Artritis Reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit yang tersebar luas
serta melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia. Penyakit ini merupakan
suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif
simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, seringkali juga
melibatkan organ tubuh lainnya
Sebagian besar penderita menunjukkan gejala
penyakit kronik yang hilang timbul, yang jika tidak diobati akan menyebabkan
terjadinya kerusakan persendian dan deformitas sendi yang progresif yang
menyebabkan disabilitas bahkan kematian dini. Walaupun faktor genetik, hormon
sex, infeksi dan umur telah diketahui berpengaruh kuat dalam menentukan pola
morbiditas penyakit ini.hingga etiologi AR yang sebenarnya tetap
belum dapat diketahui dengan pasti.
Gejala Klinis
Gejala klinis utama AR adalah poliartritis
yang mengakibatkan terjadinya kerusakan pada rawan sendi dan tulang
disekitarnya. Kerusakan ini
terutama mengenai sendi perifer pada tangan dan kaki yang umum nya bersifat
simetris. Pada kasus AR yang jelas diag-nosis tidak begitu sulit untuk
ditegakkan. Akan tetapi pada masa permulaan penyakit, seringkali gejala AR
tidak bermanifestasi dengan jelas, sehingga kadang kadang timbul kesulitan
dalam menegakkan diagnosis. Walaupun demikian dalam menghadapi AR yang pada
umumnya berlangsung kronis ini, seorang dokter tidak perlu terlalu cepat untuk
menegakkan diagnosis yang pasti. Adalah lebih baik untuk menunda diagnosis AR
selama beberapa bulan dari pada gagal mendiagnosis terdapatnya jenis artritis
lain yang seringkali memberi-kan gejala yang serupa5. Pada penderita
harus diberi tahukan bahwa semakin lama diagnosis AR tidak dapat ditegakkan
dengan pasti oleh seorang dokter yang berpengalaman, umumnya akan semakin baik
pula prognosis AR yang dideritanya.
Kriteria
Diagnosis
Kriteria
diagnostik AR disusun untuk pertama kalinya oleh suatu komite khusus dari
American Rheumatism Association (ARA) pada tahun 1956. Karena kriteria tersebut
dianggap tidak spesifik dan terlalu rumit untuk digunakan dalam klinik, komite
tersebut melakukan peninjauan kembali terhadap kriteria klasifikasi AR tersebut
pada tahun 1958.
Dengan kriteria
tahun 1958 ini ini seseorang dikatakan menderita AR klasik jika memenuhi 7 dari
11 kriteria yang ditetapkan, definit jika memenuhi 5 kriteria, probable jika
memenuhi 3 kriteria dan possible jika hanya memenuhi 2 kriteria saja. Walaupun
kriteria tahun 1958 ini telah digunakan selama hampir 30 tahun, akan tetapi
dengan terjadinya perkembangan pengetahuan yang pesat mengenai AR, ternyata
diketahui bahwa dengan menggunakan kriteria tersebut banyak dijumpai kesalahan
diagnosis atau dapat me-masukkan jenis artritis lain seperti
spondyloarthro-pathy seronegatif, penyakit pseudorheumatoid akibat deposit
calcium pyrophosphate dihydrate, lupus erite-matosus sistemik, polymyalgia
rheumatica, penyakit Lyme dan berbagai jenis artritis lainnya sebagai AR.
Pembagian AR
sebagai classic, definite, probable dan possible,
secara klinis juga dianggap tidak relevan lagi. Hal ini disebabkan karena dalam
praktek sehari hari, tidak perlu dibedakan penata-laksanaan AR yang classic
dari AR definite. Selain itu seringkali penderita yang terdiagnosis
sebagai menderita AR probable ternyata menderita jenis artritis yang
lain.
Walaupun peranan
faktor reumatoid dalam pato-genesis AR belum dapat diketahui dengan jelas,
da-hulu dianggap penting untuk memisahkan kelompok penderita seropositif
dari seronegatif. Akan tetapi pada faktanya, faktor reumatoid seringkali
tidak dapat dijumpai pada stadium dini penyakit atau pembentukan nya dapat
ditekan oleh disease modifying anti-rheumatic drugs (DMARD). Selain itu
spesifisitas faktor reumatoid ternyata tidak dapat diandalkan karena dapat pula
dijumpai pada beberapa penyakit lain. Dua kriteria tahun 1958 yang lain seperti
analisis bekuan musin dan biopsi membran sinovial memerlukan prosedur invasif
sehingga tidak praktis untuk digunakan dalam diagnosis rutin.
Dengan
menggabungkan variabel yang paling sensitif dan spesifik pada 262 penderita AR
dan 262 penderita kontrol, pada 1987 ARA berhasil dilakukan revisi susunan
kriteria klasifikasi reumatoid artritis dalam format tradisional yang baru. Susunan
kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
1987 Revised
A.R.A. Criteria for Rheumatoid Arthritis
- Kaku pagi hari
- Artritis pada 3 daerah persendian atau lebih
- Artritis pada persendian tangan
- Artritis simetris
- Nodul reumatoid
- Faktor reumatoid serum positif
- Perubahan gambaran radiologis
Penderita
dikatakan menderita AR jika memenuhi sekurang kurangnya kriteria 1 sampai 4
yang diderita sekurang kurangnya 6 minggu.
Konsep
Pengobatan AR
Walaupun hingga
kini belum berhasil didapatkan suatu cara pencegahan dan pengobatan AR yang
sempurna, saat ini pengobatan pada penderita AR ditujukan untuk:
- Menghilangkan gejala inflamasi aktif
baik lokal maupun sistemik
- Mencegah terjadinya destruksi jaringan
- Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian
agar tetap dalam keadaan baik.
- Mengembalikan kelainan fungsi organ dan
persen dian yang terlibat agar sedapat mungkin menjadi normal kembali.
Dalam pengobatan
AR umumnya selalu dibutuh kan pendekatan multidisipliner. Suatu team
yang idealnya terdiri dari dokter, perawat, ahli fisioterapi, ahli terapi
okupasional, pekerja sosial, ahli farmasi, ahli gizi dan ahli psikologi,
semuanya memiliki peranan masing masing dalam pengelolaan penderita AR baik
dalam bidang edukasi maupun penatalaksanaan pengobatan penyakit ini. Pertemuan
berkala yang teratur antara penderita dan keluarganya dengan team
pengobatan ini umumnya akan memungkinkan penatalaksanaan penderita menjadi
lebih baik dan juga akan meningkatkan kepatuhan penderita untuk berobat.
Setelah diagnosis
AR dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus dilakukan adalah segera
berusaha untuk membina hubungan yang baik antara penderita dan keluarganya
dengan dokter atau team pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan yang
baik ini agaknya akan sukar untuk dapat memelihara ketaatan penderita untuk
tetap berobat dalam suatu jangka waktu yang cukup lama.
Peranan
Pendidikan dalam Pengobatan AR
Penerangan
tentang kemungkinan faktor etiologi, patogenesis, riwayat alamiah penyakit dan
penatalaksanaan AR kepada penderita merupakan hal yang amat penting untuk
dilakukan. Dengan penerangan yang baik mengenai penyakitnya, penderita AR
diharapkan dapat melakukan kontrol atas perubahan emosional, motivasi dan
kognitif yang terganggu akibat penyakit ini.
Saat ini terdapat
telah banyak publikasi tentang manfaat pendidikan dini pada penderita AR. Salah
satu yang banyak dilaksanakan di Amerika Serikat dan Kanada adalah adalah
The Arthritis Self Management Program, yang diperkenalkan oleh Lorig dkk.
dari Stanford University. Peningkatan pengetahuan penderita tentang penyakitnya
telah terbukti akan meningkatkan motivasinya untuk melakukan latihan yang
dianjurkan, sehingga dapat mengurangi rasa nyeri yang dialaminya.
Trend Pengobatan AR Saat Ini
Berbeda dengan trend
pada dekade yang lalu, saat ini banyak di antara para ahli penyakit reumatik
yang telah meninggalkan cara pengobatan tradisional yang menggunakan 'piramida
terapeutik. Beberapa ahli bahkan menganjurkan untuk menggunakan pendekatan step
down bridge dengan menggunakan kombinasi beberapa jenis DMARD yang dimulai
pada saat yang dini untuk kemudian dihentikan secara bertahap pada saat
aktivitas AR telah dapat terkontrol.
Hal ini
didasarkan pada pendapat bahwa penatalaksanaan yang efektif hanya dapat dicapai
bila pengobatan dapat diberikan pada masa dini penyakit.
Penggunaan
OAINS dalam Pengobatan AR
Obat Anti
Inflamasi Non Steroid (OAINS) umum nya diberikan pada penderita AR sejak masa
dini penyakit yang dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi
yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi sinovial yang
bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga memberikan efek
analgesik yang sangat baik.
OAINS terutama
bekerja dengan menghambat enzim siklooxygenase sehingga menekan sintesis
prostaglandin. Masih belum jelas apakah hambatan enzim lipooxygenase juga berperanan
dalam hal ini, akan tetapi jelas bahwa OAINS berkerja dengan cara:
o
Memungkinkan
stabilisasi membran lisosomal
o
Menghambat
pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi (histamin, serotonin, enzim
lisosomal dan enzim lainnya).
o
Menghambat
migrasi sel ke tempat peradangan
o
Menghambat
proliferasi seluler
o
Menetralisasi
radikal oksigen
o
Menekan
rasa nyeri
Selama ini telah
terbukti bahwa OAINS dapat sangat berguna dalam pengobatan AR, walaupun OAINS
bukanlah merupakan satu satunya obat yang dibutuhkan dalam pengobatan AR. Hal
ini di sebabkan karena golongan OAINS tidak memiliki khasiat yang dapat
melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat AR. Untuk mengatasi proses destruksi tersebut masih diperlukan obat
obatan lain yang termasuk dalam golongan DMARD.
Efek Samping OAINS pada Pengobatan
Penderita AR
Semua OAINS secara potensial umumnya
ber-sifat toksik. Toksisitas OAINS yang umum dijumpai adalah efek sampingnya
pada traktus gastrointestinalis terutama jika OAINS digunakan bersama obat obatan
lain, alkohol, kebiasaan merokok atau dalam keadaan stress. Usia juga merupakan
suatu faktor risiko untuk mendapatkan efek samping gastrointestinal akibat
OAINS. Pada penderita yang sensitif dapat digunakan preparat OAINS yang berupa
suppositoria, pro drugs, enteric coated, slow release atau non-acidic.
Akhir akhir ini juga sedang dikembangkan OAINS yang bersifat selektif terhadap
jalur COX-2 metabolisme asam arakidonat. OAINS yang selektif terhadap jalur
COX-2 umumnya kurang berpengaruh buruk pada mukosa lambung dibandingkan dengan
preparat OAINS biasa.
Efek samping lain yang mungkin dijumpai
pada pengobatan OAINS antara lain adalah reaksi hiper-sensitivitas, gangguan
fungsi hati dan ginjal serta pe-nekanan sistem hematopoetik.
Selama duapuluh tahun terakhir ini,
berbagai jenis OAINS baru dari berbagai golongan dan cara penggunaan telah
dapat diperoleh di pasaran. Dalam memilih suatu OAINS untuk digunakan pada
seorang penderita AR, seorang dokter umumnya harus mempertimbangkan beberapa
hal seperti:
o
Khasiat anti inflamasi
o
Efek samping obat
o
Kenyamanan / kepatuhan
penderita
o
Biaya.
Karena faktor seperti khasiat anti
inflamasi, efek analgesik, beratnya efek samping atau biaya dari berbagai jenis
OAINS saat ini umumnya masih tidak jauh berbeda, sejak beberapa tahun terakhir
ini pilihan OAINS lebih banyak bergantung pada faktor kenyamanan dan kepatuhan
penderita dalam menggunakan OAINS.
Penggunaan DMARD pada Penderita AR
Pada dasarnya saat ini terdapat terdapat
dua cara pendekatan pemberian DMARD pada pengobatan penderita AR. Cara pertama
adalah pemberian DMARD tunggal yang dimulai dari saat yang sangat dini.
Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa destruksi sendi pada AR terjadi
pada masa dini penyakit. Brook and Corbett, pada penelitiannya menemukan bahwa
90% penderita AR telah menunjukkan gambaran erosi secara radiologis pada dua
tahun pertama setelah menderita penyakit. Hasil pengobatan jangka panjang yang
buruk pada sebagian besar penelitian sangat mungkin disebabkan karena
pengobatan baru dimulai setelah masa kritis ini dilampaui.
Cara pendekatan lain adalah dengan
menggunakan dua atau lebih DMARD secara simultan atau secara siklik seperti
penggunaan obat obatan imunosupresif pada pengobatan penyakit keganasan.
Kecenderungan untuk menggunakan kombinasi DMARD dalam pengobatan AR ini timbul
sejak dekade yang silam karena banyak diantara para ahli reumatologi
beranggapan bahwa terapi DMARD secara sekwensial, pada jangka panjang tidak
berhasil mencegah terjadinya kerusakan sendi yang progresif.
Sebenarnya tidak terdapat suatu batasan
yang tegas mengenai kapan kita harus mulai menggunakan DMARD. Hal ini
disebabkan karena hingga kini belum terdapat suatu cara yang tepat untuk dapat
mengukur beratnya sinovitis atau destruksi tulang rawan pada penderita AR.
Dengan demikian, keputusan untuk menggunakan DMARD pada seorang penderita AR
akan sepenuhnya bergantung pada pertimbangan dokter yang mengobatinya. Umumnya
pada penderita yang diagnosisnya telah dapat ditegakkan dengan pasti, OAINS
harus diberikan dengan segera. Pada penderita yang tersangka menderita AR yang
tidak menunjukkan respons terhadap OAINS yang cukup baik dalam beberapa minggu,
DMARD dapat dimulai diberikan untuk dapat mengontrol progresivitas penyakitnya.
Beberapa jenis DMARD yang lazim digunakan
untuk pengobatan AR adalah:
Klorokuin
Klorokuin
merupakan DMARD yang paling banyak digunakan di Indonesia. Hal ini disebabkan
karena klorokuin sangat mudah didapat dengan biaya yang amat terjangkau sesuai
dengan kebijaksanaan pemerintah Indonesia dalam hal eradikasi penyakit malaria.
Sebagai DMARD,
klorokuin memiliki beberapa keterbatasan. Banyak diantara para ahli yang
ber-pendapat bahwa khasiat dan efektivitas klorokuin agaknya lebih rendah
dibandingkan dengan DMARD lainnya, walaupun toksisitasnya juga lebih rendah
dibandingkan dari DMARD lainnya. Dari pengalaman penggunaan klorokuin di
Indonesia diketahui bahwa sebagian penderita akan menghentikan penggunaan
klorokuin pada suatu saat karena merasa bahwa obat ini kurang bermanfaat bagi
penyakitnya.
Toksisitas
klorokuin sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Klorokuin dapat
digunakan dengan aman jika dilakukan pemantauan yang baik selama penggunaannya
dalam jangka waktu yang panjang. Efek samping pada mata, sebenarnya hanya
terjadi pada sebagian kecil penderita saja. Mackenzie and Scherbel, pada
penelitiannya telah dapat menunjukkan bahwa toksisitas klorokuin pada retina
hanya bergantung pada dosis harian saja dan bukan dosis kumulatifnya. Dosis
antimalaria yang dianjurkan untuk pengobatan AR adalah klorokuin fosfat 250
mg/hari atau hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Pada dosis ini jarang sekali
terjadi komplikasi penurunan ketajaman penglihatan. Efek samping lain yang
mungkin dijumpai pada penggunaan antimalaria adalah dermatitis makulopapular,
nausea, diare dan anemia hemolitik. Walaupun sangat jarang dapat pula terjadi
diskrasia darah atau neuromiopati pada beberapa penderita.
Sulfazalazine
Sulfasalazine
(SASP,salicyl-azo-sulfapyridine) diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Nana
Svartz di Swedia pada sekitar tahun 1930. Pada mulanya obat ini digunakan untuk
mengobati artritis inflamatif yang diduga disebabkan karena infeksi, akan
tetapi setelah digunakan beberapa waktu, perhatian terhadap obat ini menurun
akibat dipublikasikannya laporan Sinclair dan Duthie mengenai pengaruh yang
kurang baik pada penggunaan obat ini di Inggris. Obat ini kemudian kembali
menjadi populer setelah di publikasikannya laporan McConkey, Bird dan kawan
kawan yang meneliti kembali khasiat SASP pada penderita AR dengan metodologi
penelitian yang lebih baik.
Untuk pengobatan
AR sulfasalazine dalam bentuk enteric coated tablet digunakan mulai dari
dosis 1 x 500 mg / hari, untuk kemudian ditingkatkan 500 mg setiap minggu
sampai mencapai dosis 4 x 500 mg. Setelah remisi tercapai dengan dosis 2 g /
hari, dosis diturunkan kembali sehingga mencapai 1 g /hari untuk digunakan
dalam jangka panjang sampai remisi sempurna terjadi. Jika sulfasalazine tidak
menunjukkan khasiat yang di kehendaki dalam 3 bulan, obat ini dapat dihentikan
dan digantikan dengan DMARD lain atau tetap digunakan dalam bentuk kombinasi
dengan DMARD lainnya.
Kurang lebih 20%
penderita AR menghentikan pengobatan SASP karena mengalami nausea, mun-tah atau
dispepsia. Gangguan susunan syaraf pusat seperti pusing atau iritabilitas dapat
pula dijumpai. Neutropenia, agranulositosis dan pansitopenia yang reversibel
telah pernah dilaporkan terjadi pada penderita yang mendapatkan SASP. Ruam
kulit terjadi kurang lebih pada 1% sampai 5% dari penderita yang menggunakan SASP.
Penurunan jumlah sel spermatozoa yang reversibel juga pernah dilaporkan
walaupun belum pernah dilaporkan adanya pening-katan abnormalitas foetus.
D-penicillamine
D-penicillamine
(DP) mulai meluas penggunaannya sejak tahun tujuhpuluhan. Walaupun demikian,
karena obat ini bekerja sangat lambat, saat ini DP kurang disukai lagi untuk
digunakan dalam pengobatan AR. Umumnya diperlukan waktu pengobatan kurang lebih
satu tahun untuk dapat mencapai keadaan remisi yang adekwat, dan rentang waktu
ini dianggap terlalu lama bagi sebagian besar penderita AR
Dalam pengobatan
AR, DP (Cuprimin 250 mg atau Trolovol 300 mg) digunakan dalam dosis 1 x 250
sampai 300 mg/hari kemudian dosis ditingkatkan setiap dua sampai 4 minggu
sebesar 250 sampai 300 mg/hari untuk mencapai dosis total 4 x 250 sampai 300
mg/hari.
Efek samping DP
antara lain adalah ruam kulit urtikarial atau morbilformis akibat reaksi
alergi, stomatitis dan pemfigus. DP juga dapat menyebabkan trombositopenia,
lekopenia dan agranulositosis. Pada ginjal DP dapat menyebabkan timbulnya
proteinuria ringan yang reversible sampai pada suatu sindroma nefrotik. Efek
samping lain yang juga dapat timbul adalah lupus like syndrome,
polimiositis, neuritis, miastenia gravis, gangguan mengecap, nausea, muntah,
kolestasis intrahepatik dan alopesia.
Garam emas
Auro Sodium
Thiomalate (AST) intramuskular telah dianggap sebagai suatu gold standard
bagi DMARD sejak 20 tahun terakhir ini. Khasiat obat ini tidak diragukan lagi,
walaupun penggunaan obat ini seringkali menyertakan efek samping dari yang
ringan sampai yang cukup berat.
AST (Tauredon
ampul 10, 20 dan 50 mg) diberikan secara intramuskular yang dimulai dengan
dosis percobaan pertama sebesar 10 mg, disusul dengan dosis percobaan kedua
sebesar 20 mg setelah 1 minggu kemudian. Setelah 1 minggu, dosis penuh
diberikan sebesar 50 mg / minggu selama 20 minggu. Jika respons penderita belum
memuaskan setelah 20 minggu, pengobatan dapat dilanjutkan dengan pemberian
dosis tambahan sebesar 50 mg setiap 2 minggu sampai 3 bulan. Kalau masih
diperlukan AST kemudian dapat diberikan dalam dosis sebesar 50 mg setiap 3
minggu sampai keadaan remisi yang memuaskan dapat tercapai.
Efek samping AST
antara lain adalah pruritus, stomatitis, proteinuria, trombositopenia dan
aplasia sumsum tulang. Efek samping AST agaknya terjadi lebih sering pada
pengemban HLA- DR3A. Jika timbul efek samping yang ringan, dosis AST dapat
dikurangi atau dihentikan untuk sementara. Jika gejala efek samping tersebut
menghilang, AST kemudian dapat diberikan lagi dalam dosis yang lebih rendah.
Ridaura
(auranofin tablet 3 mg) adalah preparat garam emas oral telah dikenal sejak
awal dekade yang lalu dan dianggap sebagai DMARD yang berlainan sifatnya dari
AST. Walaupun obat ini terbukti berkhasiat dalam pengobatan AR, lebih mudah
digunakan serta tidak memerlukan pemantauan yang ketat seperti AST, banyak para
ahli yang berpendapat bahwa khasiat auranofin tidaklah lebih baik dibandingkan
dengan AST.
Auranofin sangat
berguna bagi penderita AR yang menunjukkan efek samping terhadap AST. Auranofin
diberikan dalam dosis 2 x 3 mg sehari. Efek samping proteinuria dan
trombositopenia lebih jarang dijumpai dibandingkan dari penggunaan AST. Pada
awal penggunaan auranofin, banyak penderita yang mengalami diare, yang dapat
diatasi dengan menurun- kan dosis pemeliharaan yang digunakan.
Methotrexate
Methotrexate
(MTX) adalah suatu sitostatika golongan antagonis asam folat yang banyak
digunakan sejak 15 tahun yang lalu. Obat ini sangat mudah digunakan dan rentang
waktu yang dibutuhkan untuk dapat mulai bekerja relatif lebih pendek (3 - 4
bulan) jika dibandingkan dengan DMARD yang lain. Dalam pengobatan penyakit
keganasan, MTX bekerja dengan menghambat sintesis thymidine sehingga
menyebab-kan hambatan pada sintesis DNA dan proliferasi selular. Apakah
mekanisme ini juga bekerja dalam penggunaannya sebagai DMARD belum diketahui
dengan pasti.
Pemberian MTX
umumnya dimulai dalam dosis 7.5 mg (5 mg untuk orang tua) setiap minggu.
Walaupun dosis efektif MTX sangat bervariasi, sebagian besar penderita sudah
akan merasakan manfaatnya dalam 2 sampai 4 bulan setelah pengobatan. Jika tidak
terjadi kemajuan dalam 3 sampai 4 bulan maka dosis MTX harus segera
ditingkatkan.
Efek samping MTX
dalam dosis rendah seperti yang digunakan dalam pengobatan AR umumnya jarang
dijumpai akan tetapi juga dapat timbul berupa kerentanan terhadap infeksi,
nausea, vomitus, diare, stomatitis, intoleransi gastrointestinal, gangguan
fungsi hati, alopesia, aspermia atau leukopenia. Efek samping ini biasanya
dapat diatasi dengan mengurangi dosis atau menghentikan pemberian MTX. Kelainan
hati dapat dicegah dengan tidak menggunakan MTX pada penderita AR yang obese,
diabetik, peminum alkohol atau penderita yang sebelumnya telah memiliki
kelainan hati.
Pada penderita AR
yang menunjukkan respons yang baik terhadap MTX, pemberian asam folinat
(Leucovorin) dapat mengurangi beratnya efek samping yang terjadi. Leucovorin
diberikan dalam dosis 6 sampai 15 mg/m2 luas permukaan badan setiap
6 jam selama 72 jam jika terdapat efek samping MTX yang dapat membahayakan
penderita.
Walaupun
penggunaan MTX memberikan harapan yang baik dalam pengobatan AR, akan tetapi
seperti halnya penggunaan sitostatika lain, MTX sebaiknya hanya diberikan
kepada penderita AR yang progresif dan gagal di kontrol dengan DMARD standard
lainnya.
Cyclosporin -
A
Cyclosporin - A
(CS-A), adalah suatu undeca-peptida siklik yang di isolasi dari jamur
Tolypocladium inflatum Gams pada tahun 1972. Dalam dosis rendah, CS-A telah
terbukti khasiatnya sebagai DMARD dalam mengobati penderita AR. Pengobatan
dengan CS-A terbukti dapat menghambat progresivitas erosi dan kerusakan sendi.
Kendala utama penggunaan obat ini adalah sifat nefrotoksik yang sangat
bergantung pada dosis yang digunakan. Gangguan fungsi ginjal ini dapat menyebabkan
terjadinya peningkatan kadar kreatinin serum atau hipertensi. Efek samping lain
CS-A adalah gangguan fungsi hati, hipertrofi gingiva, hipertrikosis, rasa
terbakar pada ekstremitas dan perasaan lelah.
Dosis awal CS-A
yang lazim digunakan untuk pengobatan AR adalah 2,5 mg/KgBB/hari yang diberikan
terbagi dalam 2 dosis setiap 12 jam. Dosis dapat ditingkatkan sebesar 25% dosis
awal setelah 6 minggu hingga mencapai 4 mg/KgBB/hari sehingga sehingga tercapai
kadar CS-A serum sebesar 74 - 150 ng/ml atau jika kadar kreatinin serum
meningkat mencapai lebih dari 50% nilai basal. Dosis peme-liharaan rata rata
berkisar antara 4 mg/KgBB/hari. Dalam dosis tersebut ternyata terjadi perbaikan
yang bermakna dalam beberapa outcome yang diukur.
Bridging Therapy dalam Pengobatan AR
Bridging therapy adalah pemberian glukokortikoid dalam dosis rendah (setara dengan
prednison 5 sampai 7,5 mg/hari) sebagai dosis tunggal pada pagi hari. Walaupun
pemberian glukokortikoid dosis rendah tidak menimbulkan perubahan yang bermakna
kadar dan irama kortisol plasma atau growth hormone, pemberian
glukokortikoid dosis rendah ini akan sangat berguna untuk mengurangi keluhan
penderita sebelum DMARD yang diberikan dapat bekerja.
Pengobatan AR
Eksperimental
Selain dari cara pengobatan di atas,
terdapat pula beberapa cara lain yang dapat dipakai untuk mengobati penderita
AR, akan tetapi karena belum dilakukan uji klinik mengenai khasiat dan
efektivitas dari modalitas tersebut, cara pengobatan tersebut masih bersifat
eksperimental dan belum digunakan secara luas dalam pengobatan AR. Pengobatan
eksperimental AR ini antara lain meliputi penggunaan plasmaferesis,
thalidomide, J-interferon, inhibitor IL-1 dan antibodi monoclonal.
Peranan Dietetik dalam Pengobatan AR
AR
adalah suatu penyakit inflamasi sistemik kronik dan bukan suatu penyakit
metabolik. Walaupun beberapa jenis modifikasi dietetik, antara lain yang
terakhir berupa suplementasi asam lemak omega 3 seperti asam eikosapentanoat
pernah dicoba dalam beberapa penelitian, ternyata hasilnya tidak begitu
meyakinkan. Dengan demikian hingga saat ini sebagian besar para ahli
berpendapat bahwa selain untuk mencapai berat badan ideal, agaknya modifikasi
dietetik saat ini belum jelas kegunaannya dalam merubah riwayat alamiah
penyakit ini