibanding kaki kiri.

Penanganan
Jika sudah terdiagnosis terkena calcaneus spur, ada beberapa cara yang bisa ditempuh untuk mengatasinya. Cara paling sering dianjurkan oleh ahli medis adalah mengatasinya bisa dengan obat penghilang nyeri golongan non steroid anti inflammation (NSAID) yang banyak jenis dan mereknya di pasaran.
Cara lain seperti fisioterapi ataupun pemakaian heelcup (viscoheel), yaitu sol yang diletakkan di sandal atau sepatu bisa ditempuh. Pada fase yang sudah akut, dianjurkan untuk sering mengompres tumit dengan es.
Jika setelah dua sesi pengobatan masih terasa nyeri, dapat diberikan injeksi pada tumit. Injeksi ini hanya dilakukan pada pasien yang sudah merasa sangat nyeri pada tumitnya. Akan tetapi, harus diingat efek samping dari injeksi pada setiap orang. Pasien tidak dianjurkan untuk melakukan injeksi lebih dari tiga kali dalam setahun.
Pada kasus calcaneus spur, tindakan operasi tidak dianjurkan. Meski saat ini kemajuan teknologi kedokteran sudah dapat membuang taji dengan sayatan kecil. Namun, melihat hasilnya yang belum optimal, tindakan operasi tidak diutamakan dalam penanganan calcaneus spur.

Demam Berdarah


42-15710894 Demam berdarah adalah salah satu penyakit yang sudah ada lama di dunia. Penyakit dengan gejala yang serupa ditemukan di ensiklopedia medis dari Cina tertanggal tahun 992. Kota-kota pelabuhan abad 18 dan 19 menciptakan kondisi lingkungan yang sesuai bagi pertumbuhan nyamuk demam berdarah. Nyamuk dan virus yang berperan dalam penyakit ini terus menyebar ke berbagai daerah baru dan telah menyebabkan banyak epidemi di seluruh dunia. Salah satu epidemi Demam Berdarah pada Anak yang paling pertama terjadi di daerah Asia Tenggara.
Perlu diketahui terlebih dahulu oleh ibu-ibu, Demam Berdarah Dengue itu tidak menyerang setiap waktu. Demam Berdarah Dengue juga tergantung dari musim yang ada saat itu. Demam Berdarah Dengue terutama terjadi pada saat musim hujan. Di Indonesia dengan iklim tropis dan curah hujan tinggi, DBD sudah menjadi “langganan” setiap tahun. Angka kejadiannya paling tinggi pada musim penghujan yaitu sekitar bulan Februari, Maret, dan April. Di pedesaan, peningkatan kasus sudah mulai terjadi di bulan Desember, sedangkan untuk perkotaan, puncak terjadi pada bulan Mei-Juni.
Ingat, Demam saja ada banyak penyebabnya. Bisa karena infeksi saluran pernafasan seperti pilek, radang amandel maupun penyakit amandel (tonsilitis). Infeksi bisa juga menyerang telinga, saluran kencing, saluran pencernaan, dan lain-lain. Pendeknya, apa saja bisa diserang oleh virus dan bakteri. Demam itu adalah pertanda adanya infeksi, dan tubuh sedang memerangi virus atau bakteri yang menyebabkan penyakit tersebut. Demam satu hari tidak menjadi indikasi perawatan di Rumah Sakit.Di rumah, anak harus dipastikan minum banyak cairan dan dipantau suhunya setiap hari. Jika demam berlanjut, orang tua untuk datang kembali di hari ke-3 demam untuk melakukan pemeriksaan laboratorium.
Demam berdarah pada anak sebenarnya disebabkan oleh infeksi virus dengue tipe 1-4, ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti betina (dominan) dan beberapa spesies Aedes lainnya. Nyamuk ini kakinya belang-belang putih-hitam dan mengigitnya justru di siang hari. Tidak semua orang yang terkena virus dengue akan mengalami demam dengan gejala berat, sebagian lagi hanya sakit ringan. Di Indonesia sendiri, keempat tipe virus Dengue dapat ditemukan, dan yang dihubungkan dengan gejala DHF yang parah adalah tipe 3. Kekebalan (imunitas) terhadap satu jenis virus tidak berlaku untuk infeksi jenis virus lainnya. Jumlah kasus DHF utamanya meningkat pada musim hujan dimana sumber air bersih bagi perkembangbiakan nyamuk Aedes tersedia dimana-mana, jika tidak dilakukan program pembersihan lingkungan yang baik.
Virus Dengue
Virus dengue melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti betina dan Aedes albopictus. Aedes aegypti adalah vektor yang paling banyak ditemukan menyebabkan penyakit ini. Nyamuk dapat membawa virus dengue setelah menghisap darah orang yang telah terinfeksi virus tersebut. Sesudah masa inkubasi virus di dalam nyamuk selama 8-10 hari, nyamuk yang terinfeksi dapat mentransmisikan virus dengue tersebut ke manusia sehat yang digigitnya.
GEJALA AWAL
Banyak yang berpendapat bahwa gejala Demam Berdarah pada Anak itu adalah dengan munculnya bintik-bintik merah di kulit yang tidak hilang meski kulit diregangkan, gusi berdarah, mimisan, dan tinja berdarah. Bintik-bintik merah di kulit bisa muncul sendiri atau dibuat muncul dengan uji bendung. Biasanya uji bendung dilakukan dengan menggunakan alat pengukur tekanan darah yang digembungkan di seputar lengan hingga pembuluh darah tertekan. Bila positif, akan muncul bintik-bintik merah.
INGAT, TIDAK SELURUH DEMAM BERDARAH PADA ANAK MEMPUNYAI UJI BENDUNG YANG POSITIF
Uji bendung yang positif menunjukkan bahwa telah terjadi kelainan konsentrasi di dalam darah.
Menurut “Info Penyakit Menular” yang dikeluarkan Departemen Kesehatan, ruam berupa bercak merah tidak selalu muncul pada hari pertama pasien mengalami panas tinggi. Bercak merah bisa muncul pada hari keempat sakit berupa bercak-bercak merah kecil seperti bercak pada penyakit campak. Kadang-kadang bercak merah hanya muncul pada daerah tangan atau kaki saja. Sementara pada awal panas, ruam yang muncul bisa berupa flushing (kemerahan pada muka, leher, dan dada).
Pada hari pertama, arah penyakitnya belumlah keliatan. Orangtua hanya perlu mengawasi kondisi fisik anak dan gejala-gejala lain yang menyertai demam. “Jika anak demam tapi tenang-tenang saja, masih bisa jalan, makan dan minum, bahkan bermain, maka orangtua tak perlu khawatir. Bahkan kalau perlu tidak usah menurunkan demamnya. Cukup diberi air minum yang banyak. Obat penurun panas baru perlu diberikan jika anak merasa gelisah dan tidak nyaman dengan kondisi panasnya. Tetapi jika anak misalnya cenderung lemas, muntah-muntah, dehidrasi, tidak mau makan, dan sangat rewel sebaiknya orangtua mulai waspada, terlebih lagi jika anak mulai mengalami gejala sesak nafas atau ada bintik merah di permukaan kulit, dan sebagainya. Jika gejala ini muncul, anak harus dibawa ke dokter.
Jika demam terusmenerus selama 3 hari dan mendingin pada hari ke 4 dan 5 disertai menggigil hebat, bisa jadi itu adalah Demam Berdarah pada Anak.
Gejala yang harus diwaspadai:
  • Demam tinggi mendadak, >38° C, 2-7 hari
  • Demam tidak dapat teratasi maksimal dengan penurun panas biasa
  • Mual, muntah, nafsu makan minum berkurang
  • Nyeri sendi, nyeri otot (pegal-pegal)
  • Nyeri kepala, pusing
  • Nyeri atau rasa panas di belakang bola mata
  • Wajah kemerahan
cairan-infus Trombosit turun belum pasti Demam Berdarah pada Anak.
Pemeriksaan darah yang dilakukan terlalu dini (misalnya demam baru satu hari) belum bisa memperkirakan apakah benar anak terkena DEMAM BERDARAH DENGUE, karena trombosit dan hematokrit masih normal. Panas hari ketiga penurunan trombosit bisa dideteksi. Kalau normal 150.000-400.000/ul darah, hari ketiga turun jadi 100.000-150.000/ul, hari keempat 50.000-100.000/ul hari kelima kurang dari 50.000/ul atau jumlah trombosit terendah. Hemokonsentrasi, yaitu pengentalan darah akibat perembesan plasma (komponen darah cair non seluler), ditandai dengan nilai Hematokrit (Hct) yang meningkat 20% dari nilai normalnya. Kadar hematokrit penanda kebocoran pembuluh darah, terus meningkat dan puncaknya pada hari kelima. Jumlah hematokrit normal tergantung umur, janis kelamin, dan berat badan.
Dengue Syok Syndrome
Syok Demam Berdarah
Demam mendadak turun, ujung-ujung jari teraba dingin, denyut nadi kecil dan cepat serta tekanan darah menurun dan anak tampak lemas. Semua ini terjadi akibat cairan merembes ke luar dari pembuluh darah. Anak seolah-olah kekurangan cairan darah dan sirkulasi tubuh menjadi gagal berfungsi. Akhirnya anak mengalami syok. Tandanya, kulit teraba dingin terutama ujung jari dan kaki, biru di sekitar mulut, anak gelisah sekali dan lemas, nadinya lemah dan cepat bahkan bisa tidak teraba denyutnya.
Pengobatan dan tatalaksana Demam Berdarah

Pengobatan lain yang dapat diberikan adalah kompres hangat dan penurun panas jika demam, vitamin penambah nafsu makan, antimuntah jika dibutuhkan. Perlu diingat juga bahwa penggunaan antibiotik tidak diperlukan pada kasus DHF murni (tanpa adanya infeksi bakterial).
Pengobatan DHF sesungguhnya bersifat suportif dan simtomatik, artinya tidak memerlukan obat untuk kausanya (seperti antivirus). Yang paling ditekankan adalah nutrisi dan hidrasi alias makan dan minum yang cukup. Lebih ditekankan untuk minum yang banyak, untuk mengatasi efek kebocoran plasma darah dan meningkatkan jumlah trombosit. Bila kaki dan tangan dingin, tanda terjadi shock, atasi dengan infus atau minum sebanyak-banyaknya.
Hari keenam jumlah trombosit meningkat dan kembali normal pada hari kedelapan. Hematokrit juga berangsur turun dan normal kembali pada hari yang sama. DHF umumnya akan mengalami penyembuhan sendiri setelah 7-8 hari, jika tidak ada infeksi sekunder dan dasar pertahanan tubuh penderitanya memang baik. Tanda penyembuhan antara lain meliputi demam yang turun perlahan, nafsu makan dan minum yang membaik, lemas yang berkurang dan tubuh terasa segar kembali.
Pencegahan
Tindakan paling efektif adalah dengan mengontrol keberadaan dan sedapat mungkin menghindari vektor nyamuk pembawa virus dengue. Pencegahan Demam Berdarah pada Anak dapat dilakukan dengan mengendalikan jumlah nyamuk, antara lain dengan menguras bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu, mengganti/menguras vas bunga dan tempat minum burung seminggu sekali, menutup dengan rapat tempat penampungan air, mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah, dan perbaikan desain rumah. Nyamuk pembawa virus dengue dapat dikontrol dengan menggunakan ikan pemakan jentik dan bakteri. Pengasapan (fogging) dapat membunuh nyamuk dewasa, sedangkan pemberian bubuk abate pada tempat-tempat penampungan air dapat membunuh jentik-jentik nyamuk. Selain itu dapat juga digunakan larvasida.
GERAKAN 3M
GERAKAN 3M
Penyakit Demam Berdarah pada anak belum diketahui obatnya maupun vaksinnya.
Masyarakat DIHARAPKAN berperan aktif mengambil peran memutuskan mata rantai penularan penyakit DBD agar penyebarannya dapat ditekan atau dicegah sedini mungkin dengan melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). PSN dilakukan melalui kegiatan 3 M Plus secara berkala minimal seminggu sekali di perumahan, tempat kerja, sekolah dan tempat-tempat umum lainnya.
3 M Plus adalah menguras tempat penampungan air/bak mandi, menutup rapat-rapat tempat penempungan air, mengubur barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan secara teratur seminggu sekali, plus memburu dan membunuh jentik nyamuk, mengenakan kelambu, menggunakan obat nyamuk, memasang kawat kassa dan menutup lubang potongan bambu.
Memberi pertolongan pertama apabila ada anggota keluarga yang menderita panas tanpa sebab yang jelas dengan memberi obat penurun panas atau mengompres dengan air hangat, memberi minum sebagai pengganti cairan yang keluar dari tubuh, selanjutnya penderita segera dibawa ke sarana kesehatan terdekat untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.
Fogging atau pengasapan hanya dilakukan oleh Dinas Kesehatan setempat secara selektif untuk penanggulangan terfokus di daerah yang ada penderita DBD yang sudah menular.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan demam berdarah pada anak selalu muncul tiap tahun yaitu Indonesia merupakan daerah tropis sebagai tempat yang sangat cocok untuk perkembangbiakan nyamuk Aedes  aegepty penular DBD dan musim hujan merupakan saat perkembangbiakan tercepat.
Faktor-faktor lainnya adalah kesadaran kebersihan lingkungan yang rendah, budaya menyimpan air di tempat terbuka pada sebagian besar masyarakat Indonesia memberikan tempat bagi nyamuk Aedes aegepty untuk berkembang biak, populasi penduduk yang padat serta mobilitas manusia yang tinggi juga menyebabkan penularan penyakit demam berdarah dengan cepat.

Chikungunya




Disaat musim hujan sekarang ini, serta kondisi cuaca yang sering berubah-ubah, membuat perkembangan jentik-jentik nyamuk dapat segera tumbuh dengan pesat. Berbagai penyakit yang dibawa melalui gigitan nyamuk dapat terjadi kapan saja dan di mana saja bila kita tidak dapat merawat kebersihan sekitar dan kesehatan kita.

Salah satu penyakit yang dapat ditimbulkan dari gigitan nyamuk adalah Demam Chikunguya. Chikungunya berasal dari bahasa Swahili berdasarkan gejala pada penderita, yang berarti (posisi tubuh) meliuk atau melengkung (that which contorts or bends up), mengacu pada postur penderita yang membungkuk akibat nyeri sendi hebat (arthralgia).

Penyebab Chikungunya

Penyebab penyakit ini adalah sejenis virus, yaitu Alphavirus  dan ditularkan lewat nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk yang sama juga menularkan penyakit demam berdarah dengue. Meski masih "bersaudara" dengan demam berdarah, penyakit ini tidak mematikan.
penyakit ini banyak ditemui dikawasan tropis seperti Asia dan Afrika.

Gejala penderita Chikungunya

Gejala utama Chikungunya adalah tiba-tiba tubuh terasa demam diikuti dengan linu di persendian.
salah satu gejala yang khas adalah timbulnya rasa pegal-pegal, ngilu, juga timbul rasa sakit pada tulangtulang, ada yang menamainya sebagai demam tulang atau flu tulang.

Secara mendadak penderita akan mengalami demam tinggi selama lima hari, sehingga dikenal pula istilah demam lima hari. Pada anak kecil dimulai dengan demam mendadak, kulit kemerahan. Ruam-ruam merah itu muncul setelah 3-5 hari. Mata biasanya merah disertai tanda-tanda seperti flu. Sering dijumpai anak kejang demam.

Pada anak yang lebih besar, demam biasanya diikuti rasa sakit pada otot dan sendi, serta terjadi pembesaran kelenjar getah bening. Pada orang dewasa, gejala nyeri sendi dan otot sangat dominan dan sampai menimbulkan kelumpuhan sementara karena rasa sakit bila berjalan. Kadang-kadang timbul rasa mual sampai muntah. Bedanya dengan demam berdarah dengue, pada Chikungunya tidak ada perdarahan hebat, renjatan (shock) maupun kematian.

Prognosa 

Masih banyak anggapan di kalangan masyarakat, bahwa demam Chikungunya atau flu tulang atau demam tulang sebagai penyakit yang berbahaya, sehingga membuat panik. Chikungunya tidak menyebabkan kematian dan kelumpuhan. Dengan istirahat cukup, obat demam, kompres, serta antisipasi terhadap kejang demam, penyakit ini biasanya sembuh sendiri dalam tujuh hari.

Masa inkubasi dari demam Chikungunya dua sampai empat hari. Manifestasi penyakit berlangsung tiga sampai 10 hari. virus  ini termasuk self limiting disease alias hilang dengan sendirinya. Namun, rasa nyeri masih tertinggal dalam hitungan minggu sampai bulan.

Pengobatan

Tak ada vaksin maupun obat khusus untuk Chikungunya
Dokter biasanya hanya memberikan obat penghilang rasa sakit dan demam atau golongan obat yang dikenal dengan obat-obat flu serta vitamin untuk penguat daya tahan tubuh. Bagi penderita sangat dianjurkan makan makanan yang bergizi, cukup karbohidrat  dan terutama protein serta minum sebanyak mungkin. Perbanyak mengkonsumsi buah-buahan segar. Sebaiknya minum jus buah segar.

Setelah lewat lima hari, demam akan berangsur-angsur reda, rasa ngilu maupun nyeri pada persendian dan otot berkurang, dan penderitanya akan sembuh seperti semula. vitamin peningkat daya tahan tubuh juga bermanfaat untuk menghadapi penyakit ini. Selain vitamin, makanan yang mengandung cukup banyak protein dan karbohidrat juga meningkatkan daya tahan tubuh. Daya tahan tubuh yang bagus dan istirahat cukup bisa membuat rasa ngilu pada persendian cepat hilang. Minum banyak air putih juga disarankan untuk menghilangkan gejala demam.

Bagaimana cara menghindari penyakit ini?

Cara menghindari penyakit ini adalah dengan membasmi nyamuk pembawa virusnya. nyamuk ini punya kebiasaan unik.

  1. Mereka senang hidup dan berkembang biak di genangan air bersih seperti bak mandi, vas bunga, dan juga kaleng atau botol bekas yang menampung air bersih.
  2. Serangga bercorak hitam putih ini juga senang hidup di benda-benda yang menggantung seperti baju-baju yang ada di belakang pintu kamar.
  3. nyamuk ini sangat menyukai tempat yang gelap dan pengap.

Mengingat penyebar penyakit ini adalah nyamuk Aedes aegypti maka cara terbaik untuk memutus rantai penularan adalah dengan memberantas nyamuk tersebut, sebagaimana sering disarankan dalam pemberantasan penyakit demam berdarah dengue. Insektisida yang digunakan untuk membasmi nyamuk ini adalah dari golongan malation, sedangkan themopos untuk mematikan jentik-jentiknya. malation dipakai dengan cara pengasapan, bukan dengan menyemprotkan ke dinding. Hal ini karena Aedes aegypti tidak suka hinggap di dinding, melainkan pada benda-benda yang menggantung.

Kabar baiknya, penyakit ini sulit menyerang penderita yang sama. Sebabnya, pada tubuh penderita akan membentuk antibodi yang akan membuat mereka kebal terhadap wabah penyakit ini di kemudian hari. Dengan demikian, kecil kemungkinan bagi mereka untuk kena lagi.

HIPERURISEMIA

Sebelumnya telah dibahas asal usul asam urat, yang kesimpulannya bahwa asam urat adalah hasil sisa penghancuran purin(bagian dari DNA). Kali ini kita akan membahas hiperurisemia, gejala serta komplikasinya.
Sumber Asam urat

Ada dua sumber utama purin dalam tubuh. Yaitu purin yang berasal dari makanan dan purin hasil metabolisme DNA tubuh. Purin yang berasal dari makanan merupakan hasil pemecahan nukleoprotein makanan yang dilakukan oleh dinding saluran cerna. Sehingga mengkonsumsi makanan tinggi purin akan meningkatkan kadar asam urat darah.
Makanan dan minuman yang mengandung purin(1)
Kadar tinggi
Sebaiknya dihindari
Kadar sedang
Dapat dikonsumsi sekali-kali
Kadar Rendah
Bebas dikonsumsi
Hati, ginjal, sarden, ikan herring, daging, bacon (daging babi yang dikukus), codfish, scallops, trout, haddock, daging anak lembu, venison (daging rusa), kalkun, minuman beralkohol Asparagus, daging sapi, bouillon, daging ayam, kepiting, daging bebek, paha babi, buncis, jamur, lobster, tiram, pork, udang, bayam kopi, buah, roti, beras, makaroni, keju, telur, produk susu, gula, tomat, sayur hijau (kecuali yang telah disebutkan sebelumnya), minuman berkarbonasi,
Dikutip dari Harris, M; Siegel, L; Alloway, J. 1999. Gout and Hyperuricemia. American Academy of Family Physicians
Hiperurisemia

Hiperurisemia adalah istilah kedokteran yang mangacu pada kondisi kadar asam urat dalam darah melebihi “normal” yaitu lebih dari 7,0 mg/dl. Hiperurisemia dapat terjadi akibat meningkatnya produksi ataupun menurunnya pembuangan asam urat, atau kombinasi dari keduanya. Kondisi menetapnya hiperurisemia menjadi predisposisi(faktor pendukung) seseorang mengalami radang sendi akibat asam urat (gouty arthritis), batu ginjal akibat asam urat ataupun gangguan ginjal.(2)

Penyebab Hiperurisemia
  1. Peningkatan Produksi
    Peningkatan produksi asam urat terutama bersumber dari makanan tinggi DNA (dalam hal ini purin). Makanan yang kandungan DNAnya tinggi antara lain hati, timus, pancreas, ginjal. Kondisi lain penyebab hiperurisemia adalah meningkatnya proses penghancuran DNA tubuh. Yang termasuk kondisi ini antara lain: kanker darah (leukemia), pengobatan kanker (kemoterapi), kerusakan otot.(2)
  2. Penurunan pembuangan asam urat
    Lebih dari 90% penderita hiperurisemia menetap mengalami gangguan pada proses pembuangan asam urat di ginjal. Penurunan pengeluaran asam urat pas tubulus ginjal terutama disebabkan oleh kondisi asam darah meningkat (Ketoasidosis DM, kelaparan, keracuanan alkohol, keracunan obat aspirin dll). (2) Selain itu, penggunaan beberapa obat (contohnya Pirazinamid-salah satu obat dalam paket terapi TBC) dapat bepengaruh dalam menghambat pembungan asam urat.
  3. Kombinasi Keduanya
    Konsumsi alkohol mempermudah terjadinya hiperurisemia, karena alkohol meningkatkan produksi serta menurunkan pembuangan asam urat. Minuman beralkohol contohnya Bir, terkandung purin yang tinggi serta alkoholnya merangsang produksi asam urat di hati. Pada proses pembungan, hasil metabolisme alkohol menghambat pembungan asam urat di ginjal. (2)
Komplikasi Hiperurisemia
1. Radang sendi akibat asam urat (gouty arthritis)

Komplikasi hiperurisemia yang paling dikenal adalah radang sendi (gout). Telah dijelaskan sebelumnya bahwa, sifat kimia asam urat cenderung berkumpul di cairan sendi ataupun jaringan ikat longgar. Meskipun hiperurisemia merupakan faktor resiko timbulnya gout, namun, hubungan secara ilmiah antara hiperurisemia dengan serangan gout akut masih belum jelas. Atritis gout akut dapat terjadi pada keadaan konsentrasi asam urat serum yang normal. Akan tetapi, banyak pasien dengan hiperurisemia tidak mendapat serangan atritis gout.(3)

Gejala klinis dari Gout bermacam-macam, yaitu, hiperurisemia tak bergejala, serangan akut gout, gejala antara(intercritical), serangan gout berulang, gout menahun disertai tofus.
Keluhan utama serangan akut dari gout adalah nyeri sendi yang amat sangat yang disertai tanda peradangan (bengkak, memerah, hangat dan nyeri tekan). Adanya peradangan juga dapat disertai demam yang ringan. Serangan akut biasanya puncaknya 1-2 hari sejak serangan pertama kali. Namun pada mereka yang tidak
diobati, serangan dapat berakhir setelah 7-10 hari. (3) Serangan biasanya berawal dari malam hari. Awalnya terasa nyeri yang sedang pada persendian. Selanjutnya nyerinya makin bertambah dan terasa terus menerus sehingga sangat mengganggu.
Biasanya persendian ibu jari kaki dan bagian lain dari ekstremitas bawah merupakan persendian yang pertama kali terkena. Persendian ini merupakan bagian yang umumnya terkena karena temperaturnya lebih rendah dari suhu tubuh dan kelarutan monosodium uratnya yang berkurang. Trauma pada ekstremitas bawah juga dapat memicu serangan. Trauma pada persendian yang menerima beban berat tubuh sebagai hasil dari aktivitas rutin menyebabkan cairan masuk ke sinovial pada siang hari. Pada malam hari, air direabsobsi dari celah sendi dan meninggalkan sejumlah MSU. (3)
tofi pada kedua tangan
Serangan gout akut berikutnya biasanya makin bertambah sesuai dengan waktu. Sekitar 60% pasien mengalami serangan akut kedua dalam tahun pertama, sekitar 78% mengalami serangan kedua dalam 2 tahun. Hanya sekitar 7% pasien yang tidak mengalami serangan akut kedua dalam 10 tahun.(1)

Pada gout yang menahun dapat terjadi pembentuk tofi. Tofi adalah benjolan dari kristal monosodium urat yang menumpuk di jaringan lunak tubuh. Tofi merupakan komplikasi lambat dari hiperurisemia. Komplikasi dari tofi berupa nyeri, kerusakan dan kelainan bentuk jaringan lunak, kerusakan sendi dan sindrom penekanan saraf. (3)
2. Komplikasi Hiperurisemia pada Ginjal

Tiga komplikasi hiperurisemia pada ginjal berupa batu ginjal, gangguan ginjal akut dan kronis akibat asam urat. Batu ginjal terjadi sekitar 10-25% pasien dengan gout primer. Kelarutan kristal asam urat meningkat pada suasana pH urin yang basa. Sebaliknya, pada suasana urin yang asam, kristal asam urat akan mengendap dan terbentuk batu. (3)
Gout dapat merusak ginjal, sehingga pembuangan asam urat akan bertambah buruk. Gangguan ginjal akut gout biasanya sebagai hasil dari penghancuran yang berlebihan dari sel ganas saat kemoterapi tumor. Penghambatan aliran urin yang terjadi akibat pengendapan asam urat pada duktus koledokus dan ureter dapat menyebabkan gagal ginjal akut. Penumpukan jangka panjang dari kristal pada ginjal dapat menyebabkan gangguan ginjal kronik.(3)
Pengobatan Radang Sendi akibat asam urat (Gouty arthitis)

Tujuan utama panatalaksanaan penyakit gout adalah menghentikan nyeri pada serangan akut, mencegah kekambuhan, dan mencegah komplikasi akibat deposisi kristal urat pada sendi, ginjal, atau bagian tubuh lain. Sedangkan, pada pasien dengan hiperurisemia asimtomatis tidak diperlukan terapi farmakologis.(1) Pengurangan hiperurisemia diperlukan untuk mencegah perkembangan akut gout pada pasien dengan risiko tinggi.
Pengaturan pola makan dan perubahan gaya hidup termasuk penurunan berat badan, pembatasan minuman alkohol, makanan tinggi purin, dan pengawasan hiperlipidemia dan hipertensi dapat menurunkan kadar serum asam urat walau tanpa terapi obat-obatan.(3)
Berkonsultasilah dengan dokter anda tentang rencana pengobatan yang akan ia lakukan secara lengkap. Hindari penggunaan “jamu” kemasan yang tidak jelas, karena telah banyak bukti kecurangan produsen jamu yang justru merugikan konsumen.

Kesimpulan
- Sumber Asam Urat : Makanan, penghancuran DNA tubuh
- Hiperurisemia : kadar asam urat darah > normal
- Penyebab : a. Peningkatan Produksi: dari makanan, penyakit
b. Penurunan Pembuangan : Penyakit, Obat-obatan
c. Kombinasi keduanya : minuman beralkohol
- Komplikasi : radang sendi, batu ginjal, gangguan ginjal
- Pencegahan : Batasi konsumsi makanan tinggi purin serta alkohol
- Pengobatan : Ikuti saran dokter, minta penjelasan yang lengkap tentang penggunaan & efek samping obat, jangan sembarangan mengkonsumsi jamu
Kepustakaan

  1. Harris, M; Siegel, L; Alloway, J. 1999. Gout and Hyperuricemia. American Academy of Family Physicians
  2. Kasper, D; Braunwald, E; Fauci, A; Hauser, S ;Longo, D; Jameson, L. 2004. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition. In Wortmann, R. disorder of purine and pyrimidine metabolism. New York. McGraw-Hill Professional.
  3. Pittman, J; Pharm. D; Bross, M. 1999. Diagnosis and Management of Gout. American Academy of Family Physicians.

Minggu, 24 Juni 2012

Artritis Reumatoid

Artritis Reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit yang tersebar luas serta melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia. Penyakit ini merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, seringkali juga melibatkan organ tubuh lainnya
Sebagian besar penderita menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang timbul, yang jika tidak diobati akan menyebabkan terjadinya kerusakan persendian dan deformitas sendi yang progresif yang menyebabkan disabilitas bahkan kematian dini. Walaupun faktor genetik, hormon sex, infeksi dan umur telah diketahui berpengaruh kuat dalam menentukan pola morbiditas penyakit ini.hingga etiologi AR yang sebenarnya tetap belum dapat diketahui dengan pasti.
Gejala Klinis
Gejala klinis utama AR adalah poliartritis yang mengakibatkan terjadinya kerusakan pada rawan sendi dan tulang disekitarnya. Kerusakan ini terutama mengenai sendi perifer pada tangan dan kaki yang umum nya bersifat simetris. Pada kasus AR yang jelas diag-nosis tidak begitu sulit untuk ditegakkan. Akan tetapi pada masa permulaan penyakit, seringkali gejala AR tidak bermanifestasi dengan jelas, sehingga kadang kadang timbul kesulitan dalam menegakkan diagnosis. Walaupun demikian dalam menghadapi AR yang pada umumnya berlangsung kronis ini, seorang dokter tidak perlu terlalu cepat untuk menegakkan diagnosis yang pasti. Adalah lebih baik untuk menunda diagnosis AR selama beberapa bulan dari pada gagal mendiagnosis terdapatnya jenis artritis lain yang seringkali memberi-kan gejala yang serupa5. Pada penderita harus diberi tahukan bahwa semakin lama diagnosis AR tidak dapat ditegakkan dengan pasti oleh seorang dokter yang berpengalaman, umumnya akan semakin baik pula prognosis AR yang dideritanya.
Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnostik AR disusun untuk pertama kalinya oleh suatu komite khusus dari American Rheumatism Association (ARA) pada tahun 1956. Karena kriteria tersebut dianggap tidak spesifik dan terlalu rumit untuk digunakan dalam klinik, komite tersebut melakukan peninjauan kembali terhadap kriteria klasifikasi AR tersebut pada tahun 1958.
Dengan kriteria tahun 1958 ini ini seseorang dikatakan menderita AR klasik jika memenuhi 7 dari 11 kriteria yang ditetapkan, definit jika memenuhi 5 kriteria, probable jika memenuhi 3 kriteria dan possible jika hanya memenuhi 2 kriteria saja. Walaupun kriteria tahun 1958 ini telah digunakan selama hampir 30 tahun, akan tetapi dengan terjadinya perkembangan pengetahuan yang pesat mengenai AR, ternyata diketahui bahwa dengan menggunakan kriteria tersebut banyak dijumpai kesalahan diagnosis atau dapat me-masukkan jenis artritis lain seperti spondyloarthro-pathy seronegatif, penyakit pseudorheumatoid akibat deposit calcium pyrophosphate dihydrate, lupus erite-matosus sistemik, polymyalgia rheumatica, penyakit Lyme dan berbagai jenis artritis lainnya sebagai AR.
Pembagian AR sebagai classic, definite, probable dan possible, secara klinis juga dianggap tidak relevan lagi. Hal ini disebabkan karena dalam praktek sehari hari, tidak perlu dibedakan penata-laksanaan AR yang classic dari AR definite. Selain itu seringkali penderita yang terdiagnosis sebagai menderita AR probable ternyata menderita jenis artritis yang lain.
Walaupun peranan faktor reumatoid dalam pato-genesis AR belum dapat diketahui dengan jelas, da-hulu dianggap penting untuk memisahkan kelompok penderita seropositif dari seronegatif. Akan tetapi pada faktanya, faktor reumatoid seringkali tidak dapat dijumpai pada stadium dini penyakit atau pembentukan nya dapat ditekan oleh disease modifying anti-rheumatic drugs (DMARD). Selain itu spesifisitas faktor reumatoid ternyata tidak dapat diandalkan karena dapat pula dijumpai pada beberapa penyakit lain. Dua kriteria tahun 1958 yang lain seperti analisis bekuan musin dan biopsi membran sinovial memerlukan prosedur invasif sehingga tidak praktis untuk digunakan dalam diagnosis rutin.
Dengan menggabungkan variabel yang paling sensitif dan spesifik pada 262 penderita AR dan 262 penderita kontrol, pada 1987 ARA berhasil dilakukan revisi susunan kriteria klasifikasi reumatoid artritis dalam format tradisional yang baru. Susunan kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
1987 Revised A.R.A. Criteria for Rheumatoid Arthritis
  1. Kaku pagi hari
  2. Artritis pada 3 daerah persendian atau lebih
  3. Artritis pada persendian tangan
  4. Artritis simetris
  5. Nodul reumatoid
  6. Faktor reumatoid serum positif
  7. Perubahan gambaran radiologis
Penderita dikatakan menderita AR jika memenuhi sekurang kurangnya kriteria 1 sampai 4 yang diderita sekurang kurangnya 6 minggu.
Konsep Pengobatan AR
Walaupun hingga kini belum berhasil didapatkan suatu cara pencegahan dan pengobatan AR yang sempurna, saat ini pengobatan pada penderita AR ditujukan untuk:
  1. Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik lokal maupun sistemik
  2. Mencegah terjadinya destruksi jaringan
  3. Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian agar tetap dalam keadaan baik.
  4. Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persen dian yang terlibat agar sedapat mungkin menjadi normal kembali.
Dalam pengobatan AR umumnya selalu dibutuh kan pendekatan multidisipliner. Suatu team yang idealnya terdiri dari dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli terapi okupasional, pekerja sosial, ahli farmasi, ahli gizi dan ahli psikologi, semuanya memiliki peranan masing masing dalam pengelolaan penderita AR baik dalam bidang edukasi maupun penatalaksanaan pengobatan penyakit ini. Pertemuan berkala yang teratur antara penderita dan keluarganya dengan team pengobatan ini umumnya akan memungkinkan penatalaksanaan penderita menjadi lebih baik dan juga akan meningkatkan kepatuhan penderita untuk berobat.
Setelah diagnosis AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus dilakukan adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang baik antara penderita dan keluarganya dengan dokter atau team pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik ini agaknya akan sukar untuk dapat memelihara ketaatan penderita untuk tetap berobat dalam suatu jangka waktu yang cukup lama.
Peranan Pendidikan dalam Pengobatan AR
Penerangan tentang kemungkinan faktor etiologi, patogenesis, riwayat alamiah penyakit dan penatalaksanaan AR kepada penderita merupakan hal yang amat penting untuk dilakukan. Dengan penerangan yang baik mengenai penyakitnya, penderita AR diharapkan dapat melakukan kontrol atas perubahan emosional, motivasi dan kognitif yang terganggu akibat penyakit ini.
Saat ini terdapat telah banyak publikasi tentang manfaat pendidikan dini pada penderita AR. Salah satu yang banyak dilaksanakan di Amerika Serikat dan Kanada adalah adalah The Arthritis Self Management Program, yang diperkenalkan oleh Lorig dkk. dari Stanford University. Peningkatan pengetahuan penderita tentang penyakitnya telah terbukti akan meningkatkan motivasinya untuk melakukan latihan yang dianjurkan, sehingga dapat mengurangi rasa nyeri yang dialaminya.
Trend Pengobatan AR Saat Ini
Berbeda dengan trend pada dekade yang lalu, saat ini banyak di antara para ahli penyakit reumatik yang telah meninggalkan cara pengobatan tradisional yang menggunakan 'piramida terapeutik. Beberapa ahli bahkan menganjurkan untuk menggunakan pendekatan step down bridge dengan menggunakan kombinasi beberapa jenis DMARD yang dimulai pada saat yang dini untuk kemudian dihentikan secara bertahap pada saat aktivitas AR telah dapat terkontrol.
Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa penatalaksanaan yang efektif hanya dapat dicapai bila pengobatan dapat diberikan pada masa dini penyakit.
Penggunaan OAINS dalam Pengobatan AR
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umum nya diberikan pada penderita AR sejak masa dini penyakit yang dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi sinovial yang bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga memberikan efek analgesik yang sangat baik.
OAINS terutama bekerja dengan menghambat enzim siklooxygenase sehingga menekan sintesis prostaglandin. Masih belum jelas apakah hambatan enzim lipooxygenase juga berperanan dalam hal ini, akan tetapi jelas bahwa OAINS berkerja dengan cara:
o        Memungkinkan stabilisasi membran lisosomal
o        Menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi (histamin, serotonin, enzim lisosomal dan enzim lainnya).
o        Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan
o        Menghambat proliferasi seluler
o        Menetralisasi radikal oksigen
o        Menekan rasa nyeri
Selama ini telah terbukti bahwa OAINS dapat sangat berguna dalam pengobatan AR, walaupun OAINS bukanlah merupakan satu satunya obat yang dibutuhkan dalam pengobatan AR. Hal ini di sebabkan karena golongan OAINS tidak memiliki khasiat yang dapat melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat AR. Untuk mengatasi proses destruksi tersebut masih diperlukan obat obatan lain yang termasuk dalam golongan DMARD.
Efek Samping OAINS pada Pengobatan Penderita AR
Semua OAINS secara potensial umumnya ber-sifat toksik. Toksisitas OAINS yang umum dijumpai adalah efek sampingnya pada traktus gastrointestinalis terutama jika OAINS digunakan bersama obat obatan lain, alkohol, kebiasaan merokok atau dalam keadaan stress. Usia juga merupakan suatu faktor risiko untuk mendapatkan efek samping gastrointestinal akibat OAINS. Pada penderita yang sensitif dapat digunakan preparat OAINS yang berupa suppositoria, pro drugs, enteric coated, slow release atau non-acidic. Akhir akhir ini juga sedang dikembangkan OAINS yang bersifat selektif terhadap jalur COX-2 metabolisme asam arakidonat. OAINS yang selektif terhadap jalur COX-2 umumnya kurang berpengaruh buruk pada mukosa lambung dibandingkan dengan preparat OAINS biasa.
Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada pengobatan OAINS antara lain adalah reaksi hiper-sensitivitas, gangguan fungsi hati dan ginjal serta pe-nekanan sistem hematopoetik.
Selama duapuluh tahun terakhir ini, berbagai jenis OAINS baru dari berbagai golongan dan cara penggunaan telah dapat diperoleh di pasaran. Dalam memilih suatu OAINS untuk digunakan pada seorang penderita AR, seorang dokter umumnya harus mempertimbangkan beberapa hal seperti:
o        Khasiat anti inflamasi
o        Efek samping obat
o        Kenyamanan / kepatuhan penderita
o        Biaya.
Karena faktor seperti khasiat anti inflamasi, efek analgesik, beratnya efek samping atau biaya dari berbagai jenis OAINS saat ini umumnya masih tidak jauh berbeda, sejak beberapa tahun terakhir ini pilihan OAINS lebih banyak bergantung pada faktor kenyamanan dan kepatuhan penderita dalam menggunakan OAINS.
Penggunaan DMARD pada Penderita AR
Pada dasarnya saat ini terdapat terdapat dua cara pendekatan pemberian DMARD pada pengobatan penderita AR. Cara pertama adalah pemberian DMARD tunggal yang dimulai dari saat yang sangat dini. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa destruksi sendi pada AR terjadi pada masa dini penyakit. Brook and Corbett, pada penelitiannya menemukan bahwa 90% penderita AR telah menunjukkan gambaran erosi secara radiologis pada dua tahun pertama setelah menderita penyakit. Hasil pengobatan jangka panjang yang buruk pada sebagian besar penelitian sangat mungkin disebabkan karena pengobatan baru dimulai setelah masa kritis ini dilampaui.
Cara pendekatan lain adalah dengan menggunakan dua atau lebih DMARD secara simultan atau secara siklik seperti penggunaan obat obatan imunosupresif pada pengobatan penyakit keganasan. Kecenderungan untuk menggunakan kombinasi DMARD dalam pengobatan AR ini timbul sejak dekade yang silam karena banyak diantara para ahli reumatologi beranggapan bahwa terapi DMARD secara sekwensial, pada jangka panjang tidak berhasil mencegah terjadinya kerusakan sendi yang progresif.
Sebenarnya tidak terdapat suatu batasan yang tegas mengenai kapan kita harus mulai menggunakan DMARD. Hal ini disebabkan karena hingga kini belum terdapat suatu cara yang tepat untuk dapat mengukur beratnya sinovitis atau destruksi tulang rawan pada penderita AR. Dengan demikian, keputusan untuk menggunakan DMARD pada seorang penderita AR akan sepenuhnya bergantung pada pertimbangan dokter yang mengobatinya. Umumnya pada penderita yang diagnosisnya telah dapat ditegakkan dengan pasti, OAINS harus diberikan dengan segera. Pada penderita yang tersangka menderita AR yang tidak menunjukkan respons terhadap OAINS yang cukup baik dalam beberapa minggu, DMARD dapat dimulai diberikan untuk dapat mengontrol progresivitas penyakitnya.
Beberapa jenis DMARD yang lazim digunakan untuk pengobatan AR adalah:
Klorokuin
Klorokuin merupakan DMARD yang paling banyak digunakan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena klorokuin sangat mudah didapat dengan biaya yang amat terjangkau sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah Indonesia dalam hal eradikasi penyakit malaria.
Sebagai DMARD, klorokuin memiliki beberapa keterbatasan. Banyak diantara para ahli yang ber-pendapat bahwa khasiat dan efektivitas klorokuin agaknya lebih rendah dibandingkan dengan DMARD lainnya, walaupun toksisitasnya juga lebih rendah dibandingkan dari DMARD lainnya. Dari pengalaman penggunaan klorokuin di Indonesia diketahui bahwa sebagian penderita akan menghentikan penggunaan klorokuin pada suatu saat karena merasa bahwa obat ini kurang bermanfaat bagi penyakitnya.
Toksisitas klorokuin sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Klorokuin dapat digunakan dengan aman jika dilakukan pemantauan yang baik selama penggunaannya dalam jangka waktu yang panjang. Efek samping pada mata, sebenarnya hanya terjadi pada sebagian kecil penderita saja. Mackenzie and Scherbel, pada penelitiannya telah dapat menunjukkan bahwa toksisitas klorokuin pada retina hanya bergantung pada dosis harian saja dan bukan dosis kumulatifnya. Dosis antimalaria yang dianjurkan untuk pengobatan AR adalah klorokuin fosfat 250 mg/hari atau hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Pada dosis ini jarang sekali terjadi komplikasi penurunan ketajaman penglihatan. Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada penggunaan antimalaria adalah dermatitis makulopapular, nausea, diare dan anemia hemolitik. Walaupun sangat jarang dapat pula terjadi diskrasia darah atau neuromiopati pada beberapa penderita.
Sulfazalazine
Sulfasalazine (SASP,salicyl-azo-sulfapyridine) diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Nana Svartz di Swedia pada sekitar tahun 1930. Pada mulanya obat ini digunakan untuk mengobati artritis inflamatif yang diduga disebabkan karena infeksi, akan tetapi setelah digunakan beberapa waktu, perhatian terhadap obat ini menurun akibat dipublikasikannya laporan Sinclair dan Duthie mengenai pengaruh yang kurang baik pada penggunaan obat ini di Inggris. Obat ini kemudian kembali menjadi populer setelah di publikasikannya laporan McConkey, Bird dan kawan kawan yang meneliti kembali khasiat SASP pada penderita AR dengan metodologi penelitian yang lebih baik.
Untuk pengobatan AR sulfasalazine dalam bentuk enteric coated tablet digunakan mulai dari dosis 1 x 500 mg / hari, untuk kemudian ditingkatkan 500 mg setiap minggu sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai dengan dosis 2 g / hari, dosis diturunkan kembali sehingga mencapai 1 g /hari untuk digunakan dalam jangka panjang sampai remisi sempurna terjadi. Jika sulfasalazine tidak menunjukkan khasiat yang di kehendaki dalam 3 bulan, obat ini dapat dihentikan dan digantikan dengan DMARD lain atau tetap digunakan dalam bentuk kombinasi dengan DMARD lainnya.
Kurang lebih 20% penderita AR menghentikan pengobatan SASP karena mengalami nausea, mun-tah atau dispepsia. Gangguan susunan syaraf pusat seperti pusing atau iritabilitas dapat pula dijumpai. Neutropenia, agranulositosis dan pansitopenia yang reversibel telah pernah dilaporkan terjadi pada penderita yang mendapatkan SASP. Ruam kulit terjadi kurang lebih pada 1% sampai 5% dari penderita yang menggunakan SASP. Penurunan jumlah sel spermatozoa yang reversibel juga pernah dilaporkan walaupun belum pernah dilaporkan adanya pening-katan abnormalitas foetus.
D-penicillamine
D-penicillamine (DP) mulai meluas penggunaannya sejak tahun tujuhpuluhan. Walaupun demikian, karena obat ini bekerja sangat lambat, saat ini DP kurang disukai lagi untuk digunakan dalam pengobatan AR. Umumnya diperlukan waktu pengobatan kurang lebih satu tahun untuk dapat mencapai keadaan remisi yang adekwat, dan rentang waktu ini dianggap terlalu lama bagi sebagian besar penderita AR
Dalam pengobatan AR, DP (Cuprimin 250 mg atau Trolovol 300 mg) digunakan dalam dosis 1 x 250 sampai 300 mg/hari kemudian dosis ditingkatkan setiap dua sampai 4 minggu sebesar 250 sampai 300 mg/hari untuk mencapai dosis total 4 x 250 sampai 300 mg/hari.
Efek samping DP antara lain adalah ruam kulit urtikarial atau morbilformis akibat reaksi alergi, stomatitis dan pemfigus. DP juga dapat menyebabkan trombositopenia, lekopenia dan agranulositosis. Pada ginjal DP dapat menyebabkan timbulnya proteinuria ringan yang reversible sampai pada suatu sindroma nefrotik. Efek samping lain yang juga dapat timbul adalah lupus like syndrome, polimiositis, neuritis, miastenia gravis, gangguan mengecap, nausea, muntah, kolestasis intrahepatik dan alopesia.
Garam emas
Auro Sodium Thiomalate (AST) intramuskular telah dianggap sebagai suatu gold standard bagi DMARD sejak 20 tahun terakhir ini. Khasiat obat ini tidak diragukan lagi, walaupun penggunaan obat ini seringkali menyertakan efek samping dari yang ringan sampai yang cukup berat.
AST (Tauredon ampul 10, 20 dan 50 mg) diberikan secara intramuskular yang dimulai dengan dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, disusul dengan dosis percobaan kedua sebesar 20 mg setelah 1 minggu kemudian. Setelah 1 minggu, dosis penuh diberikan sebesar 50 mg / minggu selama 20 minggu. Jika respons penderita belum memuaskan setelah 20 minggu, pengobatan dapat dilanjutkan dengan pemberian dosis tambahan sebesar 50 mg setiap 2 minggu sampai 3 bulan. Kalau masih diperlukan AST kemudian dapat diberikan dalam dosis sebesar 50 mg setiap 3 minggu sampai keadaan remisi yang memuaskan dapat tercapai.
Efek samping AST antara lain adalah pruritus, stomatitis, proteinuria, trombositopenia dan aplasia sumsum tulang. Efek samping AST agaknya terjadi lebih sering pada pengemban HLA- DR3A. Jika timbul efek samping yang ringan, dosis AST dapat dikurangi atau dihentikan untuk sementara. Jika gejala efek samping tersebut menghilang, AST kemudian dapat diberikan lagi dalam dosis yang lebih rendah.
Ridaura (auranofin tablet 3 mg) adalah preparat garam emas oral telah dikenal sejak awal dekade yang lalu dan dianggap sebagai DMARD yang berlainan sifatnya dari AST. Walaupun obat ini terbukti berkhasiat dalam pengobatan AR, lebih mudah digunakan serta tidak memerlukan pemantauan yang ketat seperti AST, banyak para ahli yang berpendapat bahwa khasiat auranofin tidaklah lebih baik dibandingkan dengan AST.
Auranofin sangat berguna bagi penderita AR yang menunjukkan efek samping terhadap AST. Auranofin diberikan dalam dosis 2 x 3 mg sehari. Efek samping proteinuria dan trombositopenia lebih jarang dijumpai dibandingkan dari penggunaan AST. Pada awal penggunaan auranofin, banyak penderita yang mengalami diare, yang dapat diatasi dengan menurun- kan dosis pemeliharaan yang digunakan.
Methotrexate
Methotrexate (MTX) adalah suatu sitostatika golongan antagonis asam folat yang banyak digunakan sejak 15 tahun yang lalu. Obat ini sangat mudah digunakan dan rentang waktu yang dibutuhkan untuk dapat mulai bekerja relatif lebih pendek (3 - 4 bulan) jika dibandingkan dengan DMARD yang lain. Dalam pengobatan penyakit keganasan, MTX bekerja dengan menghambat sintesis thymidine sehingga menyebab-kan hambatan pada sintesis DNA dan proliferasi selular. Apakah mekanisme ini juga bekerja dalam penggunaannya sebagai DMARD belum diketahui dengan pasti.
Pemberian MTX umumnya dimulai dalam dosis 7.5 mg (5 mg untuk orang tua) setiap minggu. Walaupun dosis efektif MTX sangat bervariasi, sebagian besar penderita sudah akan merasakan manfaatnya dalam 2 sampai 4 bulan setelah pengobatan. Jika tidak terjadi kemajuan dalam 3 sampai 4 bulan maka dosis MTX harus segera ditingkatkan.
Efek samping MTX dalam dosis rendah seperti yang digunakan dalam pengobatan AR umumnya jarang dijumpai akan tetapi juga dapat timbul berupa kerentanan terhadap infeksi, nausea, vomitus, diare, stomatitis, intoleransi gastrointestinal, gangguan fungsi hati, alopesia, aspermia atau leukopenia. Efek samping ini biasanya dapat diatasi dengan mengurangi dosis atau menghentikan pemberian MTX. Kelainan hati dapat dicegah dengan tidak menggunakan MTX pada penderita AR yang obese, diabetik, peminum alkohol atau penderita yang sebelumnya telah memiliki kelainan hati.
Pada penderita AR yang menunjukkan respons yang baik terhadap MTX, pemberian asam folinat (Leucovorin) dapat mengurangi beratnya efek samping yang terjadi. Leucovorin diberikan dalam dosis 6 sampai 15 mg/m2 luas permukaan badan setiap 6 jam selama 72 jam jika terdapat efek samping MTX yang dapat membahayakan penderita.
Walaupun penggunaan MTX memberikan harapan yang baik dalam pengobatan AR, akan tetapi seperti halnya penggunaan sitostatika lain, MTX sebaiknya hanya diberikan kepada penderita AR yang progresif dan gagal di kontrol dengan DMARD standard lainnya.
Cyclosporin - A
Cyclosporin - A (CS-A), adalah suatu undeca-peptida siklik yang di isolasi dari jamur Tolypocladium inflatum Gams pada tahun 1972. Dalam dosis rendah, CS-A telah terbukti khasiatnya sebagai DMARD dalam mengobati penderita AR. Pengobatan dengan CS-A terbukti dapat menghambat progresivitas erosi dan kerusakan sendi. Kendala utama penggunaan obat ini adalah sifat nefrotoksik yang sangat bergantung pada dosis yang digunakan. Gangguan fungsi ginjal ini dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar kreatinin serum atau hipertensi. Efek samping lain CS-A adalah gangguan fungsi hati, hipertrofi gingiva, hipertrikosis, rasa terbakar pada ekstremitas dan perasaan lelah.
Dosis awal CS-A yang lazim digunakan untuk pengobatan AR adalah 2,5 mg/KgBB/hari yang diberikan terbagi dalam 2 dosis setiap 12 jam. Dosis dapat ditingkatkan sebesar 25% dosis awal setelah 6 minggu hingga mencapai 4 mg/KgBB/hari sehingga sehingga tercapai kadar CS-A serum sebesar 74 - 150 ng/ml atau jika kadar kreatinin serum meningkat mencapai lebih dari 50% nilai basal. Dosis peme-liharaan rata rata berkisar antara 4 mg/KgBB/hari. Dalam dosis tersebut ternyata terjadi perbaikan yang bermakna dalam beberapa outcome yang diukur.
Bridging Therapy dalam Pengobatan AR
Bridging therapy adalah pemberian glukokortikoid dalam dosis rendah (setara dengan prednison 5 sampai 7,5 mg/hari) sebagai dosis tunggal pada pagi hari. Walaupun pemberian glukokortikoid dosis rendah tidak menimbulkan perubahan yang bermakna kadar dan irama kortisol plasma atau growth hormone, pemberian glukokortikoid dosis rendah ini akan sangat berguna untuk mengurangi keluhan penderita sebelum DMARD yang diberikan dapat bekerja.
Pengobatan AR Eksperimental
Selain dari cara pengobatan di atas, terdapat pula beberapa cara lain yang dapat dipakai untuk mengobati penderita AR, akan tetapi karena belum dilakukan uji klinik mengenai khasiat dan efektivitas dari modalitas tersebut, cara pengobatan tersebut masih bersifat eksperimental dan belum digunakan secara luas dalam pengobatan AR. Pengobatan eksperimental AR ini antara lain meliputi penggunaan plasmaferesis, thalidomide, J-interferon, inhibitor IL-1 dan antibodi monoclonal.
Peranan Dietetik dalam Pengobatan AR
AR adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dan bukan suatu penyakit metabolik. Walaupun beberapa jenis modifikasi dietetik, antara lain yang terakhir berupa suplementasi asam lemak omega 3 seperti asam eikosapentanoat pernah dicoba dalam beberapa penelitian, ternyata hasilnya tidak begitu meyakinkan. Dengan demikian hingga saat ini sebagian besar para ahli berpendapat bahwa selain untuk mencapai berat badan ideal, agaknya modifikasi dietetik saat ini belum jelas kegunaannya dalam merubah riwayat alamiah penyakit ini

REFERAT PARTURITION (PROSES KELAHIRAN)

BAB I
PENDAHULUAN

Angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi yaitu sekitar 420 tiap 100.000 kelahiran hidup, atau setiap satu jam ada dua ibu hamil meninggal dunia, akibat perdarahan sewaktu persalinan. Ini sudah termasuk korban praktek aborsi Indonesia menduduki peringkat teratas perempuan meninggal dunia diikuti Filipina 230/100.000, Malaysia 62/100.000 dan Singapura 14/100.000.13
Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menyebutkan, angka kematian ibu dan bayi mengalami penurunan yang cukup signifikan dari tahun 2004 sampai tahun 2007. Di tahun 2007, angka kematian bayi mencapai 26,9 persen per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian ibu berkisar 248 per 100 ribu kelahiran. Padahal di tahun 2004, angka kematian bayi sekitar 30,8 persen per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian ibu sekitar 270 dari per 100 ribu kelahiran. 14
Millenium Development Goals (MDG’s) atau tujuan pembangunan millennium adalah upaya untuk memenuhi hak-hak dasar kebutuhan manusia melalui komitmen bersama antara 189 negara anggota PBB untuk melaksanakan 8 (delapan) tujuan pembangunan, yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, kelestarian lingkungan hidup, serta membangun kemitraan global dalam pembangunan.16
Salah satu dari tujuan dari Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals (MDGs) ialah mengurangi jumlah kematian ibu, yang memiliki tujuan : 15
a. Mengurangi sampai tiga perempat rasio jumlah kematian ibu15
i. Rasio kematian Ibu
ii. Proporsi kelahiran dihadiri oleh tenaga kesehatan terampil
b. Mencapai, pada tahun 2015, akses universal untuk kesehatan reproduksi15
i. Tingkat prevelensi Kontrasepsi
ii. Menilai tingkat lahir adolescent
iii. Cakupan layanan pra kelahiran perawatan ( setidakna satu kali kunjungan dan setidaknya empat kunjungan )
Salah satu cara dalam meraih tujuan MDGs ialah “proporsi kelahiran dini dihadiri oleh tenaga kesehatan terampil”, sehingga pengetahuan akan proses kelahiran yang benar harus diketahui tenaga kesehatan yang menolong persalinan dan pelahiran bayi.
Parturition atau proses kelahiran merupakan suatu kumpulan suatu periode gestasi dari suatu kelahiran bayi neonatus dari seorang rahim wanita. Proses ini dikategorikan ke dalam empat fase penting yang berperan sejak wanita hamil tidak merasakan kontraksi hingga merasakan adanya kontraksi dan melakukan proses persalinan.
Proses kelahiran ini sangat penting baik bagi ibu maupun janin,calon bayi. Untuk ibu, parturition yang berlangsung lancar menandakan bahwa dirinya telah berhasil melewati serangkaian tahap-tahap proses kelahiran dan melahirkan bayinya ke dalam dunia dengan selamat. Sedangkan untuk si jabang bayi, proses kelahiran merupakan suatu awal untuk dirinya dalam menghembuskan nafas pertamanya di dalam dunia. Oleh karena itu penting sekali kita membahas mengenai apa saja yang ada dalam proses-proses kelahiran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fase – Fase Proses Kelahiran (Parturition)
Fase-fase dalam parturition, merupakan suatu proses fisiologis dalam kelahiran yang terdiri dari empat fase yaitu fase 0 (fase awal menuju kelahiran), fase 1( persiapan untuk kelahiran), fase 2 (proses dari kelahiran), fase 3 (fase akhir dari kelahiran). Adanya perbedaan alamiah dari fase-fase fisiologis ini membuktikan bahwa dalam uterus terjadi transformasi fungsi uterus secara multipel yang hanya dapat dibuktikan dengan waktu-waktu dalam setiap proses kelahiran. Keempat fase ini bertanggung jawab terhadap perubahan fisiologis dari miometrium dan serviks pada masa kehamilan. Fase persalinan berbeda dengan stadium kelahiran (clinical stages) yang terdiri dari stage 1,2,3.1
Gambar 1 Fase-fase dalam parturition8
2.1.1 Fase 0 = Fase Laten
Fase ini ditemukan pada 95 % kehamilan normal, dimana pada fase ini miometrium berada dalam keadaan relaksasi dengan struktur serviks yang masih kaku. Oleh karena itu, pada keadaan ini, miometrium kurang responsif terhadap rangsangan alamiah serta tokolitik. Proses miometrium yang tidak responsif pada fase 0 ini berlanjut hingga akhir daripada kehamilan. 1
Selama fase 0 dalam persalinan, miometrium dalam keadaan tenang (quiescent state) dan serviks dalam keadaan kaku (firm). Apabila terjadi dilatasi servikal dini (prematur), struktur serviks yang tidak adekuat dan atau keduanya, maka mungkin akan terjadi persalinan prematur. Pemendekan serviks antara minggu ke-24 -28 dikaitkan dengan peningkatan resiko persalinan premature. 1
Terkadang pada fase 0 ini, terjadi kontraksi miometrium, namun kontraksi tersebut tidak menyebabkan dilatasi serviks. Kontraksi tersebut biasanya ditandai dengan kontraksi yang tidak teratur, kuat kontraksi yang lemah dan waktu kontraksi yang singkat. Adanya kontraksi ringan pada fase ini menimbulkan gejala ketidaknyamanan pada perut bagian bawah dan lipat paha. Mendekati akhir dari kehamilan, uterus akan mempersiapkan diri menuju proses kelahiran, dan pada saat itu, intensitas kontraksi menjadi lebih sering, terutama pada multipara. Kontraksi tersebut dikenal dengan istilah kontraksi Braxton-Hicks atau persalinan palsu. Kontraksi ini mulai terasa pada minggu ke-26 kehamilan. 1,9
2.1.2 Fase 1: Persiapan Untuk Kelahiran
Untuk mempersiapkan proses kelahiran, uterus yang pada fase 0 berada dalam keadaan relaksasi mulai menunjukkan aktifitas kontraksinya, pada periode ini dikenal dengan istilah uterine awakening activation. Fase ini terjadi kurang lebih 6-8 minggu sebelum proses kelahiran. Pada fase ini perlu diperhatikan secara lebih teliti karena adanya perubahan kontraksi uterus dari fase 0 ke 1 dapat menyebabkan kelahiran prematur atau persalinan memanjang. Fase 1 terjadi perubahan servikal dan miometrium. 1
  1. Perubahan serviks
Pada masa kehamilan dan kelahiran terjadi perbedaan dalam serviks, walaupun organ yang dituju sama yaitu corpus atau fundus uteri dan serviks. Secara khusus, pada masa kehamilan, miometrium dapat meregang, namun dalam keadaan tenang serta serviks sulit dilatasi dan relatif kaku. Sedangkan pada inisiasi kelahiran, serviks menjadi lebih kenyal, lembut, dan lebih mudah dilatasi. Fundus uteripun mengalami perubahan dari keadaan relaksasi (masa kehamilan) yang tidak bereaksi dengan kontraksi, menjadi organ yang dapat memproduksi kontraksi secara efektif sehingga dapat memandu jalannya fetus melalui serviks yang berdilatasi dan jalan lahir. Kegagalan koordinasi interaksi dari fungsi fundus dan serviks merupakan indikator hasil akhir kehamilan yang kurang baik. 1
Modifikasi serviks pada fase 1 kelahiran mempengaruhi perubahan dalam jaringan penunjang sekitar uterus yang disertai dengan invasi sel-sel radang ke sekitarnya. Ada dua perubahan mendasar jaringan ikat di sekitar serviks yang melunak. Pertama, pada akhir kehamilan, serat-serat kolagen pada miometrium dan serviks mengalami penghancuran dan terjadi pembentukan serat-serat kolagen baru yang tidak beraturan sehingga menyebabkan penurunan jumlah dan ukuran kolagen dalam serviks dan akhirnya serviks menjadi lebih lunak. Pada periode ini juga, terjadi perubahan glikosaminoglikan, terutama asam hialuronat, dimana pada fase ini terjadi peningkatan jumlah asam hialuronat yang berefek serviks melunak karena fungsi asam hialuronat adalah menahan jumlah dan kadar air dalam serviks. Selain itu terjadi penurunan jumlah dermatan sulfat, yang berperan dalam proses pembentukkan serat kolagen. Pada saat serviks melunak, produksi sitokin juga ditemukan meningkat sehingga menimbulkan infiltrasi leukosit yang mengakibatkan degradasi kolagen. Hasil dari semua proses di atas adalah penipisan, pelunakan, relaksasi dari serviks sehingga dapat menginisiasi serviks untuk dilatasi. 1
Serviks terutama atas jaringan ikat dan hanya sedikit mengandung jaringan otot tidak mempunyai fungsi sebagai sphincter. Pada partus serviks membuka saja mengikuti tarika-tarika corpus uteri ke atas dan tekanan bagian bawah janin tidak menutup seperti ditemukan pada spincter.2
Mekanisme teoritis yang dapat mempercepat pelunakan serviks masih belum dipastikan namun beberapa ahli telah mencoba secara klinis. Prostaglandins E2 (PGE2) dan F2a (PGF2a) diletakkan secara langsung di sekitar serviks (secara intravaginal) akan menginduksi proses pematangan dari serviks. Proses yang terjadi yaitu modifikasi kolagen, perubahan konsentrasi dari glikosaminoglikan sehingga menfasilitasi proses induksi kelahiran. 1,7
  1. Perubahan miometrium
Terjadi perubahan kontraksi uterus yang jarang dan tidak nyeri menjadi kontraksi yang lebih sering. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan ekspresi protein CAPs (Contraction-associated proteins) yang mengawasi kontraktibilitas miometrium. Pada fase 1 terjadi peningkatan reseptor oksitosin pada miometrium, peningkatan jumlah dan luas permukaan dari gap junction sel miometrium seperti connesin-43. Adanya proses perubahan pada miometrium tersebut menyebabkan peningkatan iritabilitas dan responsivitas terhadap uterotonin. 1
Pada fase 1 terjadi perubahan segmen bawah rahim. Pada perkembangan segmen bawah rahim yang baik, kepala janin akan turun ke atau melalui inlet (PAP), dikenal dengan istilah lightening. Perut akan mengalami perubahan bentuk, terkadang keadaan ini dideskripsikan sebagai ‘the baby dropped’. Hal ini menunjukkkan bahwa miometrium pada segmen bawah rahim sangat unik dibandingkan miometrium pada segmen atas rahim pada wanita hamil menjelang persalinan. 1
Gambaran lightening pada primigravida menunjukan hubungan normal antara ketiga P yaitu, power (kekuatan his), passage (jalan lahir normal), dan passanger (janinnya dan plasenta). Pada multipara gambarannya tidak jelas, karena kepala janin baru masuk pintu atas panggul menjelang persalinan.4

2.1.3 Fase 2: Proses Dari Kelahiran
Fase 2 ini merupakan fase aktif persalinan (active labor), dimana uterus berkontraksi sehingga menimbulkan dilatasi servikal yang progresif dan kelahiran. Secara klinis, fase 2 kelahiran dibagi menjadi tiga stadium.
  1. Stadium satu kelahiran dimulai pada saat uterus kontraksi dengan frekuensi, intensitas, dan durasi yang cukup yang menimbulkan pendataran serviks. Stadium ini diakhiri dengan adanya dilatasi serviks yang maksimal (kurang lebih 10 cm) yang dapat menyebabkan kepala fetus turun. Oleh karena itu stadium 1 ini dikenal dengan stadium pendataran servikal dan dilatasi.
  2. Stadium dua kelahiran dimulai pada saat dilatasi serviks telah lengkap dan diakhiri dengan lahirnya fetus. Oleh karena itu stadium dua dikenal dengan istilah ekspulsi fetus.
  3. Stadium tiga dimulai pada saat segera setelah kelahiran fetus dan diakhiri dengan kelahiran dari placenta dan membrana placenta, oleh karena itu stadium ini dikenal dengan stadium separasi dan ekspulsi placenta. 1,9
2.1.3.1 Stadium Satu Kelahiran: Onset Klinis Kelahiran
Pada beberapa wanita, kontraksi kuat uterus dapat berefek pada dilatasi serviks, penurunan kepala fetus, kelahiran fetus yang dimulai secara mendadak dan terlihat seperti tanpa peringatan. Pada sebagian wanita, inisiasi terjadinya kelahiran ditandai dengan keluarnya sekret berupa bercak darah dan lendir vagina secara spontan. Disebabkan karena timbulnya robekan-robekan kecil pada ostium internum yang mulai membuka dan juga karena selaput lendir rahim sekitar ostium internum itu mulai terlepas dari selubung janin. Pada fase ini menunjukkan ekstruksi mucus plug yang berasal dari canalis servikalis dan dikenal dengan istilah ‘bloody show’. Keluarnya mucus plug menandakan bahwa proses kelahiran akan segera berlangsung atau akan terjadi persalinan dalam beberapa jam sampai beberapa hari kemudian. 1,3
Pada fase ke-2, stadium ke-1 kelahiran terjadi proses-proses:
- Kontraksi uterus
- Perubahan segmen bawah dan atas rahim
- Perubahan bentuk uterus
- Tekanan mengendan
- Perubahan serviks. 1
  1. Kontraksi uterus, merupakan karakteristik dari proses kelahiran.
Kontraksi uterus menjelang persalinan bersifat nyeri. Penyebab nyeri tidak diketahui secara pasti, namun ada beberapa kemungkinan seperti:
- Terjadi hipoksia pada saat kontraksi miometrium (seperti angina pectoris)
- Kompresi saraf nervus ganglia pada serviks dan uterus bagian bawah oleh jepitan antar serabut miometrium
- Peregangan serviks akibat dilatasi serviks
- Peregangan peritonium yang melindungi fundus. 1
Kompresi saraf ganglia pada serviks dan segmen bawah rahim merupakan suatu hipotesis yang cukup menarik. Infiltrasi para-servikal dengan anestesi lokal biasanya dapat mengurangi kadar nyeri pada saat kontraksi.
Nyeri persalinan biasanya dikaitkan dengan regangan, tekanan, dan robekan struktur-struktur lokal. Walaupun karaktristik yang berbeda dikaitkan dengan nyeri pada pada kala persalinan yang berbeda, namun tidak jelas apakah karakteristik ini ditentukan oleh pengkajian nyeri, status emosional dan oleh intervensi perawat.5
Kontraksi uterus tidak disadari dan pada kebanyakkan wanita, kontraksi bersifat independen, diluar kontrol ekstra-uterin. Blokade neural dengan menggunakan analgesia epidural tidak mengurangi frekuensi atau intensitas.
Proses peregangan serviks meningkatkan aktivitas uterus, hal ini disebabkan karena refleks Ferguson. Proses peregangan serviks diduga karena adanya pelepasan oksitosin, namun hal ini masih belum dapat dibuktikan secara akurat. Manipulasi serviks dan ‘stripping of the membrane’ berkaitan dengan peningkatan kadar metabolit prostaglandin F2 (PGFM) dalam darah yang dapat meningkatkan kontraksi uterus. 1,9
Interval kontraksi meningkat secara bertahap dari sekitar 10 menit pada onset stadium pertama kelahiran menjadi kurang dari 1 menit pada stadium dau. Periode relaksasi diantara tiap kontraksi penting untuk menandakan kesejahteraan fetus dalam rahim. Kontraksi uterus yang terus menerus tanpa atau sedikit periode relaksasi menimbulkan uteroplasental insufisiensi yang menyebabkan hipoksia fetus. Pada fase aktif dari proses kelahiran, durasi kontraksi berkisar antara 30-90 detik,rata-rata sekitar 1 menit. Tekanan cairan amnion juga ikut berperan dalam proses persalinan, jika tekanan sekitar 40mmHg maka akan terjadi kelahiran spontan. 1
  1. Perubahan segmen bawah dan atas rahim
Pada fase aktif, bagian uterus yang terinisiasi pada fase 1 kelahiran meningkat, ditandai adanya kontraksi segmen atas rahim sehingga menjadi lebih tebal. Bagian serviks dan segmen bawah rahim merupakan bagian yang kurang aktif dibandingkan segmen atas rahim sehingga dinding jalan lahir menjadi lebih tipis dan fetus lebih mudah melewati jalan lahir. Pada wanita non-hamil, segmen bawah rahim dianalogikan sebagai isthmus yang tipis dan dapat berekspansi. Segmen bawah rahim pada wanita hamil berkembang terus menerus hingga proses persalinan.1
Dengan palpasi abdomen, kedua segmen rahim dapat dibedakan pada saat kontraksi bahkan pada saat ruptur membrana uteri pun dapat dibedakan. Segmen atas rahim cukup keras atau kaku pada saat kontraksi. Konsistensi dari segmen bawah rahim kurang kaku dan dapat berdilatasi dan bersifat pasif. Jika miometrium pada segmen bawah rahim dan serviks berkontraksi secara simultan dengan intensitas kontraksi yang hampir mirip, kekuatan ekspulsi akan menurun.1
Kontraksi segmen atas rahim menimbulkan retraksi dan ekspulsi fetus. Adanya kontraksi miometrium pada segmen atas rahim, menyebabkan pelunakan segmen bawah rahim dan dilatasi serviks dan membentuk miometrium yang terekspansi, rongga fibromuskular, dinding otot yang tipis sehingga fetus dapat melewati jalan lahir. Miometrium pada segmen atas rahim tidak pernah berelaksasi pada ukuran normal setelah kontraksi. 1,10
Gambar 2 Perkembangan segmen atas dan bawah rahim. 2
Segmen atas rahim (bagian aktif) akan terus berkontraksi sehingga dapat menurunkan isi rahim ke bawah, namun tegangan miometrium tetap konstan. Pada otot miometrium akan tetap memiliki tonus, dan tetap meregang dan tetap berkontraksi jika terdapat stimulasi. Pada pemanjangan serat dari segmen bawah rahim akibat dari pregresifitas proses kelahiran ditandai dengan penipisan dari otot pada segmen bawah rahim sehingga ketebalan dinding rahim hanya sekitar beberapa milimeter. Sebagai hasil dari penipisan segmen bawah rahim dan penebalan segmen atas rahim timbul jarak diantara keduanya yang ditandai dengan adanya jembatan pada permukaan dalam uterus yang dikenal dengan istilah cincin retraksi fisiologis. Pada saat penipisan segmen bawah rahim terjadi secara berlebihan, yang disebabkan karena persalinan terhambat (obstruksi persalinan), cincin retraksi akan semakin jelas dan membentuk cincin retraksi patologis. Pada keadaan abnormal, dikenal dengan istilah cincin Bandl. 1,10
  1. Perubahan bentuk uterus selama persalinan
Setiap kontraksi menghasilkan elongasi dari uterus (pemanjangan uterus), dan mencegah ukuran diameter horizontal uterus. Adanya perubahan bentuk tersebut, akan memberikan efek pada proses persalinan. Pertama, penurunan diameter horizontal mengakibatkan columna vertebralis fetus menjadi lurus. Hal ini menekan kutub atas dari fetus sehingga melawan arah fundus, dimana arah kutub bawah berada di panggul. Kedua, fetus pada posisi memanjang akan menyebabkan serat miometrium longitudinal teregang serta karena segemen bawah rahim dan serviks merupakan bagian uterus yang fleksibel, sehingga keadaan tersebut mendukung proses ekspulsi fetus. 1
  1. Tekanan mengedan dalam persalinan
Setelah serviks berdilatasi maksimal, hal terpenting lainnya yaitu kekuatan ekspulsi fetus yang diproduksi dari tekanan intra-abdominal dari maternal yang dapat dirangsang dengan melakukan respirasi paksa dengan menutup glotis. Tenaga paksa alamiah dapat diperoleh dari perasaan mengedan. 1
Setelah kepala memasuki ruang panggul, maka pada his dirasakan tekanan pada otot-otot dasar panggul, yang secara reflektoris menimbulkan rasa mengedan. Wanita merasakan pula tekanan pada rectum dan hendak buang air besar. Kemudia perineum mulai menonjol menjadi lebar dengan anus membuka. 2
  1. Perubahan serviks
Pada fase 2, stadium 1 terdapat tiga komponen struktur serviks yang prinsipal yaitu kolagen, otot polos, dan matriks ekstra-selular. Matriks ektra-selular yang penting pada proses persalinan yaitu glikosaminoglikan, dermatan sulfat, asam hialuronat. Otot polos pada serviks lebih sedikit dibandingkan pada fundus. Sebelum onset persalinan, selama fase inisiasi dan persiapan, serviks melunak, merupakan tanda dilatasi serviks dan kontraksi miometrium. 1
Bagian corpus uterus memiliki resistensi lebih tinggi dibandingkan dengan segmen bawah rahim dan serviks. Oleh karena itu, selama kontraksi, dorongan sentrifugal akan menyebabkan serviks mengalami distensi, dikenal dengan istilah distensi servikal. Saat terjadi kontraksi uterus akan mengalami perubahan tekanan pada membran plasenta, tekanan hidrostatik meningkat pada kantung amnion sehingga menimbulkan dilatasi kanalis servikalis seperti segitiga. Saat membran plasenta tidak intak, tekanan untuk mempertahankan dilatasi serviks dan segmen bawah rahim cukup efektif. 1
Terdapat dua fase dilatasi servikal yaitu fase laten dan aktif. Fase aktif dibagi menjadi fase akselerasi dan fase lengkungan maksimum, fase deselerasi. Durasi dari fase laten bervariasi dan senstif terhadap perubahan faktor-faktor ekstra seperti sedasi, akan memperpanjang fase laten dan memperpendek stimulasi miometrium. Dilatasi servikal akan diikuti dengan proses retraksi servikal.1
Mekanisme membukanya serviks berbeda antara primigravida dan multigravida. Pada yang pertama ostium uteri internum akan membuka terlebih dahulu, sehingga serviks akan mendatar dan menipis. Baru kemudian ostium uteri eksternum membuka. Pada multigravida ostium uteri internum sudah sedikit terbuka. Ostium uteri internum dan eksternum serta penipisan dan pendataran serviks terjadi dalam saat yang sama. 2
2.1.3.2 Stadium Dua: Penurunan Fetus
Pada beberapa nulipara, penurunan kepala fetus terjadi sebelum persalinan dimulai. Namun pada sebagian wanita, penurunan kepala tidak lengkap hingga akhir dari stadium pertama. 1
2.1.3.3 Stadium Tiga: Kelahiran Placenta dan Membrana Placenta
Stadium tiga persalinan diawali segera setelah kelahiran fetus dan ekspulsi plasenta dan membrana placenta. Pada saat bayi lahir, uterus akan berkontraksi secara spontan mengelilingi struktur di sekitar rahim. Secara normal, segera setelah bayi dilahirkan, rongga uterus akan mengalami obliterasi dan fundus uteri akan berkontraksi (otot-ototnya akan menebal hingga beberapa meter) sehingga fundus uteri berada di bawah umbilicus. 1
Adanya penurunan ukuran uterus yang terjadi secara mendadak akan disertai dengan proses penurunan area tempat implantasi plasenta sehingga akan meningkatkan kontraksi uterus untuk melepaskan placenta dari sisa implantasinya. Oleh karena itu, pelepasan plasenta sebenarnya karena disproporsi antara ukuran plasenta dan pengurangan area implantasi plasenta. Pada persalinan sectio caesaria, fenomena ini mungkin akan terjadi jika plasenta berimplantasi di dinding posterior. 1
Pembersihan plasenta difasilitasi oleh kehilangan struktur desidua spogiosus dimana fungsi dari decidua spongiosa adalah sebagai perekat membrana plasenta pada miometrium. Selain itu ada saat terjadi pelepasan membrana plasenta terbentuk hematoma antara plasenta dan desidua. Hematoma ini akan menyebabkan separasi dan menyebabkan perdarahan. Hematoma akan memicu proses pembersihan placenta. Separasi plasenta secara normal akan terjadi beberapa menit setelah kelahiran. 1
Selain itu pada stadium tiga terjadi separasi amniochorion. Penurunan area permukaan dari rongga uterus secara bertehap menyebabkan membrana fetus (amniochorion) dan decidua parietale membentuk lapisan dinding rahim lapis demi lapis dari ketebalam 1mm sampai dengan 3-4 mm hingga mencapai ketebalan 4-5cm dengan otot miometrium yang padat. 1
Ekstruksi plasenta juga merupakan salah satu proses pada fase ke-dua. Setelah plasenta lepas dari tempat implantasinya, tekanan pada uterus menyebabkan plasenta terdorong ke segmen bawah rahim atau ke vagina bagian atas. Dibawah bagian plasenta yang lepas itu bertumpuklah darah; makin banyak terlepas, makin banyak perdarahan, sampai seluruh plasenta itu terlepas dari dinding plasenta. Metode yang biasaya digunakan yaitu mengkompresi dan elevasi fundus pada saat melakukan traksi minimal dari tali umbilicus. 1,3
Jika bagian tengah plasenta yang terlepas terlebih dahulu, maka akan terjadi retroplasental hematoma, hematoma tersebut akan menginiasi separasi plasenta sehingga plasenta terdorong ke dalam rongga uterus. Kemudian plasenta akan terinversi dan menahan darah hematoma kemudian placenta keluar. Karena sel desidua masih menempel pada sekitar membran maka plasenta dapat turun hanya dengan pelepasan membran hanya dengan pelepasan bagian tepi dari membran sehingga akan terbentuk kantung sebagai hasil dari membran yang terinversi. Hematoma retroplasental biasanya didahului dengan lahirnya plasenta atau ditemukan dalam kantung membran plasenta yang terinversi. Proses ini dikenal dengan mekanisme ekspulsi plasenta dari Schultze. Selain itu terdapat metode ekstruksi atau pelepasan plasenta yang dikenal dengan mekanisme Duncan, dimana pelepasan sebagian plasenta dimulai dari bagian perifer (tepi) sehingga darah akibat pelepasan plasenta terkumpul di antara membrana plasenta dan dinding uterus dan keluar lewat vagina. Pada mekanisme ini, plasenta akan turun pada sisi vagina dan sisi maternal plasenta akan terlebih dahulu terlihat di vulva. 1
2.1.4 Fase 3: Masa Nifas
Segera setelah kelahiran bayi, dan sekitar beberapa jam kemudian, miometrium harus berada dalam kondisi kaku dan kontraksi yang persisten dan retraksi sehingga dapat mengkompresi pembuluh darah besar uterus dan trombosis dari lumen uterus. Adanya koordinasi dari otot-otot miometrium post-partum akan menghindari perdarahan berat post-partum. Pada masa ini terjadi onset dari laktogenesis dan pengeluaran air susu ibu dari kelenjar payudara. Akhir dari masa nifas yaitu terjadinya involusi uterus yang akan mengembalikan fungsi dan bentuk rahim seperti saat tidak hamil dan persiapan pematangan ovulasi juga terjadi pada masa nifas sebagai persiapan untuk hehamilan berikutnya. Untuk memperoleh involusi uterus secara lengkap dibutuhkan waktu empat sampai enam minggu, namun sebenarnya proses ini bergantung pada durasi dari pemberian asi. Infertilitas biasanya bertahan selama pemberian air susu ibu dilanjutkan karena hormon prolaktin menginduksi anovulasi dan amenore. 1,7
Adapun rahim perempuan yang baru bersalin itu masih membesar, jika diraba dar luar tingginya fundus uteri kira-kira 1 jari dibawah pusat sedangkan beratnya lebih kurang 1 kg. Hal ini disebabkan banyaknya darah dalam dinding rahim mengalir dalam pembuluh-pembuluh darah yang membesar. Sampai hari kedua uterus masih membesar kemudian berangsur-angsur menurun.Kalau diukur tingginya fundus uteri dalam waktu nifas (sesudah kencing) pada hari : 3
Ketiga : Kira-kira 2-3 jari dibawah pusat
Kelima : Pada pertengahan antara pusat dan sympysis
Ketujuh : Kira-kira 2-3 jari di atas sysmphisis
Kesembilan : Kira-kira satu jari di atas sysphisis 3
2.2 Proses fisiologis dan biokimiawi yang meregulasi proses persalinan
Terdiri dari beberapa proses seperti:
2.2.1 Perubahan anatomis dan fisiologis miometrium
Pertama, terjadi pemendekan otot polos miometrium yang ditandai dengan kontraksi satu atau kumpulan beberapa otot miometrium. Kedua, tekanan (force) dapat digunakan oleh otot polos dalam beberapa jalur berbeda dengan tenaga kontraksi yang dihasilkan oleh otot skeletal/lurik yang selalu berada dalam jalur aksis serat-serat otot. Ketika, proses pengaturan otot polos berbeda dengan otot skeletal, dimana pada miometrium filamen tipis dan tebal ditemukan dalam posisi memanjang dengan rangkaian otot yang tersebar. Keadaan tersebut dapat memfasilitasi proses pemendekan otot secara maksimal dan meningkatkan kapasitas otot polos miometrium secara keseluruhan. Keempat, adanya keuntungan dari adanya jalur tenaga multidireksi pada uterus (perbedaan antara tekanan fundus dan segmen bawah rahim) sehingga mempermudah tekanan ekspulsi fetus dan mengetahui keadaan presentasi fetus. 1
2.2.2 Regulasi kontraksi dan relaksasi miometrium
Regulasi kontraksi dan relaksasi miometrium dapat dibedakan menjadi dua mekanisme yaitu akut dan kronik. Pada keadaan akut, terjadi interaksi antara aktin dan miosin sehingga penting dalam memproduksi kontraksi otot. Miosin terdiri dari rantai bercabang banyak dan rantai berat yang tersusun dari miofilamen tebal. Interaksi antara aktin dan miosin menimbulkan aktivasi dari adenosin trifosfatase, adenosin trifosfate hidrolisis dan tenaga paksa (force) dan menjadi efektif bila terjadi fosforilasi oleh enzim fosforilase dari miosin rantai cabang ringan. Reaksi fosforilasi dikatalisasi oleh enzim myosin light chain kinase, yang diaktifkan oleh kalsium. Kalsium akan mengikat calmodulin, sebuah protein calcium binding-regulatory, dengan demikian akan terjadi pengikatan ke komponen miosin light chain kinase. Beberapa agen fisik/mekanis berperan dalam otot polos miometrium dapat meningkatkan peningkatan konsetrasi kalsium intrasel sehingga meinduksi terjadinya kontraksi. Peningkatan kalsium intrasel biasanya bersifat transient tetapi kontraksi dapat diperpanjang dengan penghambatan aktivitas miosin fosfatase oleh Rho kinase. Agen-agen fisik/mekanik yang dapat meningkatkan kadar cAMP intrasel atau cGMP akan mendukung terjadinya relaksasi uterus karena cAMP dan cGMP diduga mempunyai peranan dalam menurunkan kadar kalsium intrasel, meskipun mekanisme pastinya belum diketahui. 1
Regulasi kontraksi dan relaksasi pada miometrium juga dipengaruhi adanya gap junction pada sel-sel miometrium. Dengan adanya gap junction maka molekul signal yang diterima diantara sel dapat disalurkan sehingga komunikasi antar sel terjadi dan terjadilah proses kontraksi dan relaksasi. Selain iitu, sel miometrium juga memiliki sistem pengaturan yang tidak hanya bergantung pada reseptor hormon estrogen dan progesteron tetapi juga memiliki berbagai jenis sel yang memiliki kemampuan untuk meregulasi kontraktibilitas sel. 1
2.2.3 Sistem regulasi yang membuat uterus dalam keadaan tenang
Sel otot polos miometrium merupakan organ yang dapat berkontraksi. Sulit dibayangkan bagaimana sebuah uterus dapat membesar sehingga dapat mengakomodasikan janin seberat 3,500 gram, 1 liter cairan amnion, 800 gram plasenta dan membran plasenta tanpa terjadi erupsi. Keadaan miometrium yang tenang pada fase 0 persalinan dapat berhasil karena dipengaruhi oleh faktor-faktor multipel dan proses biomolekular. Pada fase 0 terjadi beberapa proses fisiologis yang melibatkan beberapa sistem biomolekular, neural, endokrin, parakrin dan autokrin. Fase 0 dapat meregulasi uterus dalam keadaan tenang karena disebabkan beberapa faktor yaitu: 1
  1. Aktivitas dari hormon progesteron melalui reseptor intrasel
  2. Reseptor sel miometrium yang meningkatkan cAMP
  3. Pengaturan cGMP
  4. Sistem lain yang mencakup modifikasi channel ion sel miometrium
Pada beberapa spesies, hormon progesteron dan esterogen berperan dalam fase 0 persalinan, dimana progesteron menghambat dan estrogen menginduksi persalinan. Kadar estrogen dan progesteron plasma pada wanita hamil sangat banyak. Aktivitas progesteron penting dalam mempertahankan kehamilan. 1
Berdasarkan penelitian dikatakan bahwa peningkatan progesteron dapat meningkatkan uterus dalam keadaan relaksasi melalui efek langsung maupun tidak langsung yang menurunkan ekspresi dari protein kontraksi. Progesteron dapat menghambat ekspresi dari protein gap junctioal, connexin 43 pada beberapa penelitian pada binatang tikus. Estrogen dapat menginduksi pembentukan gap junction miometrium pada beberapa binatang sehingga meningkatkan sintesis connexin 43. 1
Beberapa reseptor heptahelical dapat menginduksi relaksasi miometrium. Beberapa reseptor heptahelical yang berperan dalam relaksasi miometrium berkaitan dengan G-as yang me-mediasi aktivasi enzim adenil siklase dan meningkatkan kadar cAMP yang dapat ditemukan pada miometrium. Yang termasuk reseptor heptahelical yaitu:
- Beta-adrenoreseptor.
Pada beberapa penelitian pengaruh signal cAMP menyebabkan relaksasi miometrium. Dan reseptor beta-adrenergik memiliki prototipe yang serupa dengan cAMP. Beta adrenergik memediasi G-as sehingga mengstimulasi peningkatakan adenilil siklase sehingga kadar cAMP meningkat dan terjadi relaksasi miometrium. 1
- Luteinizing hormone (LH) dan Chrorionic gonadotropin (hCG)
Kadar reseptor LH-hCG dalam miometrium pada wanita hamil lebih besar dibandingkan pada saat persalinan. hCG berperan aktif dalam mengaktivasi adenilil siklase melalui reseptor G-s yang menyebabkan penurunan frekuensi dan tekanan kontraksi dan menurunkan jumlah gap junction sel miometrium. Maka dengan kata lain, kadar hCG plasma yang tinggi pada wanita hamil menyebabkan mekanisme uterus dalam keadaan tenang. 1
- Hormon relaksin
Hormon relaksin dalam pasma darah wanita hamil diduga disekresikan oleh corpus luteum. Kadar relaksin plasma tertinggi yaitu pada minggu ke8-12 kehamilan dengak kadar tertinggi sekitar 1ng/mL dan kadarnya menurun hingga ambang bawah hormon dan menetap hingga persalinan. Reseptor membran plasma homron relaksin mempengaruhi aktivasi enzim adenilil siklase dan mendukung terjadinya relaksasi miometrium namun juga berefek pada perlunakan servik. 1
- Corticotropin-releasing hormone (CRH)
CRH memiliki reseptor multipel dan afinitasnya meningkat pada akhir kehamilan. Kadar CRH plasma meningkat pada akhir minggu ke6-8 kehamilaan normal. Beberapa penelitian mengemukakan pendapat bahwa pada CRH dikaitkan dengan inisiasi terjadinya persalinan. Reseptor CRH dapat memberikan sinyal melalui cAMP atau kalsium, sehingga CRH dapat menyebabkan relaksasi atau kontraksi miometrium tergantung pada reseptor yang muncul. Oleh karena itu, CRH memiliki potensi sebagai uterorelaksan pada fase 0 dan uterotonika pada fase 1 dan 2 persalinan. 1
- Prostaglandin
Prostanoid berinteraksi dengan delapan tipe reseptor heptahelical, dan beberapa dari reseptor tersebut diekspresikan dalam miometrium. Meskipun prostaglandin kebanyakan digunakan sebagai uterotonika, prostanoid dapat berperan sebagai relaksan otot. Prostaglandin diproduksi oleh membrana asam arakidonat yang biasanya dilepaskan oleh aktivitas enzim fosfolipase A2 atau C pada membrana fosfolipid. Asam arakidonat dapat berperan dalam substrat tipe 1 &2 yang dikenal dengan siklooksigenase 1& 2. PGHS-1&2. 1
2.2.4 Sistem regulasi yang membuat kontraksi uterus
Adanya perubahan morfologi dan fungsi miometrium dan serviks dapat mempersiapkan uterus dalam menghadapi persalinan pada fase 1 persalinan. Proses ini ditandai dengan perkembangan sensitivitas uterotonika, peningkatan komunikasi selular melalui gap junction dan adanya perubahan kapasitas sel miometrium untuk meregulasi konsentrasi kalsium dalam sitoplasma. 1
Yang dapat membuat kontraksi uterus:
- Reseptor antagonis progesteron
Ketika antiprogestin RU 486 atau mifepristone diberikan pada wanita pada akhir fase siklus ovarium, maka akan terjadi menstruasi dini. Hal ini penting diperhatikan bahwa antiprogestin dapat digunakan untuk menginduksi terjadinya aborsi pada kehamilan minggu-minggu awal. Meskipun antogonis reseptor progesteron memiliki efek yang kurang efektif pada induksi aborsi pada wanita hamil tua namun RU 486 tetap efektif dalam perlunakkan serviks dan peningkatan sensitvitas miometrium terhadap uterotonika. Penurunan progesteron yang beredar dalam darah dapat menghambat enzim 3-hidroksisteroid dehidrogenase yang menginduksi persalinan. 1,3
- Reseptor oksitosin
Efektifitas oksitosin pada kontraksi uterus pada kehamilan dini dan akhir persalinan masih kontroversi. Progesteron dan estradiol diduga dapat mengatur ekspresi reseptor dari oksitosin. Terapi estradiol pada miometrium dapat meningkatkan reseptor oksitosin miometrium. Dan untuk menghambat kontraksi akibat pemberian estradiol dapat diberikan progesteron karena progesteron dapat meningkatkan degradasi reseptor oksitosin. Peningkatan reseptor oksitosin diatur secara langsung maupun tidak langsung oleh reseptor estradiol. Pemberian estradiol pada beberapa sepesies dapat meningkatkan reseptor oksitosin. 1,6
Gambar 3 Mekanisme kerja oksitosin 6
2.2.5 Peranan Fetus Dalam Inisiasi Persalinan
a. Kontraksi uterus dalam persalinan
Pertumbuhan janin merupakan komponen penting dalam aktivasi uterus yang tampak pada fase 1 persalinan. Selama masa gestasi dan dalam kaitannya dengan pertumbuhan janin, diperoleh adanya peningkatan tegangan kontraksi miometrium dan tekanan cairan amnion. Adanya peregangan pada uterus terus menerus akan menginduksi protein CAPs (spesific contraction-associated proteins). Regangan juga akan meningkatkan ekspresi dari protein gap junction, connexin 43 yang strukturnya mirip dengan reseptor oksitosin. Selain itu regangan pada uterus dianggap berpengaruh terhadap siklus endokrin feto-maternal dalam aktivasi uterus dalam proses persalinan.
b.Kaskade fetal endokrin mempengaruhi timbulnya persalinan. 1
Kemampuan fetus untuk menyediakan sinyal endokrin dibuktikan lewat percobaan pada janin domba sejak 30 tahun yang lalu, dimana dibuktikan bahwa sinyal tersebut dihasilkan dari aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal. Pada domba, produksi steroid padar kelenjar adrenal fetus dipercaya dapat memberikan efek pada plasenta dan membrana plasenta yang dapat merubah keadaan miometrum dalam keadaan tenang menjadi status otot yang mulai berkontraksi. Komponen dalam tubuh memiliki kemampuan untuk untuk memproduksi CRH (corticotropin-releasing hormone). 1
c.Peranan CRH dalam kelenjar adrenal fetus
Fetus memiliki berat kelenjar adrenal yang sama dengan kelenjar adrenal dewasa dan memiliki kemiripan dalam ukuran. Kelenjar adrenal yang mendekati kelahiran fetus menghasilkan steroid kurang lebih 100-200 mg/hari, lebih tinggi dibandingkan dengan steroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal dewasa pada keadaan istirahat (30-40mg/hari) namun fungsi steroid yang dihasilkan fetus berbeda dengan dewasa. Sebagai contohnya, sejumlah cortisol tidak diproduksi oleh kelenjar adrenal fetus hingga trimester ketiga. Sebagai hasilnya kadar cortisol fetus meningkat pada minggu-minggu akhir kehamilan. Selama periode ini, produksi Dehidroedpiandrosteron sulfat (DHEA-S) meningkat secara signifikan sehingga berefek pada peningkatan estrogen maternal terutama estriol. Peningkatan aktivitas adrenal ditandai dengan kadar hormon adrenocortiotropic hormon (ACTH) fetus yang tidak meningkat hingga sebelum persalinan.1,7
Kadar ACTH tidak meningkat secara signifikan sampai akhir kehamilan sehingga proses pertumbuhan dan diferensiasi dari kelenjar adrenal fetus sebenernya dipengaruhi oleh faktor lain yang disekresikan oleh plasenta. Zona fetal dari kelenjar adrenal akan segera mengalami involosi sesudah kelahiran. Dari beberapa penitian disebutkan bahwa CRH memiliki kemampuan untuk menstimulasi DHEA-S pada adrenal fetus dan biosintesis cortisol. 1,7
d.Produksi CRH plasental
CRH disintesis oleh plasenta. Kemampuan cortisol untuk menstimulasi CRH plasental memungkinkan fetus untuk masuk dalam kaskade endokrin yang tidak akan terpisahkan hingga akhir persalinan. 1
Kadar CRH plasma maternal ditemukan rendah pada trimester pertama dan meningkat pada pertengahan kehamilan hingga waktu persalinan. 12 minggu sebelum akhir masa gestasi, CRH plasma mengalami kenaikan secara mendadak. CRH yang dihasilkan oleh cairan amnion ditemukan meningkat pada akhir kehamilan. Sedangkan CRH dalam tali pusar lebih rendah dibandingkan sirkulasi maternal tetapi kadarnya masih dapat memacu proses steroideogenesis kelenjar adrenal fetus. 1
CRH merupakan satu-satunya hormon tropic yang memiliki releasing factor yang berikatan dengan spesific serum binding protein. Selama masa kehamilan, CRH-binding protein (CRH-BP) berikatan dengan CRH yang bersirkulasi dalam pembuluh darah ibu. Adanya reaksi ikatan tersebut membuat inaktivasi dari aktivitas plasenta untuk menghasilkan ACTH. Pada kehamilan trimester akhir, kadar CRH-BP dalam plasma maternal dan cairan amnion menurun dimana pada saat yang bersama-an pun kadar CRH meningkat tajam yang menunjukkan adanya aktivitas CRH yang tinggi. 1
Dalam kehamilan, kondisi kesejahteran janin dapat terganggu oleh berbagai macam komplikasi, konsentrasi CRH fetus-cairan amnion-maternal plasma yang meningkat. Peningkatan kadar CRH akan menghasilkan kadar CRH-BP yang subnormal. Peningkatan produksi CRH plasental dalam kehamilan normal dan adanya ekstresi CRH plasental yang berlebihan pada kehamilan resiko tinggi akan meningkatkan sintesis cortisol fetus. 1
e.Pengaruh CRH dalam persalinan
CRH plasental diduga memegang peranan penting dalam regulasi persalinan. Pertama, CRH plasental akan meningkatkan produksi cortisol fetal yang akan memberikan feedback positif pada plasenta sehingga produksi CRH dalam jumlah lebih banyak. Dengan demikian diperoleh kadar CRH yang tinggi yang dapat mengawali terjadinya kontraksi miometrium. Kedua, kortisol diduga telah berefek pada miometrium secara tidak langsung melalui membran plasenta yang meningkatkan sintesis prostaglandin. CRH diduga dapat merangsang sintesis adrenal steroid C19, yang dapat meningkatkan aromatisasi substrat plasenta dan menghasilkan elevasi estrogen yang dapat membuat pergeseran ratio estrogen ke rasio progesteron serta memperlihatkan ekspresi dari sejumlah protein kontraktil dalam miometrium yang menyebabkan miometrium tidak lagi dalam keadaan tenang. 1
Beberapa penelitian telah menduga bahwa peningkatan kadar CRH pada akhir gestasi menunjukkan adanya suatu hubungan antara fetus dan plasenta.
Gambar4. Regulasi proses kelahiran.11
Gambar 5 Gambaran kaskade plasenta-fetal. Pada kehamilan akhir, Corticotropin Releasing Hormone (CRH) menstimulasi fetal adrenal production of dehydroepiandrosterone sulfate (DHEA-S) dan cortisol. Cortisol menstimulasi produksi CRH plasenta, yang kemudian mempertinggi adrenocorticotropic hormone (ACTH). 1
f.Persalinan terlambat dan anomali fetus
Ada sebagian bukti bahwa kehamilan dengan hipoestrogenism terkadang berkaitan dengan pemanjangan waktu gestasi. Contoh kasus yang termasuk dalam persalinan terlambat (delayed parturition) yaitu anencephali, hipoplasia adrenal dan defisiensi plasental sulfatase. 1
Abnormalitas lainnya seperti renal agenesis (mengurangi jumlah urin masuk ke cairan amnion) atau hipoplasia pulmonal tidak memperpanjang waktu kehamilan. Oleh karena itu, sinyal fetal melalui jalur parakrin dari hubungan feto-maternal tidak dapat digunakan sebagai inisiasi persalinan. 1
Anomali kepala dan tulang punggung fetus terkadang menghambat waktu persalinan. Kelainan kongenital berupa tidak adanya hipofisis dapat memperpanjang gestasi beberapa minggu. Hipoplasia adrenal dikaitkan dengan persalinan terhambat. Malpas (1933) melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa kehamilan wanita dengan fetus anencephali memiliki waktu gestasi rata-rata 374 hari (53 minggu). Dia menyimpulkan bahwa ada hubungan antara anencephali dan gestasi yang memanjang disebabkan karena kelainan dari fungsi otak-hipofisis- adrenal. Kelenjar adrenal dari bayi anencephali sangat kecil dan pada saat matur, ukuran kelenjarnya hanya sekitar 5-10 persen dari ukuran normal kelenjar adrenal bayi normal, hal itu disebabkan karena kegagalan perkembangan zona fetus yang pada keadaan normal daerah tersebut digunakan untuk biosintesis masa adrenal dan steroid C19. 1
2.2.6 Faktor penting pada fase 2 persalinan
Fase 2 persalinan merupakan fase kontraksi uterus yang menimbulkan proses dilatasi serviks yang progresif dan proses kelahiran. Beberapa penelitian telah melakukan investigasi mengenai kemungkinan akan peningkatan formasi uterotonin yang merupakan inisiasi dari persalinan. 1
Beberapa faktor yang berpengaruh dalam persalinan:
- Oksitosin
Pada kehamilan trimester akhir, terutama pada fase 1 persalinan terjadi peningkatan reseptor oksitosin miometrium. Dengan adanya peningkatan reseptor tersebut maka terjadi peningkatan kontraksi uterus dan miometrium lebih responsif terhadap oksitosin. Sehingga jika terjadi prolong gestasi dapat disebabkan karena keterlambatan peningkatan reseptor oksitosin. 1
Oksitosin bersifat uterotonika yang digunakan untuk menginisiasi persalinan. Oksitosin merupakan suatu nanopeptida yang disintesis dalam neuron magnoseluler dari neuron supraoptik dan paraventricular. Prohormon oksitosin dibawa dengan protein carrier neurophysin yang terletak di hipofisis posterior. Oksitosin prohormon dikonversikan secara enzimatis ke dalam bentuk oksitosin selama proses transport. Oksitosin tidak menyebabkan inisiasi persalinan namun merupakan salah satu zat aktif yang efektif dalam persalinan aktif. Oksitosin berperan sebagai reseptor heptahelical yang mengaktivasi fosfolipase. Oksitosin juga sangat penting dalam fase 3 persalinan. 1
Beberapa pendapat mengenai oksitosin:
ü Reseptor oksitosin dalam miometrium dan jaringan desidua mengalami peningkatan drastis pada saat menjelang akhir masa gestasi
ü Oksitosin berperan dalam jaringan desidua untuk merangsang pelepasan prostaglandin
ü Oksitosin disintesis secara langsung dalam desidua dan jaringan ekstraembrionik dan dalam plasenta
Fakta mengenai oksitosin : Peningkatan oksitosin maternal selama stadum 2 persalinan (akhir fase ke-2 persalinan), dalam periode awal post partum dan selama pemberian air susu ibu (fase 3persalinan). Adanya peningkatan pelepasan oksitosin merupakan indikator bahwa oksitosin dihasilkan pada akhir persalinan atau sekitar masa nifas. Segera setelah kelahiran bayi,plasenta dan membran plasenta (fase lengkap ke-2), akan terjadi kontraksi yang kuat dan persisten dan terjadi retraksi uterus sehingga mencegah terjadinya perdarahan post partum. Oksitosin meyebabkan kontraksi yang persisten. 1
Infus oksitosin akan merangsang peningkatan kadar mRNAs dalam miometrium sehingga gen tersebut dapat mengkode protein esensial untuk involusi uterus. Protein esensial tersebut terdiri dari colagenase, monosit chemoattractant protein-1, interleukin-8, urokinase plasminogen activator receptor. Oleh karena itu, kerja oksitosin pada akhir persalinan dan selama fase ke-3 persalinan dapat digunakan untuk involusi uterus. 1
- Prostaglandin
Prostaglandin terutama PGF2a dan PGE2 berperan dalam fase 2 persalinan.
Beberapa fakta yang mendukung teori diatas:
  1. Kadar prostaglandin (termasuk metabolitnya) dalam cairan amnion, plasma maternal dan urin maternal meningkat selama proses kelahiran
  2. Terapi wanita hamil menggunakan prostaglandin yang diberikan dalam jalur apapun dapat menyebabkan aborsi dan kelahiran janin dalam semua stadium gestasi
  3. Pemberian inhibitor prostaglandin H sintase tipe 2 (PGHS-2) pada wanita hamil akan menghambat onset persalinan spontan dan terkadang dapat digunakan untuk persalinan prematur.
  4. Prostaglandin yang digunakan untuk otot miometrium secara in vitro menyebabkan kontraksi, bergantung pada percobaan prostanoid dan status fisiologis dari jaringan. 1
Membrana plasenta dan plasenta mampu memproduksi prostaglandin. Oleh karena itu, prostaglandin terutama PGE2 dapat dideteksi pada cairan amnion pada semua stadium gestasi. Seiring dengan pertumbuhan janin, maka kadar prostaglandin dalam cairan amnion ikut meningkat secara bertahap. Prostaglandin dipercaya untuk menghasilkan respon inflamasi yang dapat memberikan sinyal untuk memandu terjadinya persalinan aktif. 1
Untuk mengetahui sumber prostaglandin dalam cairan amnion pada saat persalinan, maka perubahan anatomi yang melibatkan membran plasenta fetalis selama dilatasi serviks perlu dibahas lebih mendalam. Sebelum persalinan dimulai, membran plasenta menempel pada desidua vera dimana pada segmen bawah rahim, membran sangat tipis dan lambat terbentuk. Bagian bawah kantung amnion terdorong dari dinding uterus, fragmen desidua parietalis tetap menempel keras pada permukaan luar dari chorion laeve. 1
Fenomena normal dari persalinan dini merupakan suatu keadaan dimana terjadi dilatasi serviks dini. Bagian bawah dari segmen bawah rahin dan sebagian serviks merupakan bagian yang paling mudah mengalami dilatasi. Ketika servik dibuka, janin akan melalui serviks, seperti air mengisi balon sehingga tekanan meningkat dan mendorong isinya melalui rongga berbentuk silinder. Area permukaan berisi janin akan meningkatkan progresifitas dilatasi serviks selama fase 2 persalinan. Permukaan luar dari amnion melekat pada bagian avaskuler dari chorion laeve/ sedangkan jaringan desidua yang mengalami trauma dan devaskularisasi terlepas dari uterus dan menimbulkan garis ireguler. 1
Menjelang persalinan kadar sitokin lebih besar dalam kantung kehamilan dibandingkan di dalam kantung amnion. sitokin dalam kantung kehamilan diduga akan meningkatkan kadar prostaglandin yang dihasilkan oleh amnion. mediator inflamasi memfasilitasi terjadinya dilatasi serviks dan segmen bawah rahim. Sitokin dan kemokin akan memandu terjadinya degradasi, peningkatan kadar asam hialuronat dan menyebabkan masuknya leukosit ke dalam uterus. Dengan adanya peningkatan sitokin dan prostaglandin menyebabkan degradasi lebih lanjut dari matriks ekstraseluler yang menimbulkan perlunakan dari membrana plasenta. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam proses persalinan ditandai dengan perubahan cepat dari serviks. 1
- Platelet Activating Factor (PAF)
Reseptor PAF termasuk kedalam reseptor heptahelical dan berfungsi untuk meningkatkan kalsium dalam sel miometrium dan meningkatkan kontraksi uterus. Kadar PAF dalam cairan amnion meningkat selama kehamilan, dan pemberian PAF dalam jaringan miometrium akan meningkatkan kontraktilitas. Seperti halnya prostaglandin, sitokin, endothelin-1, PAF juga diproduksi dalam leukosit sebagai hasil dari proses inflamasi yang berkembang pada saat dilatasi serviks yang ditimbulkan akibat trauma dari kantung kehamilan. 1
PAF diinaktivasi secara enzimatis oleh enzim PAF asetilhidrolase. Enzim ini tampak dan diproses dalam makrofag dan banyak ditemukan dalam sel desidua. Miometrium dapat diproteksi dari aksi PAF lewat enzim PAF asetilhidrolase, dimana enzim PAF asetilhidrolase ini berfungsi sebagai uterotonika. Oksitosin dihambat oleh oksitosinase, endothelin-1 dihambat oleh enkefalinase, prostaglandin oleh prostaglandin dehidrogenase. 1
- Endothelin-1
Endothelin sangat berpengaruh kuat dalam menginduksi kontraksi miometrium, dan reseptor endothelin terdapat dalam miometrium. Reseptor endotehelin-A memiliki efek dalam meningkatkan kalsium intraseluler, melalui ikatan antara G-aq dan G-ai dari komponen protein G. Endothelin \-1 diproduksi oleh miometrium, cairan amnion. endothelin \-1 tidak dapat ditransportasikan dari cairan amnion ke miometrium tanpa proses degradasi. Enkefalinase mengkatalisis degradasi dari endothelin-1. Pada keadan ruptur membran dini juga dipengaruhi oleh endothelin-1. 1
- Angiotensin II
Terdapat 2 reseptor heptahelical G-protein yang terdapat dalam angiotensin II yang diekspresikan dalam uterus. Pada wanita tidak hamil ditemukan banyak reseptor AT2 tetapi pada wanita hamil banyak ditemukan reseptor AT1. Hal tersebut yang menjelaskan mengapa wanita tidak hamil tidak mengalami kontraksi ketika diberikan AT2. AT2 berikatan dengan reseptor membran plasma pada otot polos sehingga menimbulkan kontraksi. Pada kehamilan, otot polos akan mengekspresikan reseptor AT2. AT2 mendekati persalinan akan berfungis sebagai uterotonika pada fase 2 persalinan sehingga meningkatkan masuknya kalsium kedalam sel miometrium. 1
- CRH, hCG dan PTH-rP
Pada kehamilan trimester akhir, terjadi modifikasi dari reseptor CRH, hCG atau PTH-rP atau ikatan dengan protein G dalam miometrium yang memudahkan terjadinya perubahan formasi cAMP dalam miometrium sehingga meningkatkan terjadinya kalsium. Oksitosin akan menstimulasi CRH sehingga mengakumulasikan cAMP dalam miometrium dan CRH akan menimbulkankontraksi melalui pemberian oksitosin. CRH dapat meningkatkan kontraktilitas miometrium jika berinteraksi dengan PFG. 1,7
Jaringan intrauterin yang mendukung terjadinya persalinan:
v Amnion
Amnion merupakan membran yang memiliki kekuatan regang yang tinggi dan tahan terhadap tarikan dan ruptur. Amnion avaskuler bersifat tahan terhadap penetrasi leukosit, mikroorganisme dan sel neoplastik. Amnion melindungi jaringan maternal dari komponen-komponen yang terdapat dalam carian amnion yang dapat mengganggu fungsi desidua atau miometrium seperti timbulnya emboli cairan amnion. 1
Beberapa peptida dan prostaglandin yang disintesis dalam amnion akan menimbulkan relaksasi atau kontraksi. Pada akhir gestasi, amnion akan memproduksi prostaglandin lebih banyak. Amnion akan meningkatkan aktivitas fosfolipase A2 dan PGHS-2 pada akhir gestasi. Sumber utama prostaglandin dalam cairan amnion berasal dari amnion. 1
v Chorion laeve
Chorion mirip dengan amnion yaitu melindungi jaringan terutama dari proses immunologis. Chorion laeve diperkaya dengan enzim yang menginaktivasi uterotonika seperti prostaglandin dehidrogenase (PGDH), oksitosinase dan enkefalinase. Hampir sebagian besar waktu gestasi, prostaglandin yang diproduksi oleh amnion dapat dilepaskan kedalam cairan amnion atau dimetabolis ke chorion sekitarnya. pada kasus ruptur membran, barier akan hilang dan prostaglandin dapat mengenai daerah sekitar desidua dan miometrium. Kadar PGDH dalam chorion dapat diregulasi sehingga dapat mencegah terjadinya kehamilan yang terkomplikasi. Progesteron juga mengatur ekspresi PGDH chorion, dimana pada saat yang bersamaan juga cortisol akan menurun. PGDH akan menurun pada akhir masa gestasi ketika produksi cortisol meningkat dan terjadi perubahan hormon progesteron. Fungsi prostaglandin dalam menginisiasi persalinan pada fase 1 masih diperdebatkan, namun pada fase2, prostaglandin sangat penting dalam terjadinya persalinan dan masih berperan sampai dengan fase 3 yaitu untuk involusi uterus. 1
v Desidua parietalis
Hasil metabolisme dari desidua parietalis menginisiasi persalinan. Pada keadaan trauma, hipoksia dan paparan langsung terhadap desidua oleh endotoksin lipopolisakarida, mikroorganisme dan interleukin 1-B dalam cairan vagina akan mencetuskan reaksi peradangan yang dapat menimbulkan dimulainya persalinan (Gary C., Kenneth J., Steven L.,etc, 2005).
Saat reaksi peradangan mulai terjadi, beberapa sitokinyang diproduksi akan meningkatkan produksi zat uterotonika (terutama prostaglandin) atau akan beraksi secara langsung pada miometrium untuk menyebabkan kontraksi. Sitokin-sitokin terdiri dari tumor necrosis fakctor –a (TNF-) dan interleukin 1,6,8,12. Sitokin-sikotikn ini akan beraksi sebagai kemokin yang menarik neutrofil dan eosinofil ke dalam uterus sehingga pada akhirnya akan meningkatkan aktivitas uterus dan persalinan. 1,7
2.3 Fisiologis Persalinan Prematur
Persalinan prematur ialah persalinan yang terjadi dibawah usia kehamilan 37 minggu dengan perkiraan berat janin kurang dari 2500 gram. Persalinan prematur merupakan salah satu persalinan yang ditakutkan karena sering berkaitan dengan adanya anomali kongenital, dan sering dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas dari bayi. 1,4
Persalinan prematur dapat dikategorikan kedalam tiga pembagian:
  1. Komplikasi kehamilan dan terkadang disebabkan karena kesehatan ibu, sering disebabkan karena tindakan medis atau penyebab iatrogenik (25%)
  2. Ketuban pecah dini sering diikuti dengan persalinan prematur (25%)
  3. Persalinan prematur spontan pada membrana yang intak ( 50%).1
2.3.1 Ketuban pecah dini
Dikatakan ketuban pecah dini jika terjadi ruptur spontan dari membran yang terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu dan sebelum terjadinya onset persalinan. Penyebab Ketuban pecah dini (KPD) sangat bermacam-macam, tetapi penyebab tersering yaitu infeksi intrauterine. 1
Patogenesis KPD berkaitan dengan peningkatan apoptosis pada komponen seluler dari membran seperti peningkatan enzim protease pada membran dan cairan amnion. Kebanyakan regangan pada membran plasenta didukung oleh adanya matriks ekstraseluler di dalam amnion. Kolagen dalam amnion interstitial, terutama tipe 1 dan III diproduksi oleh sel mesenkimal dan merupakan komponen struktural yang sangat penting untuk menjaga ketegangan membran. 1
Matriks metalloproteinase (MMP) berperan dalam remodelling jaringan normal dan degradasi kolagen. MMP-2, MMP-3, MMP-9 banyak ditemukan dalam cairan amnion pada kehamilan dengan KPD. Aktivitas dari MMP diregulasi oleh enzim TIMPs (tissue inhibitors of matrix metalloproteinases). Beberapa dari TIMP ditemukan di dalam cairan amnion dalam konsentrasi rendah wanita dengan KPD. Peningkatan protease ditemukan pada saat terjadi penurunan ekspresi inhibitor protease. Adanya peningkatan protease mendukung perubahan ketegangan amnion dan peningkatan insidensi dari KPD. Ekspresi MMPs dapat ditingkatkan dengan pemberian IL-1, TNF-a dan IL-6, oleh karena itu induksi MMP akan mendukung terjadinya proses inflamasi. 1
Dengan adanya penghancuran kolagen, amnion pada KPD akan menunjukkan peningkatan kematian sel-sel yang tampak pada amnion trimester akhir. Marker apoptosis meningkat pada membran KPD. Pada studi in vitro menunjukkan bahwa apoptosis diregulasi oleh endotoksin bakterial, IL-1B dan TNF-a. Dari hasil beberapa penelitian maka dapat disimpulkan bahwa KPD terjadi karena adanya penghancuran kolagen dan kematian sel akan memicu terjadinya kelemahan amnion. 1
Sebuah survei dari 18 studi antara tahun 1979 dan 2000, dengan subjek 1462 wanita dengan KPD ditemukan adanya bakteri pada cairan amnion. oleh karena itu untuk mencegah terjadinya KPD sering diberikan profilaksis antimikroba. 1
2.3.2 Persalinan Prematur Spontan
Kehamilan dengan membran intak dan persalinan prematur spontan secara klinis harus dibedakan dengan persalinan karena ruptur membran. Kehamilan gemeli, infeksi intrauterin, perdarahan, infark plasenta, dilatasi prematur serviks, incompeten serviks, abnormalitas uterus dan anomali janin sering menyebabkan persalinan prematur spontan. Penyakit ibu yang berat sebagai hasil dari infeksi non-obstetric, penyakit autoimun dan hipertensi gestasional meningkatkan insidensi terjadinya persalinan prematur. Kelainan-kelainan tersebut sering menyebabkan persalinan prematur spontan (50%).1
Meskipun banyak sekali faktor yang menyebabkan persalinan prematur, namun faktor janin atau maternal memegang peranan penting dalam terjadinya onset persalinan prematur. 1
Tiga faktor utama penyebab persalinan prematur spontan yaitu distensi uterus, stres feto-maternal dan infeksi.
  1. Distensi uterus
Perengangan pada uterus dapat memicu kontraksi miometrium sehingga merangsang persalinan. Pada gestasi gemeli atau hidramnion, terjadi distensi uteri dini yang menyebabkan inisiasi ekspresi dari CAPs (contraction-associated proteins) dalam miometrium. Gen CAP dipengaruhi oleh peregangan dimana CAP akan mengkode protein gap junction seperti connexin 43 yang bekerja pada reseptor oksitosin dan enzim prostaglandin sintase. Akibat dari peregangan uterus yang berlebihan menyebabkan miometrium yang sedang berada dalam keadaan tenang menjadi aktif. 1
Selain itu peregangan uterus pada miometrium juga mengaktivasi dini kaskade plasenta-fetus-endokrin. Akibat dari perengangan uterus juga sering berefek pada serviks. Panjang serviks sangat penting dalam kehamilan gemeli. Kelahiran prematur meningkat jika terjadi perengangan dini dan aktivitas endoktrin yang dapat menginisiasi terjadinya kontraksi dini miometrium termasuk pematangan serviks dini. 1
Rahim yang menjadi besar dan merenggang menyebabkan iskemia otot-otot rahim dan, sehingga mengganggu sirkulasi uteroplasenter.12
  1. Stres feto-maternal
Trimester akhir ditandai dengan meningkatnya kadar serum maternal dari CRH plasental. Hormon ini bekerja sama dengan ACTH untuk meningkatkan produksi hormon adrenal dewasa dan fetus, yang dapat menginisiasi biosintesis cortisol. Peningkatan kadar kortisol maternal dan fetal akan meningkatkan sekresi CRH plasental yang dapat mengembangkan kaskade balik dari endokrin yang tidak akan berhenti hingga periode kelahiran. Peningkatan kadar CRH akan menstimulasi biosintesis DHEA-S adrenal fetus yang akan bekerja sebagai substrat yang meningkatkan kadar estrogen maternal yang bersirkulasi dalam darah terutama estriol. Menurut hipotesis yang ada, peningkatan kadar cortisol dan estrogen dini menyebabkan uterus tidak lagi dalam keadaan tenang. 1
Dengan didukung oleh beberapa hipotesis dikatakan bahwa persalinan prematur dipengaruhi oleh sirkulasi CRH maternal. Kadar CRH pada wanita hamil matur dan prematur hampir mirip namun pada wanita yang memiliki kecenderungan melahirkan bayi prematur akan menampakkan kadar CRH yang meningkat 2-6 minggu lebih cepat. Peningkatan kadar CRH mulai tampak dari kehamilan 18 minggu. 1
CRH plasental juga dapat memasuki sirkulasi fetus. Pada studi invitro dikatakan bahwa CRH dapat menstimulasi produksi adrenal DHEA-s dan kortisol secara langsung. Jika persalinan prematur dikaitkan dengan aktivasi prematur dari kaskade endokrin fetus-adrenal-plasental endokrin, maka hal itu dapat dikatakan bahwa kadar estrogen maternal akan dapat meningkat sebelum waktunya, begitupun dengan kadar CRH yang meningkat sebelum waktunya. Secara fisiologis, peningkatan kadar estrogen dini akan merubah keadaan miometrium menjadi tidak tenang. 1
  1. Infeksi
Pada binatang, adanya kuman atau endotoksin (seperti lipopolisakarida) akan menyebabkan aborsi atau persalinan prematur, yang disertai dengan perdarahan dan nekrosis desidua. 1
Diperkirakan sekitar 40 persen dari persalinan prematur disebabkan karena infeksi intrauterin. Konsep ini dibuat karena adanya dugaan penyebaran infeksi yang bersifat subklinis yang sering terjadi mengikuti insidensi dan menjadi penyebab persalinan prematur. Keadaan subklinis digunakan untuk mendeskripsikan keadaan infeksi intrauterin yang disertai dengan sedikit atau adanya bukti infeksi, tidak ditemukannya mikroorganisme dari dalam cairan amnion. 1
Hasil kultur positif adanya kuman dalam cairan amnion pada persalinan prematur hanya ditemukan pada sekitar 10-40 persen kelahiran prematur, rata-rata sekitar 13 persen. Pada wanita tersebut sering mengalami chorioamnionitis dan KPD dibandingkan wanita hamil dengan hasil kultur negatif. Selain itu wanita dengan kultur positif memiliki resiko melahirkan neonatus dengan komplikasi. Semakin cepat onset persalinan prematur, semakin tinggi resiko terkena infeksi cairan amnion. Pada waktu yang bersamaan, insidensi kultur cairan amnion yang positif dikumpulkan dengan amniosentesis pada persalinan normal lebih banyak dibandingkan dengan persalinan prematur. Hal ini diperkirakan karena pada saat persalinan normal, cairan amnion terinfiltrasi oleh bakteri yang terjadi pada saat proses persalinan berlangsung, walaupun pada kehamilan prematur yang menunjukkan adanya bakteri merupakan tanda signifikan. Endotoksin dapat menstimulasi cairan amnion untuk mensekresikan sitokin yang dapat masuk melalui cairan amnion. 1
Kuman dapat mencapai jaringan intrauterin melalui jalur transplasental dari infeksi sitemik maternal, secara retrograde melalui cavum peritoneal via tuba fallopii dan melalui infeksi asceding lewat vagina dan serviks. Empat stadium dari infeksi intrauterin yaitu invasi mikroba yang termasuk vaginosis bacterial (stadium 1), infeksi desidual (stadium 2), infeksi amnion (stadium 3), dan infeksi sistemik fetus (stadium 4). Mikroorganisme yang terdapat dalam vagina atau serviks akan naik ke atas dan berkoloni pada desidua dan mengenai membran plasenta,kemudian masuk ke dalam kantung amnion. kuman-kuman kemudian menghasilkan lipopolisakarida atau toksin yang akan menginduksi produksi sitokin dalam sel-sel desidua, membran dan dalam fetus sendiri. Baik lipopolisakarida dan sitokin-sitokin meningkat karena adanya pelepasan prostaglandin dari membran plasenta, desidua atau keduanya. 1
Kuman yang diduga berkaitan dengan kelahiran prematur yaitu Gardnerella vaginalis, Fusobacterium, Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealyticum. 1
Adanya pengaruh ligand liposakarida bacterialis menyebabkan peningkatan pelepasan lokal kemokin, sitokin dan prostaglandin sebagai bagian dari respon inflamasi. Sebagai contohnya, IL-1B diproduksi secara cepat setelah stimulasi lipopolisakarida. IL-1 berkerja dengan cara meningkatkan respon terhadap peningkatan sintesis sitokin lainnya seperti TNF-a, IL-6, IL-8, proliferasi, aktivasi dan migrasi leukosit, modifikasi matriks ekstraseluler, mitogenik dan efek sitotoksik termasuk panas dan respon akut. IL-1 juga bekerja untuk memicu pembentukan prostaglandin pada beberapa jaringan meliputi miometrium, desidua dan amnion. 1
Sitokin yang diproduksi oleh desidua maternal dan miometrium dapat berefek pada lokasi produksinya. Leukosit terutama neutrofil, makrofag dan sel limfosit T akan menginfiltrasi bagian serviks, segmen bawah rahim dan fundus pada waktu persalinan. Penelitian lain dapat menunjukkan bahwa leukosit akan menginvasi membran dan serviks melalui persalinan prematur. Oleh karena itu, invasi leukosit merupakan sumber sitokin yang pertama. 1
Leukosist diduga sebagai sumber utama sitokin miometrium yang meliputi IL-1, IL-6, IL-8, TNF-a, meskipun dalam sel desidua baik sel stroma dan leukosit saling bekerja sama dalam menghasilkan sitokin. Dalam serviks, sel epitel permukaan dan glandular tampaknya ikut memproduksi IL6,8,TNF-a. pada kenyataannya IL-8 dianggap sebagai sitokin utama dalam proses pematangan servikal dan diproduksi oleh sel epitel dan sel stromal serviks. 1
Infiltrasi leukosit dapat diregulasi oleh sintesis membran plasenta yang memproduksi kemokin. Pada persalinan matur, didapatkan peningkatan konsentrasi dari MCP-1 (monocyte-macrophage activator). MCP-1 dianggap sebagai faktor yang menginisiasi infiltrasi leukosit dalam plasenta dan membran, dengan kata lain produksi MCP-1 merupakan suatu marker adanya infeksi intra-amnion dan inflamasi.1
BAB III
KESIMPULAN

Fase-fase kelahiran terdiri dari empat fase penting yang menunjukkan adanya transformasi dari uterus. Banyak sekali faktor yang berpengaruh terhadap fase-fase persalinan baik faktor fisiologis maupun kimiawi. Infeksi intrauterine merupakan infeksi yang secara signifikan menyebabkan persalinan prematur idiopatik yang spontan.