Jumat, 04 Juni 2021

Sirkumsisi (khitan) https://www.khitancentreuwaisalqarni.com/

Sirkumsisi / Khitan / Sunat adalah tindakan yang diwajibkan bagi seluruh laki-laki yang akan beranjak dewasa dalam agama Islam. Namun, tidak hanya penganut agama islam yang melakukan sirkumsisi tapi juga penganut agama lain juga melakukan hal ini dengan alasan kesehatan/ kebersihan area kelamin laki-laki, ataupun alasan medis lainnya. Kata sirkumsisi ini sebenarnya berasal dari bahasa latin circum (yang artinya sekeliling) dan cædere (yang artinya memotong). Tindakan yang dilakukan pada sirkumsisi adalah memotong kulit luar (preputium / prepuce / foreskin / kulup) pada penis yang melingkupi kepala penis (glans penis).
Kontra Indikasi Sirkumsisi :
Absolut :
  • Hipospadia dan Epispadia
  • Kelainan pembekuan darah dan  Hemofilia
Relatif :
  • Infeksi lokal / sistemik
Prosedur Khitan (sunat)
eberapa metode yang telah umum digunakan sebagai prosedur/ cara melakukan khitan (sunat), yaitu :
  1. Metoda konvensional/ klasik (cutting)
  2. Metoda sirkumsisi
  3. Metoda Smart Klamp
Berikut diterangkan mengenai metoda konvensional dan metoda sirkumsissi di atas :
Teknik aseptis : Bersihkan sikitar area tindakan dengan disinfektan (ex : betadine) dari glans penis melingkar keluar. (sebelumnya rambut kemaluan telah dicukur – bila ada). Langkah berikutnya adalah pasang kertas perkamen/duk steril.
Teknik Anestesi (pembiusan)
Pada proses khitan perlu diberikan anestesi (bius) untuk menghilangkan rasa nyeri saat dilakukan penjepitan dan pemotongan kulit luar, juga dengan diberikan anestesi pasien menjadi tenang (karna tidak merasa nyeri) sehingga pelaksanaan khitan dapat lebih lancar karena jauh dari gerakan-gerakan pasien untuk menahan nyeri atau pun tangisan. Metoda anestesi yang umum dilakukan adalah anestesi lokal dengan menggunakan Lidocain, Pehacain, etc. Teknik dan lokasi anestesi dapat dilihat pada gambar berikut :
Anestesi block tepat pada bagian tengah pangkal penis dengan posisi spuit tegak lurus kira-kira 1,5-2 cc (ex : Lidocain), aspirasi spuit terlebih dahulu sebelum menginjeksi. Prosedur yang benar, jika tangan kita merasakan sensasi seperti menembus kertas melalui spuit saat tertembusnya fascia Bach. https://www.khitancentreuwaisalqarni.com/
Dilanjutkan dengan anestesi infiltrasi dikulit sekitar batang penis sebanyak 1 cc secara merata. (umumnya dilakukan diinfiltrasi dari kanan dan kiri bawah kulit batang penis) https://www.khitancentreuwaisalqarni.com/
Patikan anestesi sudah mulai bekerja atau belum dengan cara menjepit kulup, jika pasien masih merasa nyeri (liat ekspresi wajah dan gerakan tubuh) tunggu beberapa saat lagi (tidak perlu menanyakan pada pasien “apakah masih sakit atau tidak” – kadang subjektifitas dan tekanan mental membuat hasil yang salah), juika sudah tidak ada nyeri yang dirasa maka tindakan sudah dapat dimulai. Bersihkan smegma yang menempel disekitar kulup.
Pelaksanaan Khitan :
1. Metoda konvensional / Klasik (cutting)
Khitan (sunat) dengan metoda ini adalah cara yang paling kuno diantara  cara lainnya, namun metoda ini masih banyak dipakai sampai saat ini baik oleh para praktisi medis maupun non medis. berbagai variasi alat pemotong telah digunakan banyak praktisi dengan metoda ini, mulai dari penggunaan bisturi (pisau), gunting, electric cutter, ataupun flash cutter.
Keuntungan dari metoda ini :
  • Pelaksanaan khitan relatif lebih cepat/ singkat.
Kerugian / kekurangan dari metoda ini  :
  • Resiko kepala penis (glans penis) terpotong / tersayat jauh lebih tinggi, terutama jika sayatan dilakukan dibawah koher.
  • Sisa preputium kadang lebih panjang / tidak sesuai sehingga membutuhkan pemotongan ulang.
  • Dapat menimbulkan nekrosis apabila jepitan koher terlalu lama .
  • Resiko pendarahan operasi relatif sangat tinggi, demikian halnya paska operasi (khusus untuk penggunaan alat pemotong gunting/ bisturi, sedang pada penggunaan pemotong electric cutter ataupun flash cutter perdarahan sangat-sangat sedikit bahkan sampai tidak ada).
Teknik pelaksanaan :
Alat yang perlukan :
  • Pemotong (bisturi/ gunting/ electric cutter/ flash cutter)
  • 1 koher
  • 2 klem
  • Jarum + Benang (yang absorben)
Tandai batas yang akan dipotong / insisi, raba/ urut glans penis  se-proksimal mungkin dan fiksasi glans  penis dengan tangan kiri. Kemudian pasang klem pada lokasi jam 12 dan 6 ditarik ke distal sampai  preputium nampak teregang.
Jepit koher pada batas yang telah ditandai dengan arah melintang miring (sekitar 40 derajat) antara jam 12 dan 6 ( jam 6 lebih distal). https://www.khitancentreuwaisalqarni.com/
Yakinkan lagi bahwa glans penis tidak terjepit koher.
Gunting / sayat dengan bisturi dibagian atas atau bawah koher.
Lepaskan koher dan munculkan kembali glans penis. Rapikan sayatan terutama jika preputium  masih panjang / tidak sesuai. Inspeksi, dan lakukan kontrol perdarahan (lakukakan penjahitan perdarahan a/v yang tidak dapat dihentikan dengan dep-tekan). https://www.khitancentreuwaisalqarni.com/


Lakukan penjahitan anjara ujung kulit yang dipotong tadi dengan kulit di bagian pinggir bawah glans penis, umumnya dilakukan pertama kali di bagian tengah posterior penis.
Balut batang penis/ bagian yang dikhitan dengan kasa steril yang difiksir dengan plester (sebelumnya dapat diberikan zalp antibiotik).
Catatan :
  • Jika insisi dibawah koher, arah sisi tajam bisturi selalu menjauh dari glans penis.
  • Observasi keadaan pasien minimal 15 menit sebelum memperbolehkan pasien pulang.
  • Berikan minimal Antibiotik dan Analgetik oral untuk minimal 3 hari saat pasien pulang.
-

2. Metoda Sirkumsisi
Metoda ini merupakan teknik yang dijadikan sebagai standar pelaksanaan Khitan. Pada teknik ini mengecilkan kemungkinan glans penis ikut terpotong pada saat melakukan sayatan, dan lebih baik dalam menentukan panjang potongan yang dibutuhkan sehingga tidak ada potongan yang terlalu panjang atau pendek seperti yang sering terjadi pada metoda konvensional.
Prosedur aseptik, anestesi dan alat-bahan (jumlah klem yang dibutuhkan lebih banyak) yang digunakan sama seperti pada metoda konvensional. Teknik pelaksanaan :
Kulit luar penis ditarik / diregang ke atas melewati glans penis, kemudian diklem dan diregang pada 3 (tiga) lokasi ; jam 10, jam 2, dan jam 6.
Pemotongan dilakukan pada lokasi jam 12, yang dipotong lurus sampai batas yang sesuai/ tepat.
Ujung potongan tersebut kemudian difiksasi dengan hecting/ jahitan.
Kemudian lakukan potongan melingkar yang merata dengan panjang sesuai dengan panjang potongan kulit luar pertama yang telah difiksir tadi. kontrol perdarahan dengan dep-tekan, klem, ataupun jahitan.
Setelah semua kulit luar lepas, klem ujung dari kulit luar yang dipotong tadi di keliling batang penis untuk melapangkan area jahitan sekaligus menandai tempat yang akan dijahit.
Lakukan penjahitan (sama seperti metoda konvensional).
Terima kasih, Semoga bermanfaat…. https://www.khitancentreuwaisalqarni.com/

Jumat, 28 Oktober 2016

ESWL (Extracorporeal shock wave lithotripsy)

ESWL (Extracorporeal shock wave lithotripsy) adalah tindakan pemecahan batu saluran kencing (ginjal,ureter.kandung kemih) dengan gelombang kejut (Shock wave) tanpa pembedahan sama sekali. Batu saluran kencing akan pecah menjadi fragmen kecil sekali sehingga dapat keluar spontan bersama air kencing.

ESWL merupakan tindakan non invasive dengan menggunakan tehnologi gabungan x-ray, ultrasound, dan acoustic shock wave dalam mendiagnosa/menentukan lokasi dan memecah batu.
 

Sejarah ESWL
ESWL ditemukan tahun 1980 an. Tehnologi ESWL berkembang pesat menjelang 2000, berbagai jenis dan tipe telah disempurnakan.
Tehnologi Elektrokonduktive yang dikembangkan oleh Inserm di Perancis dengan membungkus elektrode dengan Electrolyte cairan yang sangat konduktive sehingga menjamin akurasi tenaga shockwave tidak berkurang sampai target batu . Tenaga shockwave yang optimal ini menjadikan efek terapi pemecahan batu sangat maksimal.
Tehnologi ini didapatkan pada Sonolith i-sys, dimana saat penentuan lokasi dengan sistem layar sentuh (touchscreen) baik dengan x-ray dan atau USG. Mesin akan otomatis dengan tehnologi robotisasi menentukan focus tembakan. Automatic Pressure regulator yang ada pada tehnologi elektrokonduktive membuat mesin ini aman untuk pasien. Kedalaman tembakan sampai dengan 210 mm, sehingga efektif untuk pasien dengan

Apa indikasi ESWL?
 
Setelah pemeriksaan fisik, laboratorium, x-ray, USG dan echocardiografi Dokter Ahli Urologi akan memutuskan indikasi tindakan ESWL.sesuai atau tidak.

Bagaimana prosedur ESWL?
1.            Setelah indikasi diputuskan oleh Dokter Ahli Urologi, pasien dijadwalkan prosedur ESWL. Tidak ada persiapan khusus, pasien datang ke Senter ESWL RS Kariadi yang terletak di Ruang Bedah Sehari (Day Surgery), menandatangani pertindik (informed consent)
2.              Pasien diberi obat anti nyeri bilamana diperlukan diberikan sedative ringan
3.           Pasien terlentang santai pada meja khusus dan setelah ditentukan lokasinya dengan x-ray dan atau ultrasound batu dihancurkan dengan gelombang kejut (shock wave) yang difokuskan kearah batu
4.     Tembakan biasanya antara 1000 dan 3500, atau ditentukan oleh dokter ahli urologi. Lama tembakan antara 30- 60 menit
5.              Evaluasi pemecahan dapat diketahui langsung (real time) baik dengan x ray dan atau USG

Pasca ESWL
Pasien dapat langsung pulang, kecuali dianjurkan oleh dokter karena kondisi pasien yang memerlukan observasi ketat. Dapat beraktivitas normal setelah 24 jam pasca terapi.
Pecahan batu keluar spontan bersama air kencing terkadang sedikit tidak nyaman waktu kencing. Sebaiknya pecahan batu dikumpulkan untuk dianalisa untuk melihat komposisi batu. Sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan kekambuhan.

Adakah efek samping ESWL?
ESWL sangat aman. Hanya sedikit efek samping beberapa hari
                Kencing darah, biasanya hilang dalam 1-2 hari pasca terapi
                Nyeri, terutama akibat pecahan batu yang turun bersama air kencing
                Petechia pada kulit didaerah tembakan, biasanya hilang beberapa hari
                Infeksi, terutama adanya bakteri yang bersarang pada batu ( 1-7% di Eropa)
                Obstruksi ureter oleh karena batu

sumber : www.rskariadi.com

Sabtu, 08 Oktober 2016

Spirometri

Pengertian dan Gambaran Umum

 

Spirometri secara harfiah berarti “pengukuran napas seseorang.” Tujuan dari tes yang merupakan salah satu tindakan yang paling sering dianjurkan untuk pasien dengan masalah paru-paru ini, adalah untuk mengukur fungsi paru-paru, yaitu dalam hal volume dan aliran udara yang dapat dihembuskan atau dihirup oleh seseorang. Data yang dihasilkan dari tindakan ini disebut pneumotachographs, yang dapat digunakan untuk memeriksa dan menilai kondisi tertentu seperti fibrosis kistik, asma, bronkitis, emfisema, dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Tindakan pengujian ini dilakukan dengan menggunakan spirometer, yang mengukur volume udara yang dihembuskan dan dihirup oleh paru-paru, serta peredaran udara pada paru-paru. Kebanyakan jenis spirometer dapat mengidentifikasi dua jenis pola peredaran udara yang mungkin mengindikasikan kelainan pada paru-paru: restriktif dan obstruktif.
Terdapat berbagai jenis spirometer, yang menggunakan berbagai metode untuk mengukur aliran udara dan volume, seperti meteran air, ultrasonic, dan tekanan transduser. Spirometer biasa dapat menghasilkan dua jenis grafik, yaitu: kurva volume waktu (dengan waktu dalam detik di sumbu x, dan volume dalam liter di sumbu y) dan lingkaran aliran volume (representasi grafis dari total volume yang terhirup/terhembus pada sumbu x dan tingkat aliran udara pada sumbu y).

Siapa Saja yang Harus Menjalani Tes ini dan Mendapatkan Manfaatnya

Spirometri dianjurkan bagi pasien yang:
  • Memiliki masalah pernapasan
  • Diduga atau memiliki penyakit paru-paru seperti bronkitis, asma, atau emfisema
  • Mengalami sesak napas atau menghirup uap kimia di tempat kerja
  • Akan menjalani bedah rumit (untuk memastikan bahwa fungsi paru-paru berada pada tingkat yang sehat untuk mencegah masalah selama bedah dilakukan)
  • Berada di bawah pengaruh obat tertentu (dokter dapat menggunakan spirometri untuk mengetahui     efek dari obat-obatan ini pada paru-paru pasien
  • Memiliki gangguan paru-paru kronis
Anak-anak yang tidak dapat memahami instruksi untuk tes ini tidaklah memenuhi syarat untuk melakukan tindakan ini. Biasanya, tindakan yang dilakukan tanpa menggunakan obat penenang ini, dilakukan pada pasien yang sudah berusia enam tahun atau lebih.
Tindakan spirometri biasanya menghasilkan FVC (kapasitas vital paksa), yang memberitahukan dokter ahli jumlah terbesar udara yang dapat dihembuskan oleh pasien (dengan kekuatan maksimum) setelah diberitahu untuk menghirup udara sedalam mungkin. Jika FVC-nya menunjukan hasil yang lebih rendah dari hasil normal, dokter dapat menyimpulkan bahwa pasien memiliki masalah penyumbatan pernapasan.
Pembacaan spirometri lainnya yaitu FEV-1 (volume penghembusan udara paksa), yang mengukur jumlah udara yang dapat pasien keluarkan dengan paksa dari dalam paru-parunya dalam hitungan detik. Informasi ini membantu dokter ahli menentukan dan menilai separah apa masalah pernapasan pasien. Jika FEV-1-nya menunjukan hasil yang lebih rendah dari pembacaan normal, pasien mungkin memiliki masalah obstuksi parah dalam saluran udaranya sehingga mencegah pernapasan normal.

Bagaimana Cara Kerja Spirometri?

 

Beragam cara spirometri dapat dilakukan, bergantung pada jenis peralatan yang digunakan. Namun, untuk tes FVC, pasien biasanya diminta untuk menarik napas sedalam mungkin. Napas ini kemudian akan dihembuskan secara paksa ke dalam corong mesin spirometri, yang dilengkapi dengan sensor yang dapat mengukur volume udara yang dihirup dan dihembuskan. Pasien akan diminta menghembuskan napas ke sensor dalam waktu enam detik. Dokter kemudian akan meminta pasien untuk menghirup udara dengan cepat untuk mengetahui keberadaan dan menilai sejauh mana obstruksi saluran napas bagian atas.
Ada juga beberapa mesin spirometri yang membutuhkan pasien untuk menghirup udara pelan-pelan dan menghembuskan napas ke dalam sensor untuk mengukur volume tidal. Beberapa dokter menggunakan klip penutup hidung yang terbuat dari bahan yang lembut dan lentur untuk mencegah udara keluar melalui hidung pasien. Mesin juga dapat dilengkapi dengan corong khusus untuk menyaring napas pasien dan mencegah mikroorganisme menyebar.

Kemungkinan Komplikasi dan Risiko

Umumnya, tindakan spirometri sangatlah aman. Beberapa pasien melaporkan sesak napas singkat atau pusing setelah tes selesai dilakukan, namun gangguan ini akan hilang setelah beberapa saat.
Pasien yang baru saja menderita serangan jantung atau kondisi yang berhubungan dengan masalah jantung apapun bukanlah calon ideal untuk melakukan tindakan spirometri karena tes memerlukan beberapa upaya pada tubuh pasien.
Dalam kasus yang sangat langka, spirometri diketahui sebagai pemicu masalah pernapasan pada pasien.

Referensi:
  • Hegewald MJ, Crapo RO. Pulmonary function testing. In: Mason RJ, Broaddus VC, Martin TR, et al., eds. Murray and Nadel’s Textbook of Respiratory Medicine. 5th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2010:chap 24.
  • Reynolds HY. Respiratory structure and function: mechanisms and testing. In: Goldman L, Schafer AI, eds. Goldman’s Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2011:chap 85.

Bronkoskopi

Apa itu Bronkoskopi?

Bronkoskopi adalah prosedur kesehatan yang dilakukan dengan memasukkan alat bernama bronkoskop melalui tenggorokan, laring, trakea ke dalam bronkus untuk melihat bagian toraks (dada). Tindakan ini dapat dilakukan untuk mendiagnosis dan mengobati suatu penyakit serta mengambil sampel jaringan atau mukus melalui tindakan yang disebut biopsi.
Bronkoskop dimasukkan melalui mulut atau hidung. Alat ini dilengkapi dengan cahaya untuk menerangi jalan masuk, menunjukkan bronkus paru-paru, dan memperjelas gambar yang terlihat. Bronkoskop juga dilengkapi dengan kamera yang mengambil gambar organ tubuh, yang nantinya digunakan untuk evaluasi.
Ada dua jenis bronkoskop yang digunakan untuk bronkoskopi: kaku atau lentur. Bronkoskop yang lentur akan menyebabkan sedikit atau tidak ada ketidaknyamanan. Pasien dapat menjalani bronkoskopi dengan hanya sedikit obat penenang atau bius lokal. Sedangkan bronkoskop yang kaku membutuhkan bius total. Namun, bronkoskop yang kaku dibutuhkan ketika pasien mengalami batuk yang disertai banyak darah.
Beberapa rumah sakit menyediakan bronkoskopi virtual, yaitu CT scan yang juga diarahkan pada bronkus. Pasien akan berbaring di meja pemeriksaan saat alat pemindai bergerak di sekitar tubuh untuk mengambil gambar dari dada dan trakea secara rinci. Walaupun pemindaian ini memberikan hasil yang baik, namun informasi yang rinci tentang saluran udara dan paru-paru hanya bisa didapatkan melalui bronkoskopi biasa.
Bronkoskopi dapat dilakukan di rumah sakit atau klinik rawat jalan. Tindakan ini tetap dapat dilakukan walaupun pasien menggunakan tabung makanan.

Siapa yang Perlu Menjalani Bronkoskopi dan Hasil yang Diharapkan

Bronkoskopi disarankan bagi pasien yang memiliki gangguan paru-paru yang tak kunjung hilang, seperti peradangan tabung bronkus, batuk kronis, atau kesulitan bernapas. Bronkoskopi dapat dilakukan setelah pemeriksaan paru-paru lainnya, seperti sinar X atau pemeriksaan fisik, memberikan hasil yang tidak normal atau mencurigakan. Saat ini, beberapa rumah sakit menggunakan sinar laser dan bronkoskop untuk menghancurkan tumor.
Bronkoskopi juga dapat dilakukan untuk menghancurkan tumor atau mengambil sampel jaringan untuk biopsi, yang dapat menunjukkan apakah masa atau sel di jaringan bersifat jinak atau ganas (kanker). Pada kasus di mana ada benda asing di saluran udara, bronkoskopi dapat digunakan untuk mengetahui letak benda asing tersebut sehingga dapat diangkat dengan mudah.
Bronkoskopi juga dibutuhkan ketika paru-paru pasien telah berhenti bekerja, sebuah kondisi yang dikenal sebagai pneumotoraks. Pneumotoraks terjadi ketika udara yang keluar dari paru-paru berkumpul di sekitar paru-paru dan memberikan tekanan yang besar. Hal ini dapat menyebabkan penyempitan rongga paru-paru, sehingga pasien mengalami kesulitan bernapas.
Gangguan berupa kesulitan bernapas juga dapat membutuhkan bronkoskopi, terutama apabila pernapasan sangat sulit dilakukan atau terlalu nyaring (misalnya, apnea tidur obstruktif).
Setelah bronkoskopi selesai, pasien dapat diminta tinggal di ruang pengawasan setidaknya selama satu jam atau sampai obat-obatan, seperti obat bius, telah hilang pengaruhnya. Kemudian, pasien akan disarankan untuk tidak minum dan melakukan kegiatan yang berat selama 24-48 jam berikutnya.

Cara Kerja Bronkoskopi

Pasien yang telah dijadwalkan menjalani bronkoskopi harus melakukan puasa setelah tengah malam, kecuali mereka harus mengonsumsi obat-obatan yang harus diminum. Terkadang dokter akan menyarankan pasien untuk berhenti mengonsumsi obat-obatan mulai beberapa hari sebelum bronkoskopi.
Langkah pertama tindakan ini bergantung pada jenis bronkoskop yang digunakan. Kedua jenis bronkoskopi akan membutuhkan infus (kateter yang dimasukkan ke pembuluh darah) untuk memberikan obat-obatan, seperti obat bius, untuk kenyamanan pasien. Apabila menggunakan bronkoskop yang kaku, selama tindakan harus ada ahli obat bius untuk melakukan pengawasan.
Karena tindakan ini dapat menghambat proses pernapasan, pasien akan dihubungkan dengan sebuah alat yang mengawasi tanda vital tubuh, seperti detak jantung dan tekanan darah. Oksigen dapat diberikan ke pasien melalui hidung atau mulut dengan menggunakan tabung atau kanula (tabung kecil yang lentur).
Obat bius lokal akan diberikan di bagian belakang tenggorokan dan hidung, yang akan dilewati oleh bronkoskop. Kemudian, bronkoskop akan dimasukkan melalui mulut atau hidung, melewati pita suara, saluran udara, dan paru-paru.
Setelah itu, kamera akan mulai mengambil gambar. Dokter spesialis juga dapat memilih untuk melakukan aspirasi jarum atau biopsi dengan forcep (alat penjepit) untuk mengambil sampel jaringan, cairan, atau mukus.
Bronkoskopi membutuhkan waktu sekitar satu jam.

Kemungkinan Komplikasi dan Resiko Bronkoskopi

Walaupun dapat menyebabkan sedikit ketidaknyamanan bagi pasien, namun secara umum bronkoskopi adalah tindakan yang sangat aman. Setelah bronkoskopi selesai, ada kemungkinan pasien mengalami pendarahan ringan sampai 2 hari. Suara pasien dapat terdengar serak dan tenggorokan dapat terkena radang akibat pemasukan tabung. Namun, semua hal tersebut akan berhenti setelah beberapa hari dan dapat diobati oleh ahli paru-paru dengan mudah.
Risiko dan komplikasi yang lebih serius adalah berkurangnya kadar oksigen, cedera pada pita suara, kerobekan paru-paru, dan pendarahan yang parah.

Rujukan:
  • Kraft M. Approach to the patient with respiratory disease. In: Goldman L, Schafer AI, eds. Goldman’s Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2011:chap 83.
  • Kupeli E, Karnac D, Mehta AC. Flexible bronchoscopy. In: Mason RJ, Broaddus VC, Martin TR, et al., eds. Textbook of Respiratory Medicine. 5th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2010:chap 22.
  • Reynolds HY. Respiratory structure and function: mechanisms and testing. In: Goldman L, Schafer AI, eds. Goldman’‘ Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Saunders; 2011:chap 85.

Rabu, 05 Agustus 2015

CONGESTIVE HEART FAILURE ( GAGAL JANTUNG KONGESTIF )

1.      Definisi dan Klasifikasi
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah ketidak mampuan jantung untuk memompa darah yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi. Secara klinis keadaan pasien sesak napas disertai dengan adanya bendungan vena jugularis, hepatomegali, asites dan edema perifer. Gagal jantung kongestif biasanya diawali lebih dulu oleh gagal jantung kiri dan secara lambat diikuti gagal jantung kanan.
CHF menurut New York Heart Assosiation (NYHA) dibagi menjadi :
a.       Grade 1 :  Penurunan fungsi ventrikel kiri tanpa gejala.
b.      Grade 2 :  Sesak nafas saat aktivitas berat
c.       Grade 3 :  Sesak nafas saat aktivitas sehari-hari.
d.      Grade 4 :  Sesak nafas saat sedang istirahat.

2.      Etiologi dan Faktor Resiko
Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari segala jenis penyakit jantung kongestif maupun didapat. Mekanisme fisiologis  yang menyebabkan gagal jantung mencakup keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta dan cacat septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta  dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada imfark miokardium dan kardiomiopati.
Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui penekanana sirkulasi yang mendadak dapat berupa : aritmia, infeksi sistemik dan infeksi paru-paru dan emboli paru-paru. 
3.      Patofisiologi
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah sekuncup dan meningkatkan volume residu ventrikel.
Tekanan arteri paru-paru dapat meningkat sebagai respon terhadap peningkatan kronis tekanan vena paru. Hipertensi pulmonary meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Serentetan kejadian seprti yang terjadi pada jantung kiri, juga akan terjadi pada jantung kanan, dimana akhirnya akan terjdi kongesti sistemik dan edema.
Perkembangan dari kongesti sistemik atau paru-paru dan edema dapat dieksaserbasi oleh regurgitasi fungsional dan katub-katub trikuspidalis atau mitralis bergantian. Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi dari annulus katub atrioventrikularis atau perubahan-perubahan pada orientasi otot papilaris dan kordatendinae yang terjadi sekunder akibat dilatasi ruang.
Sebagai respon terhadap gagal jantung ada tiga mekanisme primer yang dapat dilihat; meningkatnya aktifitas adrenergik simpatik, meningkatnya beban awal  akibat aktivasi istem rennin-angiotensin-aldosteron dan hipertrofi ventrikel. Ketiga respon ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curh jantung. Meknisme-meknisme ini mungkin memadai untuk mempertahnkan curah jantung pada tingkat normal atau hampir normal pada gagal jantung dini, pada keadaan istirahat. Tetapi kelainan pada kerja ventrikel  dan menurunnya curah jantung biasanya tampak pada keadaan berktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung  maka kompensasi akan menjadi semakin luring efektif.
4.      Gambaran Klinis
Penderita gagal jantung yang tidak terkompensasi akan merasakan lelah dan lemah jika melakukan aktivitas fisik karena otot-ototnya tidak mendapatkan jumlah darah yang cukup. Pembengkakan juga menyebabkan berbagai gejala. Selain dipengaruhi oleh gaya gravitasi, lokasi dan efek pembengkakan juga dipengaruhi oleh sisi jantung yang mengalami gangguan.
Gagal jantung kanan cenderung mengakibatkan pengumpulan darah yang mengalir ke bagian kanan jantung. Hal ini menyebabkan pembengkakan di kaki, pergelangan kaki, tungkai, hati dan perut.
Gagal jantung kiri menyebabkan pengumpulan cairan di dalam paru-paru (edema pulmoner), yang menyebabkan sesak nafas yang hebat. Pada awalnya sesak nafas hanya terjadi pada saat melakukan aktivitas; tetapi sejalan dengan memburuknya penyakit, sesak nafas juga akan timbul pada saat penderita tidak melakukan aktivitas.

5.      Pemeriksaan Diagnostik
  • EKG : Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia san kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia mis : takhikardi, fibrilasi atrial. Kenaikan segmen ST/T persisten 6 minggu atau lebih setelah imfark miokard menunjukkan adanya aneurime ventricular.
  •  Sonogram : Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam fungsi/struktur katub atau are penurunan kontraktilitas ventricular.
  •  Skan jantung : Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan pergerakan dinding. 
  • Kateterisasi jantung : Tekanan bnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung sisi kanan verus sisi kiri, dan stenosi katup atau insufisiensi, Juga mengkaji potensi arteri kororner. Zat kontras disuntikkan kedalam ventrikel menunjukkan ukuran bnormal dan ejeksi fraksi/perubahan kontrktilitas.

Kanker Nasofaring (KNF)

Defenisi

Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring.(5) Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang sering ditemukan pada pria berusia lebih dari 40 tahun. Banyak terdapat pada bangsa Asia terutama orang Tionghoa. Biasanya mulai dari daerah fosa Rossenmuler. Tumor ini tumbuh dari epitel yang meliputi jaringan limfoid. Tumor primer dapat kecil, akan tetapi telah menimbulkan metastasis pada kelenjar limfe regional, biasanya pada leher.(4)
Keganasan nasofaring banyak terjadi di asia. Sering terjadi kekeliruan dalam mendiagnosis karena gejalanya yang samar-samar dan sulitnya pemeriksaan nasofaring.(7) Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan, kerena nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di bawah dasar tengkorak serta berhubungan dengan bayak daerah penting di dalam tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher. Oleh karena letak nasofaring tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli, seringkali tumor ditemukan terlambat dan sering menyebabkan metastasis ke leher lebih sering ditemukan sebagai gejala pertama.(6)
Ada beberapa jenis keganasan yang terdapat di nasofaring yaitu karsinoma sel skuamous, limfoma, keganasan kelenjar ludah, dan sarcoma. Karsinoma nasofaring termasuk penting dalam skala dunia. Di Cina selatan karsinoma nasofaring menmepati kedudukan tertinggi yaitu dengan 2.500 kasus baru pertahun untuk propinsi Guan-dong atau prevalensi 39.84/100.000 penduduk. Ras Mongoloid merupakan faktor dominant timbulnya krsinoma nasofaring, sehingga sering terjadi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia. Ditemukan cukup banyak pula di Yunani, Afrika bagian utara seperti Aljazair dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alaska, diduga penyebabnya adalah karena mereka memakan makanan yang diawetkan dalam musim dngin yang menggunakan bahan pengawet nitrosamine. Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir meratadi setiap daerah. Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, Dnpasar 15 kasus, Padang dan Bukit tinggi 11 kasus. Demikian pula angka-angka yang didapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan lain-lain menunjukkan bahwa tumor ganas ini terdapat merata di Indonesia.(6)
Salah satu etiologi karsinoma nasofaring adalah disebabkan virus Epstein-Barr. Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi pada laki-laki, umur 40 dan 50 tahun, tetapi kadang juga dijumpai pada anak-anak. 90% adalah karsinoma, sisanya yang terbayak adalah limfoma. Karsinoma nasofaring menyebar secara local melalui perluasan langsung, secara regional melalui nodul-nodul sekitarnya, dan secara jauh melalui aliran darah. Metastase jauh ke paru-paru, tulang, dan hepar paling sering terjadi di nasofaring dibandingkan tempat lain di leher dan kepala.(2)
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh karsinoma hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam prosentase rendah. Berdasarkan data laboratorium patologi anatomic tumor ganas nasofaring selalu berada dalamkedudukan lima besar dari tumor ganas tubuh manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit.(6)
Etiologi
Terjadinya karsinoma nasofarin mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya mungkin mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya kanker nasofaring adalah:
  1. Kerentanan Genetik, walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi kerntanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyrakat tertentu relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring, mereka berkaitan dengan sebagian besar karsinoma nasofaring.(8)
  2. Virus Eipstein-Barr, Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara karsinoma nasofaring dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr (EBV). Serum pasien-pasien orang asia dan afrika dengan karsinoma nasofaring primermaupun sekunder telah dibuktikan mengandung antibody Ig G terhadap antigen kapsid virus (VCA) EB dan seringkali pula terhadap antigen dini (EA); dan antibody Ig A terhadap VCA (VCA-IgA), sering dengan titer yang tinggi. Hubungan ini juga terdapat pada pasien Amerika yang mendapat karsinoma nasofaring aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini berhubungan dengan karsinoma nasofaring tak berdifrensiasi dan karsinoma nasofaring non-keratinisasi yang aktif (dengan mikroskop cahaya) tetapi biasanya tidak dengan tumor sel skuamosa atau elemen limfoid dalam limfoepitelioma.(1)
  3. Faktor Lingkungan, menurut laporan luar negeri, orang cina generasi pertama (Umumnya penduduk kanton ) yang bermigrasi ke Amerika Serikat, Kanada memiliki angka kematian akibat karsinoma nasofaring 30 kali lebih tinggi dari penduduk kulit putih setempat, sedangkan pada generasi kedua turun menjadi 15 kali, generasi ketiga belum ada angka pasti, tetapi secara keseluruhan cenderung menurun. Dalam pada itu, orang kulit putih yang lahir d Asia Tenggara, angka kejadian nasofaring meningkat. Sebabnya selain pada sebagian orang terjadi perubahan pada hubungan darah, jelas factor lingungan juga berperan penting. Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat berikut berkaitan dengan timbulnya karsinoma nasofaring:
    1. Golongan Nitrosamin,diantaranya dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin.
    2. Hodrokarbon aromatic
    3. Unsur Renik, diantaranya nikel sulfat.(8)
Anatomi Nasofaring
NASOFARING disebut juga Epifaring, Rinofaring. merupakan yang terletak dibelakang rongga hidung, diatas Palatum Molle dan di bawah dasar tengkorak. Bentuknya sebagai kotak yang tidak rata dan berdinding enam, dengan ukuran melintang 4 sentimeter, tinggi 4 sentimeter dan ukuran depan belakang 2-3 sentimeter.
Batas-batasnya :
- Dinding depan : Koane
- Dinding belakang : Merupakan dinding melengkung setinggiVertebra Sevikalis I dan II.
- Dinding atas : Merupakan dasar tengkorak.
- Dinding bawah : Permukaan atas palatum molle.
- Dinding samping : di bentuk oleh tulang maksila dan sfenoid.
Dinding samping ini berhubungan dengan ruang telinga tengah melalui tuba Eustachius. Bagian tulang rawan dari tuba Eustachius menonjol diatas ostium tuba yang disebut Torus Tubarius. Tepat di belakang Ostium Tuba. Terdapat cekungan kecil disebut Resesus Faringeus atau lebih di kenal dengan fosa Rosenmuller; yang merupakan banyak penulis merupakan lokalisasi permulaan tumbuhnya tumor ganas nasofaring. Tepi atas dari torus tubarius adalah tempat meletaknya oto levator veli velatini; bila otot ini berkontraksi, maka setium tuba meluasnya tumor, sehingga fungsinya untuk membuka ostium tuba juga terganggu. Dengan radiasi, diharapkan tumor primer dinasofaring dapat kecil atau menghilang. Dengan demikian pendengaran dapat menjadi lebih baik.
Sebaliknya dengan radiasi dosis tinggi dan jangka waktu lama, kemungkinan akan memperburuk pendengaran oleh karena dapat terjadi proses degenerasi dan atropidari koklea yang bersifat menetap, sehingga secara subjektif penderita masih mengeluh pendengaran tetap menurun.
Di nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang terutama mengalir ke lateral bermuara kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere). Terdapat hubungan bebas melintasi garis tengah dan hubungan langsung dengan mediastinum melalui ruang retrofaring. Metastasis jauh sering terjadi.
Pembagian daerah nasofaring :
  1. Dinding posterosuperior : daerah setinggi batas palatum durum dan mole sampai dasar tengkorak.
  2. Dinding lateral: termasuk fosa Rosenmuleri
  3. Dinding inferior: terdiri atas permukaan superior palatum mole.
Catatan: Pinggir orifisium koana termasuk pinggir posterior septum hidung dimasukkan sebagai fosa nasal.(1)
 

Histologi Nasofaring
Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat banyak jaringan limfosid,sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta. Hubungan antara epitel dengan jaringan limfosid inisangat erat, sehigga sering disebut " Limfoepitel ".
Bloom dan Fawcett ( 1965 ) membagi mukosa nasofaring atas empat macam epitel :
1. Epitek selapis torak bersilia " Simple Columnar Cilated Epithelium "
2. Epitel torak berlapis " Stratified Columnar Epithelium ".
3. Epitel torak berlapis bersilia "Stratified Columnar Ciliated Epithelium"
4. Epitel torak berlapis semu bersilia " Pseudo-Stratifed Columnar Ciliated Epithelium ".
Mengenai distribusi epitel ini, masih belum ada kesepakatan diantara para hali.60 % persen dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng " Stratified Squamous Epithelium ", dan 80 % dari dinding posteroir nasofaring dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral dan depan dilapisi oleh epitel transisional, yang meruapkan epitel peralihan antara epitel berlapis gepeng dan torak bersilia.
Epitel berlapis gepeng ini umumnya dilapisi Keratin, kecuali pada Kripta yang dalam. Di pandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan dua macam epitel adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma.(9)
Histopatologi
Kesukaran timbul dalam mengidentifikasi karsinoma nasofaring jenis sangat tidak berdiferensiasi dimana sudah tidak ada kekhususan epitelnya. Lebih dari 85% kemungkinan adalah karsinoma, mungkin 15% limfoma maligna dan kuang dari 2% tumor jaringan ikat. Sekali-sekali ditemukan neuroblastoma, silindroma dan tumor campur ganas. Menggunakan mikroskop electron, Ditemukan karsinoma nasofaring tumbuh dari lapisan skuamosa atau lapisan epitel respiratorius pada permukaan kripti nasofaring. Dindinga lateral yang ada fosa Rossenmulleri Merupakan lokasi tersering karsinoma nasofaring dan dinding faring posterior sedikit lebih jarang. Lebih jarang lagi tumor pada atap dan hanya sekali-kali pada dasar. Pada mulanya tumor sedemikian kecil sehingga sukar diketahui, atau tumbuh didaerah yang gejalanya tidak diketahui seperti pada fosa Rosenmulleri. Kemudian geajla-gejala akan muncul sesuai dengan arah penyebaran. Mungkin meluas melalui lubanga pada sisi yang sama dengan tumor atau mengikis tulang secara nekrosis tekanan.
Sesuai dengan klasifikasi karsinoma nasofaring yang diusulkan WHO tahun 1978. ada tiga jenis bentuk histologik :
  1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi, terdapat jembatan interseluler dan keratin, dapat dilihat dengan mikroskop cahaya.
  2. Karsinoma nonkeratinisasi, pada pemeriksaan dengan mikroskop cahaya, terdapat tanda difrensiasi, tetapi tidak ada difrensiasi skuamosa.
  3. Karsinoma tidak berdifrensiasi, sel mempunyai inti vesikuler, nucleolus yang menonjol dan dinding sel tidak tegas; tumor tampak lebih berbentuk sinsitium daripada bentuk susunan batubata.
Karsinoma limfoepitelioma didapatkan dalam bentuk kedua atau ketiga. Ditandai olah tampak banyak limfosit non maligna dan secara klinis sesuai karena respon terhadap terapi lebih baik disbanding dengan bentuk lain.
Tahun 1965 Svaboda melaporkan bahwa dari contoh jaringan yang diambil dari 14 pasien Amerika dan Cina dengan karsinoma nasofaring berdiferensiasi buruk yang diperiksa dengan mikrosko electron, semua menunjukkan adanya fibrilkeratin. Ini menimbulkan keraguan karena Who Dalam symposium internasionalnya mengenai karsinoma nasofaring than 1977 mendasarkan klasifikasinya atas hasil pemeriksaan mikroskop cahaya seperti tercantum diats, diman atidak selalu tampak keratin. Meskipun demikian klasifikasi WHO mengenai tumor nasofaring ini masih tetap dipakai.(1)
Penentuan Stadium
Untuk penetuan stadium dipakai sistim TNM menurut UICC (1992)
T= Tumor primer
T0- Tidak tampak tumor.
T1- Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap dan lain-lain).
T2 Tumor teradapt pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas di dalam rongga nasofaring
T3 Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring)
T4 Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau mengenai saraf-saraf otak.
Tx Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.

N Pembesaran kelenjar getah bening regional
N0 Tidak ada pembesaran
N1 Terdapat pembesaran tetapi homolateral dan masih dapat digerakkan
N2 Terdapat pembesaran kontralateral / bilateral dan masih dapat digerakkan
N3 Terdapat pembesran, baik homolateral, kontralateral maupun bilateral yang sudah melekat pada jaringan sekitar.

M Metastase jauh
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh

STADIUM
Stadium I :
T1 dan N0 dan M0
Stadium II :
T2 dan N0 dan M0
Stadium III :
T1/T2/T3 dan N1 dan M0
atau T3 dan N0 dan M0
Stadium IV :
T4 dan N0/N1 dan M0
atau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan M0
atau T1/T2/T3/T4 dan N0/N1/N2/N3 dan M1(10)
Gejala dan Tanda
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata, fdan syaraf, serta metastasis atau gejala di leher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung, untuk itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena seringa gejala belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak karena masih terdapat dibawah mukosa (creeping tumor).
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Tidak jarang pasien dengan gangguan pendengaran ini baru kemudian disadari bahwa penyebabnya adalah karsinma nasofaring.
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lobang, maka gangguan beberapa lobang, dari beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke II, IV, VI dan dapat pula ke V, shingga tidak jarang gejala diplopia lah yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti.
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh syaraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian biasanya prognosisnya buruk.
Metastase kekelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan lain.
Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring atau LHN telah diteliti di RRC yaitu tiga bentuk yang mencurigakan pada naofaring seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa, pembesaran nodul dan mukosistis berat pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila diikuti bertahun-tahun kemudian akan menjadi karsinoma nasofaring.(6)
Diagnosis
Persoalan diagnostic sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak akan terlalu sulit ditemukan.(6) Pemeriksaan foto tengkorak potongan anteroposterior, lateral dan waters menunjukan massa jaringan lunak di daerah nasofaring. Foto dasar tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fossa serebri media. Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal, dll dilakukan untuk mendeteksi metastasis.(5) Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tetapi pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsy nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung atau dari mulut.
Biopsi dari hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy. Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada didalam mulut ditarik keluar dan diklem bersam-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik keatas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakuan dengan anestsi topical dengan Xylocain 10%. Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.(6)
Penatalaksanaan
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan computer. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus. Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terpai adjuvant (tambahan). Bebagai macam kombinasi diebangkan, yang trbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai inti.
Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil saat ini sedang dikembangkan dengan hasil sementara yang cukup memuaskan. Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan harapan kesembuhan yang lebih baik. Kombinasi kemoterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring.
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi tumor induk sisa (residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi.
Perawatan paliatif
Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut rasa kering disebakan oleh keusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang dilakukan selain menasihatkan pasien untuk makan dengan banyak kuah, membawa minuman kemanapun pergi dan mencoba memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya air liur. Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang muntah atau rasa mual.
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap dimana tumor tetap ada (residu) akan kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut diatastidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Paisen akhirnya meninggal dalam keadaan umum yang buruk , perdarahan dari hidung dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan terganggunya fungsi alat-lata vital akibat metastasis tumor. (6)
Prognosis
Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti :
- Stadium yang lebih lanjut.
- Usia lebih dari 40 tahun
- Laki-laki dari pada perempuan
- Ras Cina dari pada ras kulit putih
- Adanya pembesaran kelenjar leher
- Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak
- Adanya metastasis jauh(11)
Komplikasi
Gejala metastasis jauh, karena 95% lebih sel kanker nasofaring berdiferensiasi buruk, dengan derajat keganasan tinggi, waktu diagnosis ditegakkan, 4,2% kasus sudah menderita metastasis jauh, Dari kasus wafat setelah radioterapi, angka metastasis jauh 45,5%. Lokasi metastasis paling sering ke tulang, paru hati. Metastasis tulang paling sering ke pelvis, vertebra, costa, dan keempat ekstremitas.(12)
Daftar Pustaka
1. Ballenger J. Jacob., 1994. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, ed.13, jilid 1, Binarupa Aksara, Jakarta. pp; 371-396
2. www.crab.org
3. Eugene B. Kern. Et al. 1993. Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok, EGC, Jakarta. pp;371- 373
4. Kurniawan A. N., 1994. Nasopharynx dan Pharynx dalam Kumpulan kuliah Patologi, FKUI, 1994,Jakarta.pp;151-152
5. Mansjoer, Arif., et al (eds), 1999. Kapita Selekta Kedokteran ed.III, jilid 1, FKUI, Media Aesculapius, Jakarta. pp; 371-396
6. Roezin A., dan Syafril A., 1990. Karsinoma Nasofaring dalam Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala, leher, ed 5, FKUI, Jakara. pp ; 146-159
7. www.utmb.edu
8. Desen Wan, dkk. 2008. Onkologi Klinik ed.II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. pp; 267-268
9. Soepardi EA, Iskandar N. Dalam : Karsinoma Nasofaring. Buku Ajar THT. Edisi Kelima. Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 2000 : 146-150
10. Desen Wan, dkk. 2008. Onkologi Klinik ed.II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. pp; 274-275
11. Rasad U, Dalam : Nasopharyngeal Carcinoma. Ganas Progress. July Vol 23 no 7 1996 ;16
12. Desen Wan, dkk. 2008. Onkologi Klinik ed.II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. pp; 272