Jumat, 28 Oktober 2016

ESWL (Extracorporeal shock wave lithotripsy)

ESWL (Extracorporeal shock wave lithotripsy) adalah tindakan pemecahan batu saluran kencing (ginjal,ureter.kandung kemih) dengan gelombang kejut (Shock wave) tanpa pembedahan sama sekali. Batu saluran kencing akan pecah menjadi fragmen kecil sekali sehingga dapat keluar spontan bersama air kencing.

ESWL merupakan tindakan non invasive dengan menggunakan tehnologi gabungan x-ray, ultrasound, dan acoustic shock wave dalam mendiagnosa/menentukan lokasi dan memecah batu.
 

Sejarah ESWL
ESWL ditemukan tahun 1980 an. Tehnologi ESWL berkembang pesat menjelang 2000, berbagai jenis dan tipe telah disempurnakan.
Tehnologi Elektrokonduktive yang dikembangkan oleh Inserm di Perancis dengan membungkus elektrode dengan Electrolyte cairan yang sangat konduktive sehingga menjamin akurasi tenaga shockwave tidak berkurang sampai target batu . Tenaga shockwave yang optimal ini menjadikan efek terapi pemecahan batu sangat maksimal.
Tehnologi ini didapatkan pada Sonolith i-sys, dimana saat penentuan lokasi dengan sistem layar sentuh (touchscreen) baik dengan x-ray dan atau USG. Mesin akan otomatis dengan tehnologi robotisasi menentukan focus tembakan. Automatic Pressure regulator yang ada pada tehnologi elektrokonduktive membuat mesin ini aman untuk pasien. Kedalaman tembakan sampai dengan 210 mm, sehingga efektif untuk pasien dengan

Apa indikasi ESWL?
 
Setelah pemeriksaan fisik, laboratorium, x-ray, USG dan echocardiografi Dokter Ahli Urologi akan memutuskan indikasi tindakan ESWL.sesuai atau tidak.

Bagaimana prosedur ESWL?
1.            Setelah indikasi diputuskan oleh Dokter Ahli Urologi, pasien dijadwalkan prosedur ESWL. Tidak ada persiapan khusus, pasien datang ke Senter ESWL RS Kariadi yang terletak di Ruang Bedah Sehari (Day Surgery), menandatangani pertindik (informed consent)
2.              Pasien diberi obat anti nyeri bilamana diperlukan diberikan sedative ringan
3.           Pasien terlentang santai pada meja khusus dan setelah ditentukan lokasinya dengan x-ray dan atau ultrasound batu dihancurkan dengan gelombang kejut (shock wave) yang difokuskan kearah batu
4.     Tembakan biasanya antara 1000 dan 3500, atau ditentukan oleh dokter ahli urologi. Lama tembakan antara 30- 60 menit
5.              Evaluasi pemecahan dapat diketahui langsung (real time) baik dengan x ray dan atau USG

Pasca ESWL
Pasien dapat langsung pulang, kecuali dianjurkan oleh dokter karena kondisi pasien yang memerlukan observasi ketat. Dapat beraktivitas normal setelah 24 jam pasca terapi.
Pecahan batu keluar spontan bersama air kencing terkadang sedikit tidak nyaman waktu kencing. Sebaiknya pecahan batu dikumpulkan untuk dianalisa untuk melihat komposisi batu. Sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan kekambuhan.

Adakah efek samping ESWL?
ESWL sangat aman. Hanya sedikit efek samping beberapa hari
                Kencing darah, biasanya hilang dalam 1-2 hari pasca terapi
                Nyeri, terutama akibat pecahan batu yang turun bersama air kencing
                Petechia pada kulit didaerah tembakan, biasanya hilang beberapa hari
                Infeksi, terutama adanya bakteri yang bersarang pada batu ( 1-7% di Eropa)
                Obstruksi ureter oleh karena batu

sumber : www.rskariadi.com

Sabtu, 08 Oktober 2016

Spirometri

Pengertian dan Gambaran Umum

 

Spirometri secara harfiah berarti “pengukuran napas seseorang.” Tujuan dari tes yang merupakan salah satu tindakan yang paling sering dianjurkan untuk pasien dengan masalah paru-paru ini, adalah untuk mengukur fungsi paru-paru, yaitu dalam hal volume dan aliran udara yang dapat dihembuskan atau dihirup oleh seseorang. Data yang dihasilkan dari tindakan ini disebut pneumotachographs, yang dapat digunakan untuk memeriksa dan menilai kondisi tertentu seperti fibrosis kistik, asma, bronkitis, emfisema, dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Tindakan pengujian ini dilakukan dengan menggunakan spirometer, yang mengukur volume udara yang dihembuskan dan dihirup oleh paru-paru, serta peredaran udara pada paru-paru. Kebanyakan jenis spirometer dapat mengidentifikasi dua jenis pola peredaran udara yang mungkin mengindikasikan kelainan pada paru-paru: restriktif dan obstruktif.
Terdapat berbagai jenis spirometer, yang menggunakan berbagai metode untuk mengukur aliran udara dan volume, seperti meteran air, ultrasonic, dan tekanan transduser. Spirometer biasa dapat menghasilkan dua jenis grafik, yaitu: kurva volume waktu (dengan waktu dalam detik di sumbu x, dan volume dalam liter di sumbu y) dan lingkaran aliran volume (representasi grafis dari total volume yang terhirup/terhembus pada sumbu x dan tingkat aliran udara pada sumbu y).

Siapa Saja yang Harus Menjalani Tes ini dan Mendapatkan Manfaatnya

Spirometri dianjurkan bagi pasien yang:
  • Memiliki masalah pernapasan
  • Diduga atau memiliki penyakit paru-paru seperti bronkitis, asma, atau emfisema
  • Mengalami sesak napas atau menghirup uap kimia di tempat kerja
  • Akan menjalani bedah rumit (untuk memastikan bahwa fungsi paru-paru berada pada tingkat yang sehat untuk mencegah masalah selama bedah dilakukan)
  • Berada di bawah pengaruh obat tertentu (dokter dapat menggunakan spirometri untuk mengetahui     efek dari obat-obatan ini pada paru-paru pasien
  • Memiliki gangguan paru-paru kronis
Anak-anak yang tidak dapat memahami instruksi untuk tes ini tidaklah memenuhi syarat untuk melakukan tindakan ini. Biasanya, tindakan yang dilakukan tanpa menggunakan obat penenang ini, dilakukan pada pasien yang sudah berusia enam tahun atau lebih.
Tindakan spirometri biasanya menghasilkan FVC (kapasitas vital paksa), yang memberitahukan dokter ahli jumlah terbesar udara yang dapat dihembuskan oleh pasien (dengan kekuatan maksimum) setelah diberitahu untuk menghirup udara sedalam mungkin. Jika FVC-nya menunjukan hasil yang lebih rendah dari hasil normal, dokter dapat menyimpulkan bahwa pasien memiliki masalah penyumbatan pernapasan.
Pembacaan spirometri lainnya yaitu FEV-1 (volume penghembusan udara paksa), yang mengukur jumlah udara yang dapat pasien keluarkan dengan paksa dari dalam paru-parunya dalam hitungan detik. Informasi ini membantu dokter ahli menentukan dan menilai separah apa masalah pernapasan pasien. Jika FEV-1-nya menunjukan hasil yang lebih rendah dari pembacaan normal, pasien mungkin memiliki masalah obstuksi parah dalam saluran udaranya sehingga mencegah pernapasan normal.

Bagaimana Cara Kerja Spirometri?

 

Beragam cara spirometri dapat dilakukan, bergantung pada jenis peralatan yang digunakan. Namun, untuk tes FVC, pasien biasanya diminta untuk menarik napas sedalam mungkin. Napas ini kemudian akan dihembuskan secara paksa ke dalam corong mesin spirometri, yang dilengkapi dengan sensor yang dapat mengukur volume udara yang dihirup dan dihembuskan. Pasien akan diminta menghembuskan napas ke sensor dalam waktu enam detik. Dokter kemudian akan meminta pasien untuk menghirup udara dengan cepat untuk mengetahui keberadaan dan menilai sejauh mana obstruksi saluran napas bagian atas.
Ada juga beberapa mesin spirometri yang membutuhkan pasien untuk menghirup udara pelan-pelan dan menghembuskan napas ke dalam sensor untuk mengukur volume tidal. Beberapa dokter menggunakan klip penutup hidung yang terbuat dari bahan yang lembut dan lentur untuk mencegah udara keluar melalui hidung pasien. Mesin juga dapat dilengkapi dengan corong khusus untuk menyaring napas pasien dan mencegah mikroorganisme menyebar.

Kemungkinan Komplikasi dan Risiko

Umumnya, tindakan spirometri sangatlah aman. Beberapa pasien melaporkan sesak napas singkat atau pusing setelah tes selesai dilakukan, namun gangguan ini akan hilang setelah beberapa saat.
Pasien yang baru saja menderita serangan jantung atau kondisi yang berhubungan dengan masalah jantung apapun bukanlah calon ideal untuk melakukan tindakan spirometri karena tes memerlukan beberapa upaya pada tubuh pasien.
Dalam kasus yang sangat langka, spirometri diketahui sebagai pemicu masalah pernapasan pada pasien.

Referensi:
  • Hegewald MJ, Crapo RO. Pulmonary function testing. In: Mason RJ, Broaddus VC, Martin TR, et al., eds. Murray and Nadel’s Textbook of Respiratory Medicine. 5th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2010:chap 24.
  • Reynolds HY. Respiratory structure and function: mechanisms and testing. In: Goldman L, Schafer AI, eds. Goldman’s Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2011:chap 85.

Bronkoskopi

Apa itu Bronkoskopi?

Bronkoskopi adalah prosedur kesehatan yang dilakukan dengan memasukkan alat bernama bronkoskop melalui tenggorokan, laring, trakea ke dalam bronkus untuk melihat bagian toraks (dada). Tindakan ini dapat dilakukan untuk mendiagnosis dan mengobati suatu penyakit serta mengambil sampel jaringan atau mukus melalui tindakan yang disebut biopsi.
Bronkoskop dimasukkan melalui mulut atau hidung. Alat ini dilengkapi dengan cahaya untuk menerangi jalan masuk, menunjukkan bronkus paru-paru, dan memperjelas gambar yang terlihat. Bronkoskop juga dilengkapi dengan kamera yang mengambil gambar organ tubuh, yang nantinya digunakan untuk evaluasi.
Ada dua jenis bronkoskop yang digunakan untuk bronkoskopi: kaku atau lentur. Bronkoskop yang lentur akan menyebabkan sedikit atau tidak ada ketidaknyamanan. Pasien dapat menjalani bronkoskopi dengan hanya sedikit obat penenang atau bius lokal. Sedangkan bronkoskop yang kaku membutuhkan bius total. Namun, bronkoskop yang kaku dibutuhkan ketika pasien mengalami batuk yang disertai banyak darah.
Beberapa rumah sakit menyediakan bronkoskopi virtual, yaitu CT scan yang juga diarahkan pada bronkus. Pasien akan berbaring di meja pemeriksaan saat alat pemindai bergerak di sekitar tubuh untuk mengambil gambar dari dada dan trakea secara rinci. Walaupun pemindaian ini memberikan hasil yang baik, namun informasi yang rinci tentang saluran udara dan paru-paru hanya bisa didapatkan melalui bronkoskopi biasa.
Bronkoskopi dapat dilakukan di rumah sakit atau klinik rawat jalan. Tindakan ini tetap dapat dilakukan walaupun pasien menggunakan tabung makanan.

Siapa yang Perlu Menjalani Bronkoskopi dan Hasil yang Diharapkan

Bronkoskopi disarankan bagi pasien yang memiliki gangguan paru-paru yang tak kunjung hilang, seperti peradangan tabung bronkus, batuk kronis, atau kesulitan bernapas. Bronkoskopi dapat dilakukan setelah pemeriksaan paru-paru lainnya, seperti sinar X atau pemeriksaan fisik, memberikan hasil yang tidak normal atau mencurigakan. Saat ini, beberapa rumah sakit menggunakan sinar laser dan bronkoskop untuk menghancurkan tumor.
Bronkoskopi juga dapat dilakukan untuk menghancurkan tumor atau mengambil sampel jaringan untuk biopsi, yang dapat menunjukkan apakah masa atau sel di jaringan bersifat jinak atau ganas (kanker). Pada kasus di mana ada benda asing di saluran udara, bronkoskopi dapat digunakan untuk mengetahui letak benda asing tersebut sehingga dapat diangkat dengan mudah.
Bronkoskopi juga dibutuhkan ketika paru-paru pasien telah berhenti bekerja, sebuah kondisi yang dikenal sebagai pneumotoraks. Pneumotoraks terjadi ketika udara yang keluar dari paru-paru berkumpul di sekitar paru-paru dan memberikan tekanan yang besar. Hal ini dapat menyebabkan penyempitan rongga paru-paru, sehingga pasien mengalami kesulitan bernapas.
Gangguan berupa kesulitan bernapas juga dapat membutuhkan bronkoskopi, terutama apabila pernapasan sangat sulit dilakukan atau terlalu nyaring (misalnya, apnea tidur obstruktif).
Setelah bronkoskopi selesai, pasien dapat diminta tinggal di ruang pengawasan setidaknya selama satu jam atau sampai obat-obatan, seperti obat bius, telah hilang pengaruhnya. Kemudian, pasien akan disarankan untuk tidak minum dan melakukan kegiatan yang berat selama 24-48 jam berikutnya.

Cara Kerja Bronkoskopi

Pasien yang telah dijadwalkan menjalani bronkoskopi harus melakukan puasa setelah tengah malam, kecuali mereka harus mengonsumsi obat-obatan yang harus diminum. Terkadang dokter akan menyarankan pasien untuk berhenti mengonsumsi obat-obatan mulai beberapa hari sebelum bronkoskopi.
Langkah pertama tindakan ini bergantung pada jenis bronkoskop yang digunakan. Kedua jenis bronkoskopi akan membutuhkan infus (kateter yang dimasukkan ke pembuluh darah) untuk memberikan obat-obatan, seperti obat bius, untuk kenyamanan pasien. Apabila menggunakan bronkoskop yang kaku, selama tindakan harus ada ahli obat bius untuk melakukan pengawasan.
Karena tindakan ini dapat menghambat proses pernapasan, pasien akan dihubungkan dengan sebuah alat yang mengawasi tanda vital tubuh, seperti detak jantung dan tekanan darah. Oksigen dapat diberikan ke pasien melalui hidung atau mulut dengan menggunakan tabung atau kanula (tabung kecil yang lentur).
Obat bius lokal akan diberikan di bagian belakang tenggorokan dan hidung, yang akan dilewati oleh bronkoskop. Kemudian, bronkoskop akan dimasukkan melalui mulut atau hidung, melewati pita suara, saluran udara, dan paru-paru.
Setelah itu, kamera akan mulai mengambil gambar. Dokter spesialis juga dapat memilih untuk melakukan aspirasi jarum atau biopsi dengan forcep (alat penjepit) untuk mengambil sampel jaringan, cairan, atau mukus.
Bronkoskopi membutuhkan waktu sekitar satu jam.

Kemungkinan Komplikasi dan Resiko Bronkoskopi

Walaupun dapat menyebabkan sedikit ketidaknyamanan bagi pasien, namun secara umum bronkoskopi adalah tindakan yang sangat aman. Setelah bronkoskopi selesai, ada kemungkinan pasien mengalami pendarahan ringan sampai 2 hari. Suara pasien dapat terdengar serak dan tenggorokan dapat terkena radang akibat pemasukan tabung. Namun, semua hal tersebut akan berhenti setelah beberapa hari dan dapat diobati oleh ahli paru-paru dengan mudah.
Risiko dan komplikasi yang lebih serius adalah berkurangnya kadar oksigen, cedera pada pita suara, kerobekan paru-paru, dan pendarahan yang parah.

Rujukan:
  • Kraft M. Approach to the patient with respiratory disease. In: Goldman L, Schafer AI, eds. Goldman’s Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2011:chap 83.
  • Kupeli E, Karnac D, Mehta AC. Flexible bronchoscopy. In: Mason RJ, Broaddus VC, Martin TR, et al., eds. Textbook of Respiratory Medicine. 5th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2010:chap 22.
  • Reynolds HY. Respiratory structure and function: mechanisms and testing. In: Goldman L, Schafer AI, eds. Goldman’‘ Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2011:chap 85.