Defenisi
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring.(5) Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas
yang sering ditemukan pada pria berusia lebih dari 40 tahun. Banyak
terdapat pada bangsa Asia terutama orang Tionghoa. Biasanya mulai dari
daerah fosa Rossenmuler. Tumor ini tumbuh dari epitel yang meliputi
jaringan limfoid. Tumor primer dapat kecil, akan tetapi telah
menimbulkan metastasis pada kelenjar limfe regional, biasanya pada
leher.(4)
Keganasan nasofaring
banyak terjadi di asia. Sering terjadi kekeliruan dalam mendiagnosis
karena gejalanya yang samar-samar dan sulitnya pemeriksaan nasofaring.(7) Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan, kerena nasofaring
tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di bawah dasar
tengkorak serta berhubungan dengan bayak daerah penting di dalam
tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher. Oleh karena letak nasofaring
tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli, seringkali tumor
ditemukan terlambat dan sering menyebabkan metastasis ke leher lebih
sering ditemukan sebagai gejala pertama.(6)
Ada beberapa jenis keganasan yang terdapat di nasofaring yaitu karsinoma sel skuamous, limfoma, keganasan kelenjar ludah, dan sarcoma. Karsinoma nasofaring termasuk penting dalam skala dunia. Di Cina selatan karsinoma nasofaring
menmepati kedudukan tertinggi yaitu dengan 2.500 kasus baru pertahun
untuk propinsi Guan-dong atau prevalensi 39.84/100.000 penduduk. Ras
Mongoloid merupakan faktor dominant timbulnya krsinoma nasofaring,
sehingga sering terjadi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong,
Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia. Ditemukan cukup
banyak pula di Yunani, Afrika bagian utara seperti Aljazair dan Tunisia,
pada orang Eskimo di Alaska, diduga penyebabnya adalah karena mereka
memakan makanan yang diawetkan dalam musim dngin yang menggunakan bahan
pengawet nitrosamine. Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir meratadi
setiap daerah. Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta ditemukan lebih
dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus,
Ujung pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, Dnpasar 15 kasus, Padang dan
Bukit tinggi 11 kasus. Demikian pula angka-angka yang didapatkan di
Medan, Semarang, Surabaya dan lain-lain menunjukkan bahwa tumor ganas ini terdapat merata di Indonesia.(6)
Salah satu etiologi karsinoma nasofaring adalah disebabkan virus Epstein-Barr. Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi pada laki-laki, umur 40 dan 50 tahun, tetapi kadang juga dijumpai pada anak-anak. 90% adalah karsinoma, sisanya yang terbayak adalah limfoma. Karsinoma nasofaring
menyebar secara local melalui perluasan langsung, secara regional
melalui nodul-nodul sekitarnya, dan secara jauh melalui aliran darah.
Metastase jauh ke paru-paru, tulang, dan hepar paling sering terjadi di nasofaring dibandingkan tempat lain di leher dan kepala.(2)
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh karsinoma hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah. Berdasarkan data laboratorium patologi anatomic tumor ganas nasofaring selalu berada dalamkedudukan lima besar dari tumor ganas tubuh manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit.(6)
Etiologi
Terjadinya karsinoma
nasofarin mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya mungkin
mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya kanker nasofaring adalah:
- Kerentanan Genetik, walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi kerntanan terhadap karsinoma nasofaring
pada kelompok masyrakat tertentu relative menonjol dan memiliki
agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human
leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1)
kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring, mereka berkaitan dengan sebagian besar karsinoma nasofaring.(8)
- Virus Eipstein-Barr, Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara karsinoma nasofaring dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr (EBV). Serum pasien-pasien orang asia dan afrika dengan karsinoma nasofaring
primermaupun sekunder telah dibuktikan mengandung antibody Ig G
terhadap antigen kapsid virus (VCA) EB dan seringkali pula terhadap
antigen dini (EA); dan antibody Ig A terhadap VCA (VCA-IgA),
sering dengan titer yang tinggi. Hubungan ini juga terdapat pada
pasien Amerika yang mendapat karsinoma nasofaring aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini berhubungan dengan karsinoma nasofaring tak berdifrensiasi dan karsinoma nasofaring
non-keratinisasi yang aktif (dengan mikroskop cahaya) tetapi
biasanya tidak dengan tumor sel skuamosa atau elemen limfoid dalam
limfoepitelioma.(1)
- Faktor Lingkungan,
menurut laporan luar negeri, orang cina generasi pertama (Umumnya
penduduk kanton ) yang bermigrasi ke Amerika Serikat, Kanada
memiliki angka kematian akibat karsinoma nasofaring
30 kali lebih tinggi dari penduduk kulit putih setempat, sedangkan
pada generasi kedua turun menjadi 15 kali, generasi ketiga belum
ada angka pasti, tetapi secara keseluruhan cenderung menurun. Dalam
pada itu, orang kulit putih yang lahir d Asia Tenggara, angka
kejadian nasofaring
meningkat. Sebabnya selain pada sebagian orang terjadi perubahan pada
hubungan darah, jelas factor lingungan juga berperan penting.
Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat berikut berkaitan
dengan timbulnya karsinoma nasofaring:
- Golongan Nitrosamin,diantaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin.
- Hodrokarbon aromatic
- Unsur Renik, diantaranya nikel sulfat.(8)
Anatomi Nasofaring
NASOFARING
disebut juga Epifaring, Rinofaring. merupakan yang terletak dibelakang
rongga hidung, diatas Palatum Molle dan di bawah dasar tengkorak.
Bentuknya sebagai kotak yang tidak rata dan berdinding enam, dengan
ukuran melintang 4 sentimeter, tinggi 4 sentimeter dan ukuran depan
belakang 2-3 sentimeter.
Batas-batasnya :
- Dinding depan : Koane
- Dinding belakang : Merupakan dinding melengkung setinggiVertebra Sevikalis I dan II.
- Dinding atas : Merupakan dasar tengkorak.
- Dinding bawah : Permukaan atas palatum molle.
- Dinding samping : di bentuk oleh tulang maksila dan sfenoid.
Dinding
samping ini berhubungan dengan ruang telinga tengah melalui tuba
Eustachius. Bagian tulang rawan dari tuba Eustachius menonjol diatas
ostium tuba yang disebut Torus Tubarius. Tepat di belakang Ostium Tuba.
Terdapat cekungan kecil disebut Resesus Faringeus atau lebih di kenal
dengan fosa Rosenmuller; yang merupakan banyak penulis merupakan
lokalisasi permulaan tumbuhnya tumor ganas nasofaring.
Tepi atas dari torus tubarius adalah tempat meletaknya oto levator veli
velatini; bila otot ini berkontraksi, maka setium tuba meluasnya tumor,
sehingga fungsinya untuk membuka ostium tuba juga terganggu. Dengan
radiasi, diharapkan tumor primer dinasofaring dapat kecil atau menghilang. Dengan demikian pendengaran dapat menjadi lebih baik.
Sebaliknya
dengan radiasi dosis tinggi dan jangka waktu lama, kemungkinan akan
memperburuk pendengaran oleh karena dapat terjadi proses degenerasi dan
atropidari koklea yang bersifat menetap, sehingga secara subjektif
penderita masih mengeluh pendengaran tetap menurun.
Di nasofaring
terdapat banyak saluran limfe yang terutama mengalir ke lateral
bermuara kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere). Terdapat
hubungan bebas melintasi garis tengah dan hubungan langsung dengan
mediastinum melalui ruang retrofaring. Metastasis jauh sering terjadi.
Pembagian daerah nasofaring :
- Dinding posterosuperior : daerah setinggi batas palatum durum dan mole sampai dasar tengkorak.
- Dinding lateral: termasuk fosa Rosenmuleri
- Dinding inferior: terdiri atas permukaan superior palatum mole.
Catatan: Pinggir orifisium koana termasuk pinggir posterior septum hidung dimasukkan sebagai fosa nasal.(1)
Histologi Nasofaring
Permukaan nasofaring
berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak jaringan
limfosid,sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara
epitel dengan jaringan limfosid inisangat erat, sehigga sering disebut "
Limfoepitel ".
Bloom dan Fawcett ( 1965 ) membagi mukosa nasofaring atas empat macam epitel :
1. Epitek selapis torak bersilia " Simple Columnar Cilated Epithelium "
2. Epitel torak berlapis " Stratified Columnar Epithelium ".
3. Epitel torak berlapis bersilia "Stratified Columnar Ciliated Epithelium"
4. Epitel torak berlapis semu bersilia " Pseudo-Stratifed Columnar Ciliated Epithelium ".
Mengenai distribusi epitel ini, masih belum ada kesepakatan diantara para hali.60 % persen dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng " Stratified Squamous Epithelium ", dan 80 % dari dinding posteroir nasofaring
dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral dan depan
dilapisi oleh epitel transisional, yang meruapkan epitel peralihan
antara epitel berlapis gepeng dan torak bersilia.
Epitel berlapis gepeng ini umumnya dilapisi Keratin, kecuali pada Kripta
yang dalam. Di pandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau
peralihan dua macam epitel adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya
suatu karsinoma.(9)
Histopatologi
Kesukaran timbul dalam mengidentifikasi karsinoma nasofaring jenis sangat tidak berdiferensiasi dimana sudah tidak ada kekhususan epitelnya. Lebih dari 85% kemungkinan adalah karsinoma,
mungkin 15% limfoma maligna dan kuang dari 2% tumor jaringan ikat.
Sekali-sekali ditemukan neuroblastoma, silindroma dan tumor campur ganas. Menggunakan mikroskop electron, Ditemukan karsinoma nasofaring tumbuh dari lapisan skuamosa atau lapisan epitel respiratorius pada permukaan kripti nasofaring. Dindinga lateral yang ada fosa Rossenmulleri Merupakan lokasi tersering karsinoma nasofaring
dan dinding faring posterior sedikit lebih jarang. Lebih jarang lagi
tumor pada atap dan hanya sekali-kali pada dasar. Pada mulanya tumor
sedemikian kecil sehingga sukar diketahui, atau tumbuh didaerah yang
gejalanya tidak diketahui seperti pada fosa Rosenmulleri. Kemudian
geajla-gejala akan muncul sesuai dengan arah penyebaran. Mungkin meluas
melalui lubanga pada sisi yang sama dengan tumor atau mengikis tulang
secara nekrosis tekanan.
Sesuai dengan klasifikasi karsinoma nasofaring yang diusulkan WHO tahun 1978. ada tiga jenis bentuk histologik :
- Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi, terdapat jembatan interseluler dan keratin, dapat dilihat dengan mikroskop cahaya.
- Karsinoma
nonkeratinisasi, pada pemeriksaan dengan mikroskop cahaya,
terdapat tanda difrensiasi, tetapi tidak ada difrensiasi skuamosa.
- Karsinoma
tidak berdifrensiasi, sel mempunyai inti vesikuler, nucleolus yang
menonjol dan dinding sel tidak tegas; tumor tampak lebih berbentuk
sinsitium daripada bentuk susunan batubata.
Karsinoma
limfoepitelioma didapatkan dalam bentuk kedua atau ketiga. Ditandai
olah tampak banyak limfosit non maligna dan secara klinis sesuai karena
respon terhadap terapi lebih baik disbanding dengan bentuk lain.
Tahun 1965 Svaboda melaporkan bahwa dari contoh jaringan yang diambil dari 14 pasien Amerika dan Cina dengan karsinoma nasofaring
berdiferensiasi buruk yang diperiksa dengan mikrosko electron, semua
menunjukkan adanya fibrilkeratin. Ini menimbulkan keraguan karena Who
Dalam symposium internasionalnya mengenai karsinoma nasofaring
than 1977 mendasarkan klasifikasinya atas hasil pemeriksaan mikroskop
cahaya seperti tercantum diats, diman atidak selalu tampak keratin.
Meskipun demikian klasifikasi WHO mengenai tumor nasofaring ini masih tetap dipakai.(1)
Penentuan Stadium
Untuk penetuan stadium dipakai sistim TNM menurut UICC (1992)
T= Tumor primer
T0- Tidak tampak tumor.
T1- Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap dan lain-lain).
T2 Tumor teradapt pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas di dalam rongga nasofaring
T3 Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring)
T4 Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau mengenai saraf-saraf otak.
Tx Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.
N Pembesaran kelenjar getah bening regional
N0 Tidak ada pembesaran
N1 Terdapat pembesaran tetapi homolateral dan masih dapat digerakkan
N2 Terdapat pembesaran kontralateral / bilateral dan masih dapat digerakkan
N3 Terdapat pembesran, baik homolateral, kontralateral maupun bilateral yang sudah melekat pada jaringan sekitar.
M Metastase jauh
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh
STADIUM
Stadium I :
T1 dan N0 dan M0
Stadium II :
T2 dan N0 dan M0
Stadium III :
T1/T2/T3 dan N1 dan M0
atau T3 dan N0 dan M0
Stadium IV :
T4 dan N0/N1 dan M0
atau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan M0
atau T1/T2/T3/T4 dan N0/N1/N2/N3 dan M1(10)
Gejala dan Tanda
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata, fdan syaraf, serta metastasis atau gejala di leher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung, untuk itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat kalau perlu dengan nasofaringoskop,
karena seringa gejala belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor
tidak tampak karena masih terdapat dibawah mukosa (creeping tumor).
Gangguan
pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor
dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa
tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga
(otalgia). Tidak jarang pasien dengan gangguan pendengaran ini baru
kemudian disadari bahwa penyebabnya adalah karsinma nasofaring.
Karena nasofaring
berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lobang, maka
gangguan beberapa lobang, dari beberapa saraf otak dapat terjadi
sebagai gejala lanjut karsinoma
ini. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke II,
IV, VI dan dapat pula ke V, shingga tidak jarang gejala diplopia lah
yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata. Neuralgia trigeminal
merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum
terdapat keluhan lain yang berarti.
Proses karsinoma
yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika
penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif
jauh dari nasofaring.
Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai
seluruh syaraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai
dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian
biasanya prognosisnya buruk.
Metastase
kekelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien
untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan lain.
Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring
atau LHN telah diteliti di RRC yaitu tiga bentuk yang mencurigakan pada
naofaring seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa, pembesaran
nodul dan mukosistis berat pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila diikuti bertahun-tahun kemudian akan menjadi karsinoma nasofaring.(6)
Diagnosis
Persoalan
diagnostic sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan daerah
kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak
akan terlalu sulit ditemukan.(6) Pemeriksaan foto tengkorak potongan anteroposterior, lateral dan waters menunjukan massa jaringan lunak di daerah nasofaring.
Foto dasar tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di
daerah fossa serebri media. Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal,
dll dilakukan untuk mendeteksi metastasis.(5) Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tetapi pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsy nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung atau dari mulut.
Biopsi
dari hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menelusuri konka media ke nasofaring
kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy. Biopsi
melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan
melalui hidung dan ujung kateter yang berada didalam mulut ditarik
keluar dan diklem bersam-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian
juga dengan kateter dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole
tertarik keatas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring
umumnya dilakuan dengan anestsi topical dengan Xylocain 10%. Bila
dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka
dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.(6)
Penatalaksanaan
Radioterapi
masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada penggunaan
megavoltage dan pengaturan dengan computer. Pengobatan tambahan yang
diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor
transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus.
Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan
kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terpai adjuvant (tambahan).
Bebagai macam kombinasi diebangkan, yang trbaik sampai saat ini adalah
kombinasi dengan Cis-platinum sebagai inti.
Pemberian
adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil saat ini
sedang dikembangkan dengan hasil sementara yang cukup memuaskan.
Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi
dengan epirubicin dan cis-platinum, meskipun ada efek samping yang
cukup berat, tetapi memberikan harapan kesembuhan
yang lebih baik. Kombinasi kemoterapi dengan mitomycin C dan
5-fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat
radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring.
Pengobatan
pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher
yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali
setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah
hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi.
Operasi tumor induk sisa (residu) atau kambuh (residif) diindikasikan,
tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi.
Perawatan paliatif
Perhatian
pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut
rasa kering disebakan oleh keusakan kelenjar liur mayor maupun minor
sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang dilakukan selain menasihatkan
pasien untuk makan dengan banyak kuah, membawa minuman kemanapun pergi
dan mencoba memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga
merangsang keluarnya air liur. Gangguan lain adalah mukositis rongga
mulut karena jamur, rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan
akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang muntah atau rasa mual.
Kesulitan
yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap dimana tumor
tetap ada (residu) akan kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul
metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak.
Pada kedua keadaan tersebut diatastidak banyak tindakan medis yang dapat
diberikan selain pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien. Paisen akhirnya meninggal dalam keadaan umum yang buruk ,
perdarahan dari hidung dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan terganggunya fungsi alat-lata vital akibat metastasis tumor. (6)
Prognosis
Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti :
- Stadium yang lebih lanjut.
- Usia lebih dari 40 tahun
- Laki-laki dari pada perempuan
- Ras Cina dari pada ras kulit putih
- Adanya pembesaran kelenjar leher
- Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak
- Adanya metastasis jauh(11)
Komplikasi
Gejala metastasis jauh, karena 95% lebih sel kanker nasofaring berdiferensiasi buruk, dengan derajat keganasan
tinggi, waktu diagnosis ditegakkan, 4,2% kasus sudah menderita
metastasis jauh, Dari kasus wafat setelah radioterapi, angka metastasis
jauh 45,5%. Lokasi metastasis paling sering ke tulang, paru hati.
Metastasis tulang paling sering ke pelvis, vertebra, costa, dan keempat
ekstremitas.(12)
Daftar Pustaka
1. Ballenger J. Jacob., 1994. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, ed.13, jilid 1, Binarupa Aksara, Jakarta. pp; 371-396
2. www.crab.org
3. Eugene B. Kern. Et al. 1993. Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok, EGC, Jakarta. pp;371- 373
4. Kurniawan A. N., 1994. Nasopharynx dan Pharynx dalam Kumpulan kuliah Patologi, FKUI, 1994,Jakarta.pp;151-152
5. Mansjoer, Arif., et al (eds), 1999. Kapita Selekta Kedokteran ed.III, jilid 1, FKUI, Media Aesculapius, Jakarta. pp; 371-396
6. Roezin A., dan Syafril A., 1990. Karsinoma Nasofaring dalam Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala, leher, ed 5, FKUI, Jakara. pp ; 146-159
7. www.utmb.edu
8. Desen Wan, dkk. 2008. Onkologi Klinik ed.II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. pp; 267-268
9. Soepardi EA, Iskandar N. Dalam : Karsinoma Nasofaring. Buku Ajar THT. Edisi Kelima. Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 2000 : 146-150
10. Desen Wan, dkk. 2008. Onkologi Klinik ed.II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. pp; 274-275
11. Rasad U, Dalam : Nasopharyngeal Carcinoma. Ganas Progress. July Vol 23 no 7 1996 ;16
12. Desen Wan, dkk. 2008. Onkologi Klinik ed.II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. pp; 272