PENDAHULUAN
Angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi yaitu sekitar 420 tiap 100.000 kelahiran hidup, atau setiap satu jam ada dua ibu hamil meninggal dunia, akibat perdarahan sewaktu persalinan. Ini sudah termasuk korban praktek aborsi Indonesia menduduki peringkat teratas perempuan meninggal dunia diikuti Filipina 230/100.000, Malaysia 62/100.000 dan Singapura 14/100.000.13
Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menyebutkan, angka kematian ibu dan bayi mengalami penurunan yang cukup signifikan dari tahun 2004 sampai tahun 2007. Di tahun 2007, angka kematian bayi mencapai 26,9 persen per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian ibu berkisar 248 per 100 ribu kelahiran. Padahal di tahun 2004, angka kematian bayi sekitar 30,8 persen per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian ibu sekitar 270 dari per 100 ribu kelahiran. 14
Millenium Development Goals (MDG’s) atau tujuan pembangunan millennium adalah upaya untuk memenuhi hak-hak dasar kebutuhan manusia melalui komitmen bersama antara 189 negara anggota PBB untuk melaksanakan 8 (delapan) tujuan pembangunan, yaitu menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan dasar untuk semua, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, menurunkan angka kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, kelestarian lingkungan hidup, serta membangun kemitraan global dalam pembangunan.16
Salah satu dari tujuan dari Pembangunan Milenium atau Millennium Development Goals (MDGs) ialah mengurangi jumlah kematian ibu, yang memiliki tujuan : 15
a. Mengurangi sampai tiga perempat rasio jumlah kematian ibu15
i. Rasio kematian Ibu
ii. Proporsi kelahiran dihadiri oleh tenaga kesehatan terampil
b. Mencapai, pada tahun 2015, akses universal untuk kesehatan reproduksi15
i. Tingkat prevelensi Kontrasepsi
ii. Menilai tingkat lahir adolescent
iii. Cakupan layanan pra kelahiran perawatan ( setidakna satu kali kunjungan dan setidaknya empat kunjungan )
Salah satu cara dalam meraih tujuan MDGs ialah “proporsi kelahiran dini dihadiri oleh tenaga kesehatan terampil”, sehingga pengetahuan akan proses kelahiran yang benar harus diketahui tenaga kesehatan yang menolong persalinan dan pelahiran bayi.
Parturition atau proses kelahiran merupakan suatu kumpulan suatu periode gestasi dari suatu kelahiran bayi neonatus dari seorang rahim wanita. Proses ini dikategorikan ke dalam empat fase penting yang berperan sejak wanita hamil tidak merasakan kontraksi hingga merasakan adanya kontraksi dan melakukan proses persalinan.
Proses kelahiran ini sangat penting baik bagi ibu maupun janin,calon bayi. Untuk ibu, parturition yang berlangsung lancar menandakan bahwa dirinya telah berhasil melewati serangkaian tahap-tahap proses kelahiran dan melahirkan bayinya ke dalam dunia dengan selamat. Sedangkan untuk si jabang bayi, proses kelahiran merupakan suatu awal untuk dirinya dalam menghembuskan nafas pertamanya di dalam dunia. Oleh karena itu penting sekali kita membahas mengenai apa saja yang ada dalam proses-proses kelahiran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fase – Fase Proses Kelahiran (Parturition)
Fase-fase dalam parturition, merupakan suatu proses fisiologis dalam kelahiran yang terdiri dari empat fase yaitu fase 0 (fase awal menuju kelahiran), fase 1( persiapan untuk kelahiran), fase 2 (proses dari kelahiran), fase 3 (fase akhir dari kelahiran). Adanya perbedaan alamiah dari fase-fase fisiologis ini membuktikan bahwa dalam uterus terjadi transformasi fungsi uterus secara multipel yang hanya dapat dibuktikan dengan waktu-waktu dalam setiap proses kelahiran. Keempat fase ini bertanggung jawab terhadap perubahan fisiologis dari miometrium dan serviks pada masa kehamilan. Fase persalinan berbeda dengan stadium kelahiran (clinical stages) yang terdiri dari stage 1,2,3.1
Gambar 1 Fase-fase dalam parturition8
2.1.1 Fase 0 = Fase Laten
Fase ini ditemukan pada 95 % kehamilan normal, dimana pada fase ini miometrium berada dalam keadaan relaksasi dengan struktur serviks yang masih kaku. Oleh karena itu, pada keadaan ini, miometrium kurang responsif terhadap rangsangan alamiah serta tokolitik. Proses miometrium yang tidak responsif pada fase 0 ini berlanjut hingga akhir daripada kehamilan. 1
Selama fase 0 dalam persalinan, miometrium dalam keadaan tenang (quiescent state) dan serviks dalam keadaan kaku (firm). Apabila terjadi dilatasi servikal dini (prematur), struktur serviks yang tidak adekuat dan atau keduanya, maka mungkin akan terjadi persalinan prematur. Pemendekan serviks antara minggu ke-24 -28 dikaitkan dengan peningkatan resiko persalinan premature. 1
Terkadang pada fase 0 ini, terjadi kontraksi miometrium, namun kontraksi tersebut tidak menyebabkan dilatasi serviks. Kontraksi tersebut biasanya ditandai dengan kontraksi yang tidak teratur, kuat kontraksi yang lemah dan waktu kontraksi yang singkat. Adanya kontraksi ringan pada fase ini menimbulkan gejala ketidaknyamanan pada perut bagian bawah dan lipat paha. Mendekati akhir dari kehamilan, uterus akan mempersiapkan diri menuju proses kelahiran, dan pada saat itu, intensitas kontraksi menjadi lebih sering, terutama pada multipara. Kontraksi tersebut dikenal dengan istilah kontraksi Braxton-Hicks atau persalinan palsu. Kontraksi ini mulai terasa pada minggu ke-26 kehamilan. 1,9
2.1.2 Fase 1: Persiapan Untuk Kelahiran
Untuk mempersiapkan proses kelahiran, uterus yang pada fase 0 berada dalam keadaan relaksasi mulai menunjukkan aktifitas kontraksinya, pada periode ini dikenal dengan istilah uterine awakening activation. Fase ini terjadi kurang lebih 6-8 minggu sebelum proses kelahiran. Pada fase ini perlu diperhatikan secara lebih teliti karena adanya perubahan kontraksi uterus dari fase 0 ke 1 dapat menyebabkan kelahiran prematur atau persalinan memanjang. Fase 1 terjadi perubahan servikal dan miometrium. 1
- Perubahan serviks
Modifikasi serviks pada fase 1 kelahiran mempengaruhi perubahan dalam jaringan penunjang sekitar uterus yang disertai dengan invasi sel-sel radang ke sekitarnya. Ada dua perubahan mendasar jaringan ikat di sekitar serviks yang melunak. Pertama, pada akhir kehamilan, serat-serat kolagen pada miometrium dan serviks mengalami penghancuran dan terjadi pembentukan serat-serat kolagen baru yang tidak beraturan sehingga menyebabkan penurunan jumlah dan ukuran kolagen dalam serviks dan akhirnya serviks menjadi lebih lunak. Pada periode ini juga, terjadi perubahan glikosaminoglikan, terutama asam hialuronat, dimana pada fase ini terjadi peningkatan jumlah asam hialuronat yang berefek serviks melunak karena fungsi asam hialuronat adalah menahan jumlah dan kadar air dalam serviks. Selain itu terjadi penurunan jumlah dermatan sulfat, yang berperan dalam proses pembentukkan serat kolagen. Pada saat serviks melunak, produksi sitokin juga ditemukan meningkat sehingga menimbulkan infiltrasi leukosit yang mengakibatkan degradasi kolagen. Hasil dari semua proses di atas adalah penipisan, pelunakan, relaksasi dari serviks sehingga dapat menginisiasi serviks untuk dilatasi. 1
Serviks terutama atas jaringan ikat dan hanya sedikit mengandung jaringan otot tidak mempunyai fungsi sebagai sphincter. Pada partus serviks membuka saja mengikuti tarika-tarika corpus uteri ke atas dan tekanan bagian bawah janin tidak menutup seperti ditemukan pada spincter.2
Mekanisme teoritis yang dapat mempercepat pelunakan serviks masih belum dipastikan namun beberapa ahli telah mencoba secara klinis. Prostaglandins E2 (PGE2) dan F2a (PGF2a) diletakkan secara langsung di sekitar serviks (secara intravaginal) akan menginduksi proses pematangan dari serviks. Proses yang terjadi yaitu modifikasi kolagen, perubahan konsentrasi dari glikosaminoglikan sehingga menfasilitasi proses induksi kelahiran. 1,7
- Perubahan miometrium
Pada fase 1 terjadi perubahan segmen bawah rahim. Pada perkembangan segmen bawah rahim yang baik, kepala janin akan turun ke atau melalui inlet (PAP), dikenal dengan istilah lightening. Perut akan mengalami perubahan bentuk, terkadang keadaan ini dideskripsikan sebagai ‘the baby dropped’. Hal ini menunjukkkan bahwa miometrium pada segmen bawah rahim sangat unik dibandingkan miometrium pada segmen atas rahim pada wanita hamil menjelang persalinan. 1
Gambaran lightening pada primigravida menunjukan hubungan normal antara ketiga P yaitu, power (kekuatan his), passage (jalan lahir normal), dan passanger (janinnya dan plasenta). Pada multipara gambarannya tidak jelas, karena kepala janin baru masuk pintu atas panggul menjelang persalinan.4
2.1.3 Fase 2: Proses Dari Kelahiran
Fase 2 ini merupakan fase aktif persalinan (active labor), dimana uterus berkontraksi sehingga menimbulkan dilatasi servikal yang progresif dan kelahiran. Secara klinis, fase 2 kelahiran dibagi menjadi tiga stadium.
- Stadium satu kelahiran dimulai pada saat uterus kontraksi dengan frekuensi, intensitas, dan durasi yang cukup yang menimbulkan pendataran serviks. Stadium ini diakhiri dengan adanya dilatasi serviks yang maksimal (kurang lebih 10 cm) yang dapat menyebabkan kepala fetus turun. Oleh karena itu stadium 1 ini dikenal dengan stadium pendataran servikal dan dilatasi.
- Stadium dua kelahiran dimulai pada saat dilatasi serviks telah lengkap dan diakhiri dengan lahirnya fetus. Oleh karena itu stadium dua dikenal dengan istilah ekspulsi fetus.
- Stadium tiga dimulai pada saat segera setelah kelahiran fetus dan diakhiri dengan kelahiran dari placenta dan membrana placenta, oleh karena itu stadium ini dikenal dengan stadium separasi dan ekspulsi placenta. 1,9
Pada beberapa wanita, kontraksi kuat uterus dapat berefek pada dilatasi serviks, penurunan kepala fetus, kelahiran fetus yang dimulai secara mendadak dan terlihat seperti tanpa peringatan. Pada sebagian wanita, inisiasi terjadinya kelahiran ditandai dengan keluarnya sekret berupa bercak darah dan lendir vagina secara spontan. Disebabkan karena timbulnya robekan-robekan kecil pada ostium internum yang mulai membuka dan juga karena selaput lendir rahim sekitar ostium internum itu mulai terlepas dari selubung janin. Pada fase ini menunjukkan ekstruksi mucus plug yang berasal dari canalis servikalis dan dikenal dengan istilah ‘bloody show’. Keluarnya mucus plug menandakan bahwa proses kelahiran akan segera berlangsung atau akan terjadi persalinan dalam beberapa jam sampai beberapa hari kemudian. 1,3
Pada fase ke-2, stadium ke-1 kelahiran terjadi proses-proses:
- Kontraksi uterus
- Perubahan segmen bawah dan atas rahim
- Perubahan bentuk uterus
- Tekanan mengendan
- Perubahan serviks. 1
- Kontraksi uterus, merupakan karakteristik dari proses kelahiran.
- Terjadi hipoksia pada saat kontraksi miometrium (seperti angina pectoris)
- Kompresi saraf nervus ganglia pada serviks dan uterus bagian bawah oleh jepitan antar serabut miometrium
- Peregangan serviks akibat dilatasi serviks
- Peregangan peritonium yang melindungi fundus. 1
Kompresi saraf ganglia pada serviks dan segmen bawah rahim merupakan suatu hipotesis yang cukup menarik. Infiltrasi para-servikal dengan anestesi lokal biasanya dapat mengurangi kadar nyeri pada saat kontraksi.
Nyeri persalinan biasanya dikaitkan dengan regangan, tekanan, dan robekan struktur-struktur lokal. Walaupun karaktristik yang berbeda dikaitkan dengan nyeri pada pada kala persalinan yang berbeda, namun tidak jelas apakah karakteristik ini ditentukan oleh pengkajian nyeri, status emosional dan oleh intervensi perawat.5
Kontraksi uterus tidak disadari dan pada kebanyakkan wanita, kontraksi bersifat independen, diluar kontrol ekstra-uterin. Blokade neural dengan menggunakan analgesia epidural tidak mengurangi frekuensi atau intensitas.
Proses peregangan serviks meningkatkan aktivitas uterus, hal ini disebabkan karena refleks Ferguson. Proses peregangan serviks diduga karena adanya pelepasan oksitosin, namun hal ini masih belum dapat dibuktikan secara akurat. Manipulasi serviks dan ‘stripping of the membrane’ berkaitan dengan peningkatan kadar metabolit prostaglandin F2 (PGFM) dalam darah yang dapat meningkatkan kontraksi uterus. 1,9
Interval kontraksi meningkat secara bertahap dari sekitar 10 menit pada onset stadium pertama kelahiran menjadi kurang dari 1 menit pada stadium dau. Periode relaksasi diantara tiap kontraksi penting untuk menandakan kesejahteraan fetus dalam rahim. Kontraksi uterus yang terus menerus tanpa atau sedikit periode relaksasi menimbulkan uteroplasental insufisiensi yang menyebabkan hipoksia fetus. Pada fase aktif dari proses kelahiran, durasi kontraksi berkisar antara 30-90 detik,rata-rata sekitar 1 menit. Tekanan cairan amnion juga ikut berperan dalam proses persalinan, jika tekanan sekitar 40mmHg maka akan terjadi kelahiran spontan. 1
- Perubahan segmen bawah dan atas rahim
Dengan palpasi abdomen, kedua segmen rahim dapat dibedakan pada saat kontraksi bahkan pada saat ruptur membrana uteri pun dapat dibedakan. Segmen atas rahim cukup keras atau kaku pada saat kontraksi. Konsistensi dari segmen bawah rahim kurang kaku dan dapat berdilatasi dan bersifat pasif. Jika miometrium pada segmen bawah rahim dan serviks berkontraksi secara simultan dengan intensitas kontraksi yang hampir mirip, kekuatan ekspulsi akan menurun.1
Kontraksi segmen atas rahim menimbulkan retraksi dan ekspulsi fetus. Adanya kontraksi miometrium pada segmen atas rahim, menyebabkan pelunakan segmen bawah rahim dan dilatasi serviks dan membentuk miometrium yang terekspansi, rongga fibromuskular, dinding otot yang tipis sehingga fetus dapat melewati jalan lahir. Miometrium pada segmen atas rahim tidak pernah berelaksasi pada ukuran normal setelah kontraksi. 1,10
Gambar 2 Perkembangan segmen atas dan bawah rahim. 2
Segmen atas rahim (bagian aktif) akan terus berkontraksi sehingga dapat menurunkan isi rahim ke bawah, namun tegangan miometrium tetap konstan. Pada otot miometrium akan tetap memiliki tonus, dan tetap meregang dan tetap berkontraksi jika terdapat stimulasi. Pada pemanjangan serat dari segmen bawah rahim akibat dari pregresifitas proses kelahiran ditandai dengan penipisan dari otot pada segmen bawah rahim sehingga ketebalan dinding rahim hanya sekitar beberapa milimeter. Sebagai hasil dari penipisan segmen bawah rahim dan penebalan segmen atas rahim timbul jarak diantara keduanya yang ditandai dengan adanya jembatan pada permukaan dalam uterus yang dikenal dengan istilah cincin retraksi fisiologis. Pada saat penipisan segmen bawah rahim terjadi secara berlebihan, yang disebabkan karena persalinan terhambat (obstruksi persalinan), cincin retraksi akan semakin jelas dan membentuk cincin retraksi patologis. Pada keadaan abnormal, dikenal dengan istilah cincin Bandl. 1,10
- Perubahan bentuk uterus selama persalinan
- Tekanan mengedan dalam persalinan
Setelah kepala memasuki ruang panggul, maka pada his dirasakan tekanan pada otot-otot dasar panggul, yang secara reflektoris menimbulkan rasa mengedan. Wanita merasakan pula tekanan pada rectum dan hendak buang air besar. Kemudia perineum mulai menonjol menjadi lebar dengan anus membuka. 2
- Perubahan serviks
Bagian corpus uterus memiliki resistensi lebih tinggi dibandingkan dengan segmen bawah rahim dan serviks. Oleh karena itu, selama kontraksi, dorongan sentrifugal akan menyebabkan serviks mengalami distensi, dikenal dengan istilah distensi servikal. Saat terjadi kontraksi uterus akan mengalami perubahan tekanan pada membran plasenta, tekanan hidrostatik meningkat pada kantung amnion sehingga menimbulkan dilatasi kanalis servikalis seperti segitiga. Saat membran plasenta tidak intak, tekanan untuk mempertahankan dilatasi serviks dan segmen bawah rahim cukup efektif. 1
Terdapat dua fase dilatasi servikal yaitu fase laten dan aktif. Fase aktif dibagi menjadi fase akselerasi dan fase lengkungan maksimum, fase deselerasi. Durasi dari fase laten bervariasi dan senstif terhadap perubahan faktor-faktor ekstra seperti sedasi, akan memperpanjang fase laten dan memperpendek stimulasi miometrium. Dilatasi servikal akan diikuti dengan proses retraksi servikal.1
Mekanisme membukanya serviks berbeda antara primigravida dan multigravida. Pada yang pertama ostium uteri internum akan membuka terlebih dahulu, sehingga serviks akan mendatar dan menipis. Baru kemudian ostium uteri eksternum membuka. Pada multigravida ostium uteri internum sudah sedikit terbuka. Ostium uteri internum dan eksternum serta penipisan dan pendataran serviks terjadi dalam saat yang sama. 2
2.1.3.2 Stadium Dua: Penurunan Fetus
Pada beberapa nulipara, penurunan kepala fetus terjadi sebelum persalinan dimulai. Namun pada sebagian wanita, penurunan kepala tidak lengkap hingga akhir dari stadium pertama. 1
2.1.3.3 Stadium Tiga: Kelahiran Placenta dan Membrana Placenta
Stadium tiga persalinan diawali segera setelah kelahiran fetus dan ekspulsi plasenta dan membrana placenta. Pada saat bayi lahir, uterus akan berkontraksi secara spontan mengelilingi struktur di sekitar rahim. Secara normal, segera setelah bayi dilahirkan, rongga uterus akan mengalami obliterasi dan fundus uteri akan berkontraksi (otot-ototnya akan menebal hingga beberapa meter) sehingga fundus uteri berada di bawah umbilicus. 1
Adanya penurunan ukuran uterus yang terjadi secara mendadak akan disertai dengan proses penurunan area tempat implantasi plasenta sehingga akan meningkatkan kontraksi uterus untuk melepaskan placenta dari sisa implantasinya. Oleh karena itu, pelepasan plasenta sebenarnya karena disproporsi antara ukuran plasenta dan pengurangan area implantasi plasenta. Pada persalinan sectio caesaria, fenomena ini mungkin akan terjadi jika plasenta berimplantasi di dinding posterior. 1
Pembersihan plasenta difasilitasi oleh kehilangan struktur desidua spogiosus dimana fungsi dari decidua spongiosa adalah sebagai perekat membrana plasenta pada miometrium. Selain itu ada saat terjadi pelepasan membrana plasenta terbentuk hematoma antara plasenta dan desidua. Hematoma ini akan menyebabkan separasi dan menyebabkan perdarahan. Hematoma akan memicu proses pembersihan placenta. Separasi plasenta secara normal akan terjadi beberapa menit setelah kelahiran. 1
Selain itu pada stadium tiga terjadi separasi amniochorion. Penurunan area permukaan dari rongga uterus secara bertehap menyebabkan membrana fetus (amniochorion) dan decidua parietale membentuk lapisan dinding rahim lapis demi lapis dari ketebalam 1mm sampai dengan 3-4 mm hingga mencapai ketebalan 4-5cm dengan otot miometrium yang padat. 1
Ekstruksi plasenta juga merupakan salah satu proses pada fase ke-dua. Setelah plasenta lepas dari tempat implantasinya, tekanan pada uterus menyebabkan plasenta terdorong ke segmen bawah rahim atau ke vagina bagian atas. Dibawah bagian plasenta yang lepas itu bertumpuklah darah; makin banyak terlepas, makin banyak perdarahan, sampai seluruh plasenta itu terlepas dari dinding plasenta. Metode yang biasaya digunakan yaitu mengkompresi dan elevasi fundus pada saat melakukan traksi minimal dari tali umbilicus. 1,3
Jika bagian tengah plasenta yang terlepas terlebih dahulu, maka akan terjadi retroplasental hematoma, hematoma tersebut akan menginiasi separasi plasenta sehingga plasenta terdorong ke dalam rongga uterus. Kemudian plasenta akan terinversi dan menahan darah hematoma kemudian placenta keluar. Karena sel desidua masih menempel pada sekitar membran maka plasenta dapat turun hanya dengan pelepasan membran hanya dengan pelepasan bagian tepi dari membran sehingga akan terbentuk kantung sebagai hasil dari membran yang terinversi. Hematoma retroplasental biasanya didahului dengan lahirnya plasenta atau ditemukan dalam kantung membran plasenta yang terinversi. Proses ini dikenal dengan mekanisme ekspulsi plasenta dari Schultze. Selain itu terdapat metode ekstruksi atau pelepasan plasenta yang dikenal dengan mekanisme Duncan, dimana pelepasan sebagian plasenta dimulai dari bagian perifer (tepi) sehingga darah akibat pelepasan plasenta terkumpul di antara membrana plasenta dan dinding uterus dan keluar lewat vagina. Pada mekanisme ini, plasenta akan turun pada sisi vagina dan sisi maternal plasenta akan terlebih dahulu terlihat di vulva. 1
2.1.4 Fase 3: Masa Nifas
Segera setelah kelahiran bayi, dan sekitar beberapa jam kemudian, miometrium harus berada dalam kondisi kaku dan kontraksi yang persisten dan retraksi sehingga dapat mengkompresi pembuluh darah besar uterus dan trombosis dari lumen uterus. Adanya koordinasi dari otot-otot miometrium post-partum akan menghindari perdarahan berat post-partum. Pada masa ini terjadi onset dari laktogenesis dan pengeluaran air susu ibu dari kelenjar payudara. Akhir dari masa nifas yaitu terjadinya involusi uterus yang akan mengembalikan fungsi dan bentuk rahim seperti saat tidak hamil dan persiapan pematangan ovulasi juga terjadi pada masa nifas sebagai persiapan untuk hehamilan berikutnya. Untuk memperoleh involusi uterus secara lengkap dibutuhkan waktu empat sampai enam minggu, namun sebenarnya proses ini bergantung pada durasi dari pemberian asi. Infertilitas biasanya bertahan selama pemberian air susu ibu dilanjutkan karena hormon prolaktin menginduksi anovulasi dan amenore. 1,7
Adapun rahim perempuan yang baru bersalin itu masih membesar, jika diraba dar luar tingginya fundus uteri kira-kira 1 jari dibawah pusat sedangkan beratnya lebih kurang 1 kg. Hal ini disebabkan banyaknya darah dalam dinding rahim mengalir dalam pembuluh-pembuluh darah yang membesar. Sampai hari kedua uterus masih membesar kemudian berangsur-angsur menurun.Kalau diukur tingginya fundus uteri dalam waktu nifas (sesudah kencing) pada hari : 3
Ketiga : Kira-kira 2-3 jari dibawah pusat
Kelima : Pada pertengahan antara pusat dan sympysis
Ketujuh : Kira-kira 2-3 jari di atas sysmphisis
Kesembilan : Kira-kira satu jari di atas sysphisis 3
2.2 Proses fisiologis dan biokimiawi yang meregulasi proses persalinan
Terdiri dari beberapa proses seperti:
2.2.1 Perubahan anatomis dan fisiologis miometrium
Pertama, terjadi pemendekan otot polos miometrium yang ditandai dengan kontraksi satu atau kumpulan beberapa otot miometrium. Kedua, tekanan (force) dapat digunakan oleh otot polos dalam beberapa jalur berbeda dengan tenaga kontraksi yang dihasilkan oleh otot skeletal/lurik yang selalu berada dalam jalur aksis serat-serat otot. Ketika, proses pengaturan otot polos berbeda dengan otot skeletal, dimana pada miometrium filamen tipis dan tebal ditemukan dalam posisi memanjang dengan rangkaian otot yang tersebar. Keadaan tersebut dapat memfasilitasi proses pemendekan otot secara maksimal dan meningkatkan kapasitas otot polos miometrium secara keseluruhan. Keempat, adanya keuntungan dari adanya jalur tenaga multidireksi pada uterus (perbedaan antara tekanan fundus dan segmen bawah rahim) sehingga mempermudah tekanan ekspulsi fetus dan mengetahui keadaan presentasi fetus. 1
2.2.2 Regulasi kontraksi dan relaksasi miometrium
Regulasi kontraksi dan relaksasi miometrium dapat dibedakan menjadi dua mekanisme yaitu akut dan kronik. Pada keadaan akut, terjadi interaksi antara aktin dan miosin sehingga penting dalam memproduksi kontraksi otot. Miosin terdiri dari rantai bercabang banyak dan rantai berat yang tersusun dari miofilamen tebal. Interaksi antara aktin dan miosin menimbulkan aktivasi dari adenosin trifosfatase, adenosin trifosfate hidrolisis dan tenaga paksa (force) dan menjadi efektif bila terjadi fosforilasi oleh enzim fosforilase dari miosin rantai cabang ringan. Reaksi fosforilasi dikatalisasi oleh enzim myosin light chain kinase, yang diaktifkan oleh kalsium. Kalsium akan mengikat calmodulin, sebuah protein calcium binding-regulatory, dengan demikian akan terjadi pengikatan ke komponen miosin light chain kinase. Beberapa agen fisik/mekanis berperan dalam otot polos miometrium dapat meningkatkan peningkatan konsetrasi kalsium intrasel sehingga meinduksi terjadinya kontraksi. Peningkatan kalsium intrasel biasanya bersifat transient tetapi kontraksi dapat diperpanjang dengan penghambatan aktivitas miosin fosfatase oleh Rho kinase. Agen-agen fisik/mekanik yang dapat meningkatkan kadar cAMP intrasel atau cGMP akan mendukung terjadinya relaksasi uterus karena cAMP dan cGMP diduga mempunyai peranan dalam menurunkan kadar kalsium intrasel, meskipun mekanisme pastinya belum diketahui. 1
Regulasi kontraksi dan relaksasi pada miometrium juga dipengaruhi adanya gap junction pada sel-sel miometrium. Dengan adanya gap junction maka molekul signal yang diterima diantara sel dapat disalurkan sehingga komunikasi antar sel terjadi dan terjadilah proses kontraksi dan relaksasi. Selain iitu, sel miometrium juga memiliki sistem pengaturan yang tidak hanya bergantung pada reseptor hormon estrogen dan progesteron tetapi juga memiliki berbagai jenis sel yang memiliki kemampuan untuk meregulasi kontraktibilitas sel. 1
2.2.3 Sistem regulasi yang membuat uterus dalam keadaan tenang
Sel otot polos miometrium merupakan organ yang dapat berkontraksi. Sulit dibayangkan bagaimana sebuah uterus dapat membesar sehingga dapat mengakomodasikan janin seberat 3,500 gram, 1 liter cairan amnion, 800 gram plasenta dan membran plasenta tanpa terjadi erupsi. Keadaan miometrium yang tenang pada fase 0 persalinan dapat berhasil karena dipengaruhi oleh faktor-faktor multipel dan proses biomolekular. Pada fase 0 terjadi beberapa proses fisiologis yang melibatkan beberapa sistem biomolekular, neural, endokrin, parakrin dan autokrin. Fase 0 dapat meregulasi uterus dalam keadaan tenang karena disebabkan beberapa faktor yaitu: 1
- Aktivitas dari hormon progesteron melalui reseptor intrasel
- Reseptor sel miometrium yang meningkatkan cAMP
- Pengaturan cGMP
- Sistem lain yang mencakup modifikasi channel ion sel miometrium
Berdasarkan penelitian dikatakan bahwa peningkatan progesteron dapat meningkatkan uterus dalam keadaan relaksasi melalui efek langsung maupun tidak langsung yang menurunkan ekspresi dari protein kontraksi. Progesteron dapat menghambat ekspresi dari protein gap junctioal, connexin 43 pada beberapa penelitian pada binatang tikus. Estrogen dapat menginduksi pembentukan gap junction miometrium pada beberapa binatang sehingga meningkatkan sintesis connexin 43. 1
Beberapa reseptor heptahelical dapat menginduksi relaksasi miometrium. Beberapa reseptor heptahelical yang berperan dalam relaksasi miometrium berkaitan dengan G-as yang me-mediasi aktivasi enzim adenil siklase dan meningkatkan kadar cAMP yang dapat ditemukan pada miometrium. Yang termasuk reseptor heptahelical yaitu:
- Beta-adrenoreseptor.
Pada beberapa penelitian pengaruh signal cAMP menyebabkan relaksasi miometrium. Dan reseptor beta-adrenergik memiliki prototipe yang serupa dengan cAMP. Beta adrenergik memediasi G-as sehingga mengstimulasi peningkatakan adenilil siklase sehingga kadar cAMP meningkat dan terjadi relaksasi miometrium. 1
- Luteinizing hormone (LH) dan Chrorionic gonadotropin (hCG)
Kadar reseptor LH-hCG dalam miometrium pada wanita hamil lebih besar dibandingkan pada saat persalinan. hCG berperan aktif dalam mengaktivasi adenilil siklase melalui reseptor G-s yang menyebabkan penurunan frekuensi dan tekanan kontraksi dan menurunkan jumlah gap junction sel miometrium. Maka dengan kata lain, kadar hCG plasma yang tinggi pada wanita hamil menyebabkan mekanisme uterus dalam keadaan tenang. 1
- Hormon relaksin
Hormon relaksin dalam pasma darah wanita hamil diduga disekresikan oleh corpus luteum. Kadar relaksin plasma tertinggi yaitu pada minggu ke8-12 kehamilan dengak kadar tertinggi sekitar 1ng/mL dan kadarnya menurun hingga ambang bawah hormon dan menetap hingga persalinan. Reseptor membran plasma homron relaksin mempengaruhi aktivasi enzim adenilil siklase dan mendukung terjadinya relaksasi miometrium namun juga berefek pada perlunakan servik. 1
- Corticotropin-releasing hormone (CRH)
CRH memiliki reseptor multipel dan afinitasnya meningkat pada akhir kehamilan. Kadar CRH plasma meningkat pada akhir minggu ke6-8 kehamilaan normal. Beberapa penelitian mengemukakan pendapat bahwa pada CRH dikaitkan dengan inisiasi terjadinya persalinan. Reseptor CRH dapat memberikan sinyal melalui cAMP atau kalsium, sehingga CRH dapat menyebabkan relaksasi atau kontraksi miometrium tergantung pada reseptor yang muncul. Oleh karena itu, CRH memiliki potensi sebagai uterorelaksan pada fase 0 dan uterotonika pada fase 1 dan 2 persalinan. 1
- Prostaglandin
Prostanoid berinteraksi dengan delapan tipe reseptor heptahelical, dan beberapa dari reseptor tersebut diekspresikan dalam miometrium. Meskipun prostaglandin kebanyakan digunakan sebagai uterotonika, prostanoid dapat berperan sebagai relaksan otot. Prostaglandin diproduksi oleh membrana asam arakidonat yang biasanya dilepaskan oleh aktivitas enzim fosfolipase A2 atau C pada membrana fosfolipid. Asam arakidonat dapat berperan dalam substrat tipe 1 &2 yang dikenal dengan siklooksigenase 1& 2. PGHS-1&2. 1
2.2.4 Sistem regulasi yang membuat kontraksi uterus
Adanya perubahan morfologi dan fungsi miometrium dan serviks dapat mempersiapkan uterus dalam menghadapi persalinan pada fase 1 persalinan. Proses ini ditandai dengan perkembangan sensitivitas uterotonika, peningkatan komunikasi selular melalui gap junction dan adanya perubahan kapasitas sel miometrium untuk meregulasi konsentrasi kalsium dalam sitoplasma. 1
Yang dapat membuat kontraksi uterus:
- Reseptor antagonis progesteron
Ketika antiprogestin RU 486 atau mifepristone diberikan pada wanita pada akhir fase siklus ovarium, maka akan terjadi menstruasi dini. Hal ini penting diperhatikan bahwa antiprogestin dapat digunakan untuk menginduksi terjadinya aborsi pada kehamilan minggu-minggu awal. Meskipun antogonis reseptor progesteron memiliki efek yang kurang efektif pada induksi aborsi pada wanita hamil tua namun RU 486 tetap efektif dalam perlunakkan serviks dan peningkatan sensitvitas miometrium terhadap uterotonika. Penurunan progesteron yang beredar dalam darah dapat menghambat enzim 3-hidroksisteroid dehidrogenase yang menginduksi persalinan. 1,3
- Reseptor oksitosin
Efektifitas oksitosin pada kontraksi uterus pada kehamilan dini dan akhir persalinan masih kontroversi. Progesteron dan estradiol diduga dapat mengatur ekspresi reseptor dari oksitosin. Terapi estradiol pada miometrium dapat meningkatkan reseptor oksitosin miometrium. Dan untuk menghambat kontraksi akibat pemberian estradiol dapat diberikan progesteron karena progesteron dapat meningkatkan degradasi reseptor oksitosin. Peningkatan reseptor oksitosin diatur secara langsung maupun tidak langsung oleh reseptor estradiol. Pemberian estradiol pada beberapa sepesies dapat meningkatkan reseptor oksitosin. 1,6
Gambar 3 Mekanisme kerja oksitosin 6
2.2.5 Peranan Fetus Dalam Inisiasi Persalinan
a. Kontraksi uterus dalam persalinan
Pertumbuhan janin merupakan komponen penting dalam aktivasi uterus yang tampak pada fase 1 persalinan. Selama masa gestasi dan dalam kaitannya dengan pertumbuhan janin, diperoleh adanya peningkatan tegangan kontraksi miometrium dan tekanan cairan amnion. Adanya peregangan pada uterus terus menerus akan menginduksi protein CAPs (spesific contraction-associated proteins). Regangan juga akan meningkatkan ekspresi dari protein gap junction, connexin 43 yang strukturnya mirip dengan reseptor oksitosin. Selain itu regangan pada uterus dianggap berpengaruh terhadap siklus endokrin feto-maternal dalam aktivasi uterus dalam proses persalinan.
b.Kaskade fetal endokrin mempengaruhi timbulnya persalinan. 1
Kemampuan fetus untuk menyediakan sinyal endokrin dibuktikan lewat percobaan pada janin domba sejak 30 tahun yang lalu, dimana dibuktikan bahwa sinyal tersebut dihasilkan dari aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal. Pada domba, produksi steroid padar kelenjar adrenal fetus dipercaya dapat memberikan efek pada plasenta dan membrana plasenta yang dapat merubah keadaan miometrum dalam keadaan tenang menjadi status otot yang mulai berkontraksi. Komponen dalam tubuh memiliki kemampuan untuk untuk memproduksi CRH (corticotropin-releasing hormone). 1
c.Peranan CRH dalam kelenjar adrenal fetus
Fetus memiliki berat kelenjar adrenal yang sama dengan kelenjar adrenal dewasa dan memiliki kemiripan dalam ukuran. Kelenjar adrenal yang mendekati kelahiran fetus menghasilkan steroid kurang lebih 100-200 mg/hari, lebih tinggi dibandingkan dengan steroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal dewasa pada keadaan istirahat (30-40mg/hari) namun fungsi steroid yang dihasilkan fetus berbeda dengan dewasa. Sebagai contohnya, sejumlah cortisol tidak diproduksi oleh kelenjar adrenal fetus hingga trimester ketiga. Sebagai hasilnya kadar cortisol fetus meningkat pada minggu-minggu akhir kehamilan. Selama periode ini, produksi Dehidroedpiandrosteron sulfat (DHEA-S) meningkat secara signifikan sehingga berefek pada peningkatan estrogen maternal terutama estriol. Peningkatan aktivitas adrenal ditandai dengan kadar hormon adrenocortiotropic hormon (ACTH) fetus yang tidak meningkat hingga sebelum persalinan.1,7
Kadar ACTH tidak meningkat secara signifikan sampai akhir kehamilan sehingga proses pertumbuhan dan diferensiasi dari kelenjar adrenal fetus sebenernya dipengaruhi oleh faktor lain yang disekresikan oleh plasenta. Zona fetal dari kelenjar adrenal akan segera mengalami involosi sesudah kelahiran. Dari beberapa penitian disebutkan bahwa CRH memiliki kemampuan untuk menstimulasi DHEA-S pada adrenal fetus dan biosintesis cortisol. 1,7
d.Produksi CRH plasental
CRH disintesis oleh plasenta. Kemampuan cortisol untuk menstimulasi CRH plasental memungkinkan fetus untuk masuk dalam kaskade endokrin yang tidak akan terpisahkan hingga akhir persalinan. 1
Kadar CRH plasma maternal ditemukan rendah pada trimester pertama dan meningkat pada pertengahan kehamilan hingga waktu persalinan. 12 minggu sebelum akhir masa gestasi, CRH plasma mengalami kenaikan secara mendadak. CRH yang dihasilkan oleh cairan amnion ditemukan meningkat pada akhir kehamilan. Sedangkan CRH dalam tali pusar lebih rendah dibandingkan sirkulasi maternal tetapi kadarnya masih dapat memacu proses steroideogenesis kelenjar adrenal fetus. 1
CRH merupakan satu-satunya hormon tropic yang memiliki releasing factor yang berikatan dengan spesific serum binding protein. Selama masa kehamilan, CRH-binding protein (CRH-BP) berikatan dengan CRH yang bersirkulasi dalam pembuluh darah ibu. Adanya reaksi ikatan tersebut membuat inaktivasi dari aktivitas plasenta untuk menghasilkan ACTH. Pada kehamilan trimester akhir, kadar CRH-BP dalam plasma maternal dan cairan amnion menurun dimana pada saat yang bersama-an pun kadar CRH meningkat tajam yang menunjukkan adanya aktivitas CRH yang tinggi. 1
Dalam kehamilan, kondisi kesejahteran janin dapat terganggu oleh berbagai macam komplikasi, konsentrasi CRH fetus-cairan amnion-maternal plasma yang meningkat. Peningkatan kadar CRH akan menghasilkan kadar CRH-BP yang subnormal. Peningkatan produksi CRH plasental dalam kehamilan normal dan adanya ekstresi CRH plasental yang berlebihan pada kehamilan resiko tinggi akan meningkatkan sintesis cortisol fetus. 1
e.Pengaruh CRH dalam persalinan
CRH plasental diduga memegang peranan penting dalam regulasi persalinan. Pertama, CRH plasental akan meningkatkan produksi cortisol fetal yang akan memberikan feedback positif pada plasenta sehingga produksi CRH dalam jumlah lebih banyak. Dengan demikian diperoleh kadar CRH yang tinggi yang dapat mengawali terjadinya kontraksi miometrium. Kedua, kortisol diduga telah berefek pada miometrium secara tidak langsung melalui membran plasenta yang meningkatkan sintesis prostaglandin. CRH diduga dapat merangsang sintesis adrenal steroid C19, yang dapat meningkatkan aromatisasi substrat plasenta dan menghasilkan elevasi estrogen yang dapat membuat pergeseran ratio estrogen ke rasio progesteron serta memperlihatkan ekspresi dari sejumlah protein kontraktil dalam miometrium yang menyebabkan miometrium tidak lagi dalam keadaan tenang. 1
Beberapa penelitian telah menduga bahwa peningkatan kadar CRH pada akhir gestasi menunjukkan adanya suatu hubungan antara fetus dan plasenta.
Gambar4. Regulasi proses kelahiran.11
Gambar 5 Gambaran kaskade plasenta-fetal. Pada kehamilan akhir, Corticotropin Releasing Hormone (CRH) menstimulasi fetal adrenal production of dehydroepiandrosterone sulfate (DHEA-S) dan cortisol. Cortisol menstimulasi produksi CRH plasenta, yang kemudian mempertinggi adrenocorticotropic hormone (ACTH). 1
f.Persalinan terlambat dan anomali fetus
Ada sebagian bukti bahwa kehamilan dengan hipoestrogenism terkadang berkaitan dengan pemanjangan waktu gestasi. Contoh kasus yang termasuk dalam persalinan terlambat (delayed parturition) yaitu anencephali, hipoplasia adrenal dan defisiensi plasental sulfatase. 1
Abnormalitas lainnya seperti renal agenesis (mengurangi jumlah urin masuk ke cairan amnion) atau hipoplasia pulmonal tidak memperpanjang waktu kehamilan. Oleh karena itu, sinyal fetal melalui jalur parakrin dari hubungan feto-maternal tidak dapat digunakan sebagai inisiasi persalinan. 1
Anomali kepala dan tulang punggung fetus terkadang menghambat waktu persalinan. Kelainan kongenital berupa tidak adanya hipofisis dapat memperpanjang gestasi beberapa minggu. Hipoplasia adrenal dikaitkan dengan persalinan terhambat. Malpas (1933) melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa kehamilan wanita dengan fetus anencephali memiliki waktu gestasi rata-rata 374 hari (53 minggu). Dia menyimpulkan bahwa ada hubungan antara anencephali dan gestasi yang memanjang disebabkan karena kelainan dari fungsi otak-hipofisis- adrenal. Kelenjar adrenal dari bayi anencephali sangat kecil dan pada saat matur, ukuran kelenjarnya hanya sekitar 5-10 persen dari ukuran normal kelenjar adrenal bayi normal, hal itu disebabkan karena kegagalan perkembangan zona fetus yang pada keadaan normal daerah tersebut digunakan untuk biosintesis masa adrenal dan steroid C19. 1
2.2.6 Faktor penting pada fase 2 persalinan
Fase 2 persalinan merupakan fase kontraksi uterus yang menimbulkan proses dilatasi serviks yang progresif dan proses kelahiran. Beberapa penelitian telah melakukan investigasi mengenai kemungkinan akan peningkatan formasi uterotonin yang merupakan inisiasi dari persalinan. 1
Beberapa faktor yang berpengaruh dalam persalinan:
- Oksitosin
Pada kehamilan trimester akhir, terutama pada fase 1 persalinan terjadi peningkatan reseptor oksitosin miometrium. Dengan adanya peningkatan reseptor tersebut maka terjadi peningkatan kontraksi uterus dan miometrium lebih responsif terhadap oksitosin. Sehingga jika terjadi prolong gestasi dapat disebabkan karena keterlambatan peningkatan reseptor oksitosin. 1
Oksitosin bersifat uterotonika yang digunakan untuk menginisiasi persalinan. Oksitosin merupakan suatu nanopeptida yang disintesis dalam neuron magnoseluler dari neuron supraoptik dan paraventricular. Prohormon oksitosin dibawa dengan protein carrier neurophysin yang terletak di hipofisis posterior. Oksitosin prohormon dikonversikan secara enzimatis ke dalam bentuk oksitosin selama proses transport. Oksitosin tidak menyebabkan inisiasi persalinan namun merupakan salah satu zat aktif yang efektif dalam persalinan aktif. Oksitosin berperan sebagai reseptor heptahelical yang mengaktivasi fosfolipase. Oksitosin juga sangat penting dalam fase 3 persalinan. 1
Beberapa pendapat mengenai oksitosin:
ü Reseptor oksitosin dalam miometrium dan jaringan desidua mengalami peningkatan drastis pada saat menjelang akhir masa gestasi
ü Oksitosin berperan dalam jaringan desidua untuk merangsang pelepasan prostaglandin
ü Oksitosin disintesis secara langsung dalam desidua dan jaringan ekstraembrionik dan dalam plasenta
Fakta mengenai oksitosin : Peningkatan oksitosin maternal selama stadum 2 persalinan (akhir fase ke-2 persalinan), dalam periode awal post partum dan selama pemberian air susu ibu (fase 3persalinan). Adanya peningkatan pelepasan oksitosin merupakan indikator bahwa oksitosin dihasilkan pada akhir persalinan atau sekitar masa nifas. Segera setelah kelahiran bayi,plasenta dan membran plasenta (fase lengkap ke-2), akan terjadi kontraksi yang kuat dan persisten dan terjadi retraksi uterus sehingga mencegah terjadinya perdarahan post partum. Oksitosin meyebabkan kontraksi yang persisten. 1
Infus oksitosin akan merangsang peningkatan kadar mRNAs dalam miometrium sehingga gen tersebut dapat mengkode protein esensial untuk involusi uterus. Protein esensial tersebut terdiri dari colagenase, monosit chemoattractant protein-1, interleukin-8, urokinase plasminogen activator receptor. Oleh karena itu, kerja oksitosin pada akhir persalinan dan selama fase ke-3 persalinan dapat digunakan untuk involusi uterus. 1
- Prostaglandin
Prostaglandin terutama PGF2a dan PGE2 berperan dalam fase 2 persalinan.
Beberapa fakta yang mendukung teori diatas:
- Kadar prostaglandin (termasuk metabolitnya) dalam cairan amnion, plasma maternal dan urin maternal meningkat selama proses kelahiran
- Terapi wanita hamil menggunakan prostaglandin yang diberikan dalam jalur apapun dapat menyebabkan aborsi dan kelahiran janin dalam semua stadium gestasi
- Pemberian inhibitor prostaglandin H sintase tipe 2 (PGHS-2) pada wanita hamil akan menghambat onset persalinan spontan dan terkadang dapat digunakan untuk persalinan prematur.
- Prostaglandin yang digunakan untuk otot miometrium secara in vitro menyebabkan kontraksi, bergantung pada percobaan prostanoid dan status fisiologis dari jaringan. 1
Untuk mengetahui sumber prostaglandin dalam cairan amnion pada saat persalinan, maka perubahan anatomi yang melibatkan membran plasenta fetalis selama dilatasi serviks perlu dibahas lebih mendalam. Sebelum persalinan dimulai, membran plasenta menempel pada desidua vera dimana pada segmen bawah rahim, membran sangat tipis dan lambat terbentuk. Bagian bawah kantung amnion terdorong dari dinding uterus, fragmen desidua parietalis tetap menempel keras pada permukaan luar dari chorion laeve. 1
Fenomena normal dari persalinan dini merupakan suatu keadaan dimana terjadi dilatasi serviks dini. Bagian bawah dari segmen bawah rahin dan sebagian serviks merupakan bagian yang paling mudah mengalami dilatasi. Ketika servik dibuka, janin akan melalui serviks, seperti air mengisi balon sehingga tekanan meningkat dan mendorong isinya melalui rongga berbentuk silinder. Area permukaan berisi janin akan meningkatkan progresifitas dilatasi serviks selama fase 2 persalinan. Permukaan luar dari amnion melekat pada bagian avaskuler dari chorion laeve/ sedangkan jaringan desidua yang mengalami trauma dan devaskularisasi terlepas dari uterus dan menimbulkan garis ireguler. 1
Menjelang persalinan kadar sitokin lebih besar dalam kantung kehamilan dibandingkan di dalam kantung amnion. sitokin dalam kantung kehamilan diduga akan meningkatkan kadar prostaglandin yang dihasilkan oleh amnion. mediator inflamasi memfasilitasi terjadinya dilatasi serviks dan segmen bawah rahim. Sitokin dan kemokin akan memandu terjadinya degradasi, peningkatan kadar asam hialuronat dan menyebabkan masuknya leukosit ke dalam uterus. Dengan adanya peningkatan sitokin dan prostaglandin menyebabkan degradasi lebih lanjut dari matriks ekstraseluler yang menimbulkan perlunakan dari membrana plasenta. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam proses persalinan ditandai dengan perubahan cepat dari serviks. 1
- Platelet Activating Factor (PAF)
Reseptor PAF termasuk kedalam reseptor heptahelical dan berfungsi untuk meningkatkan kalsium dalam sel miometrium dan meningkatkan kontraksi uterus. Kadar PAF dalam cairan amnion meningkat selama kehamilan, dan pemberian PAF dalam jaringan miometrium akan meningkatkan kontraktilitas. Seperti halnya prostaglandin, sitokin, endothelin-1, PAF juga diproduksi dalam leukosit sebagai hasil dari proses inflamasi yang berkembang pada saat dilatasi serviks yang ditimbulkan akibat trauma dari kantung kehamilan. 1
PAF diinaktivasi secara enzimatis oleh enzim PAF asetilhidrolase. Enzim ini tampak dan diproses dalam makrofag dan banyak ditemukan dalam sel desidua. Miometrium dapat diproteksi dari aksi PAF lewat enzim PAF asetilhidrolase, dimana enzim PAF asetilhidrolase ini berfungsi sebagai uterotonika. Oksitosin dihambat oleh oksitosinase, endothelin-1 dihambat oleh enkefalinase, prostaglandin oleh prostaglandin dehidrogenase. 1
- Endothelin-1
Endothelin sangat berpengaruh kuat dalam menginduksi kontraksi miometrium, dan reseptor endothelin terdapat dalam miometrium. Reseptor endotehelin-A memiliki efek dalam meningkatkan kalsium intraseluler, melalui ikatan antara G-aq dan G-ai dari komponen protein G. Endothelin \-1 diproduksi oleh miometrium, cairan amnion. endothelin \-1 tidak dapat ditransportasikan dari cairan amnion ke miometrium tanpa proses degradasi. Enkefalinase mengkatalisis degradasi dari endothelin-1. Pada keadan ruptur membran dini juga dipengaruhi oleh endothelin-1. 1
- Angiotensin II
Terdapat 2 reseptor heptahelical G-protein yang terdapat dalam angiotensin II yang diekspresikan dalam uterus. Pada wanita tidak hamil ditemukan banyak reseptor AT2 tetapi pada wanita hamil banyak ditemukan reseptor AT1. Hal tersebut yang menjelaskan mengapa wanita tidak hamil tidak mengalami kontraksi ketika diberikan AT2. AT2 berikatan dengan reseptor membran plasma pada otot polos sehingga menimbulkan kontraksi. Pada kehamilan, otot polos akan mengekspresikan reseptor AT2. AT2 mendekati persalinan akan berfungis sebagai uterotonika pada fase 2 persalinan sehingga meningkatkan masuknya kalsium kedalam sel miometrium. 1
- CRH, hCG dan PTH-rP
Pada kehamilan trimester akhir, terjadi modifikasi dari reseptor CRH, hCG atau PTH-rP atau ikatan dengan protein G dalam miometrium yang memudahkan terjadinya perubahan formasi cAMP dalam miometrium sehingga meningkatkan terjadinya kalsium. Oksitosin akan menstimulasi CRH sehingga mengakumulasikan cAMP dalam miometrium dan CRH akan menimbulkankontraksi melalui pemberian oksitosin. CRH dapat meningkatkan kontraktilitas miometrium jika berinteraksi dengan PFG. 1,7
Jaringan intrauterin yang mendukung terjadinya persalinan:
v Amnion
Amnion merupakan membran yang memiliki kekuatan regang yang tinggi dan tahan terhadap tarikan dan ruptur. Amnion avaskuler bersifat tahan terhadap penetrasi leukosit, mikroorganisme dan sel neoplastik. Amnion melindungi jaringan maternal dari komponen-komponen yang terdapat dalam carian amnion yang dapat mengganggu fungsi desidua atau miometrium seperti timbulnya emboli cairan amnion. 1
Beberapa peptida dan prostaglandin yang disintesis dalam amnion akan menimbulkan relaksasi atau kontraksi. Pada akhir gestasi, amnion akan memproduksi prostaglandin lebih banyak. Amnion akan meningkatkan aktivitas fosfolipase A2 dan PGHS-2 pada akhir gestasi. Sumber utama prostaglandin dalam cairan amnion berasal dari amnion. 1
v Chorion laeve
Chorion mirip dengan amnion yaitu melindungi jaringan terutama dari proses immunologis. Chorion laeve diperkaya dengan enzim yang menginaktivasi uterotonika seperti prostaglandin dehidrogenase (PGDH), oksitosinase dan enkefalinase. Hampir sebagian besar waktu gestasi, prostaglandin yang diproduksi oleh amnion dapat dilepaskan kedalam cairan amnion atau dimetabolis ke chorion sekitarnya. pada kasus ruptur membran, barier akan hilang dan prostaglandin dapat mengenai daerah sekitar desidua dan miometrium. Kadar PGDH dalam chorion dapat diregulasi sehingga dapat mencegah terjadinya kehamilan yang terkomplikasi. Progesteron juga mengatur ekspresi PGDH chorion, dimana pada saat yang bersamaan juga cortisol akan menurun. PGDH akan menurun pada akhir masa gestasi ketika produksi cortisol meningkat dan terjadi perubahan hormon progesteron. Fungsi prostaglandin dalam menginisiasi persalinan pada fase 1 masih diperdebatkan, namun pada fase2, prostaglandin sangat penting dalam terjadinya persalinan dan masih berperan sampai dengan fase 3 yaitu untuk involusi uterus. 1
v Desidua parietalis
Hasil metabolisme dari desidua parietalis menginisiasi persalinan. Pada keadaan trauma, hipoksia dan paparan langsung terhadap desidua oleh endotoksin lipopolisakarida, mikroorganisme dan interleukin 1-B dalam cairan vagina akan mencetuskan reaksi peradangan yang dapat menimbulkan dimulainya persalinan (Gary C., Kenneth J., Steven L.,etc, 2005).
Saat reaksi peradangan mulai terjadi, beberapa sitokinyang diproduksi akan meningkatkan produksi zat uterotonika (terutama prostaglandin) atau akan beraksi secara langsung pada miometrium untuk menyebabkan kontraksi. Sitokin-sitokin terdiri dari tumor necrosis fakctor –a (TNF-) dan interleukin 1,6,8,12. Sitokin-sikotikn ini akan beraksi sebagai kemokin yang menarik neutrofil dan eosinofil ke dalam uterus sehingga pada akhirnya akan meningkatkan aktivitas uterus dan persalinan. 1,7
2.3 Fisiologis Persalinan Prematur
Persalinan prematur ialah persalinan yang terjadi dibawah usia kehamilan 37 minggu dengan perkiraan berat janin kurang dari 2500 gram. Persalinan prematur merupakan salah satu persalinan yang ditakutkan karena sering berkaitan dengan adanya anomali kongenital, dan sering dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas dari bayi. 1,4
Persalinan prematur dapat dikategorikan kedalam tiga pembagian:
- Komplikasi kehamilan dan terkadang disebabkan karena kesehatan ibu, sering disebabkan karena tindakan medis atau penyebab iatrogenik (25%)
- Ketuban pecah dini sering diikuti dengan persalinan prematur (25%)
- Persalinan prematur spontan pada membrana yang intak ( 50%).1
Dikatakan ketuban pecah dini jika terjadi ruptur spontan dari membran yang terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu dan sebelum terjadinya onset persalinan. Penyebab Ketuban pecah dini (KPD) sangat bermacam-macam, tetapi penyebab tersering yaitu infeksi intrauterine. 1
Patogenesis KPD berkaitan dengan peningkatan apoptosis pada komponen seluler dari membran seperti peningkatan enzim protease pada membran dan cairan amnion. Kebanyakan regangan pada membran plasenta didukung oleh adanya matriks ekstraseluler di dalam amnion. Kolagen dalam amnion interstitial, terutama tipe 1 dan III diproduksi oleh sel mesenkimal dan merupakan komponen struktural yang sangat penting untuk menjaga ketegangan membran. 1
Matriks metalloproteinase (MMP) berperan dalam remodelling jaringan normal dan degradasi kolagen. MMP-2, MMP-3, MMP-9 banyak ditemukan dalam cairan amnion pada kehamilan dengan KPD. Aktivitas dari MMP diregulasi oleh enzim TIMPs (tissue inhibitors of matrix metalloproteinases). Beberapa dari TIMP ditemukan di dalam cairan amnion dalam konsentrasi rendah wanita dengan KPD. Peningkatan protease ditemukan pada saat terjadi penurunan ekspresi inhibitor protease. Adanya peningkatan protease mendukung perubahan ketegangan amnion dan peningkatan insidensi dari KPD. Ekspresi MMPs dapat ditingkatkan dengan pemberian IL-1, TNF-a dan IL-6, oleh karena itu induksi MMP akan mendukung terjadinya proses inflamasi. 1
Dengan adanya penghancuran kolagen, amnion pada KPD akan menunjukkan peningkatan kematian sel-sel yang tampak pada amnion trimester akhir. Marker apoptosis meningkat pada membran KPD. Pada studi in vitro menunjukkan bahwa apoptosis diregulasi oleh endotoksin bakterial, IL-1B dan TNF-a. Dari hasil beberapa penelitian maka dapat disimpulkan bahwa KPD terjadi karena adanya penghancuran kolagen dan kematian sel akan memicu terjadinya kelemahan amnion. 1
Sebuah survei dari 18 studi antara tahun 1979 dan 2000, dengan subjek 1462 wanita dengan KPD ditemukan adanya bakteri pada cairan amnion. oleh karena itu untuk mencegah terjadinya KPD sering diberikan profilaksis antimikroba. 1
2.3.2 Persalinan Prematur Spontan
Kehamilan dengan membran intak dan persalinan prematur spontan secara klinis harus dibedakan dengan persalinan karena ruptur membran. Kehamilan gemeli, infeksi intrauterin, perdarahan, infark plasenta, dilatasi prematur serviks, incompeten serviks, abnormalitas uterus dan anomali janin sering menyebabkan persalinan prematur spontan. Penyakit ibu yang berat sebagai hasil dari infeksi non-obstetric, penyakit autoimun dan hipertensi gestasional meningkatkan insidensi terjadinya persalinan prematur. Kelainan-kelainan tersebut sering menyebabkan persalinan prematur spontan (50%).1
Meskipun banyak sekali faktor yang menyebabkan persalinan prematur, namun faktor janin atau maternal memegang peranan penting dalam terjadinya onset persalinan prematur. 1
Tiga faktor utama penyebab persalinan prematur spontan yaitu distensi uterus, stres feto-maternal dan infeksi.
- Distensi uterus
Selain itu peregangan uterus pada miometrium juga mengaktivasi dini kaskade plasenta-fetus-endokrin. Akibat dari perengangan uterus juga sering berefek pada serviks. Panjang serviks sangat penting dalam kehamilan gemeli. Kelahiran prematur meningkat jika terjadi perengangan dini dan aktivitas endoktrin yang dapat menginisiasi terjadinya kontraksi dini miometrium termasuk pematangan serviks dini. 1
Rahim yang menjadi besar dan merenggang menyebabkan iskemia otot-otot rahim dan, sehingga mengganggu sirkulasi uteroplasenter.12
- Stres feto-maternal
Dengan didukung oleh beberapa hipotesis dikatakan bahwa persalinan prematur dipengaruhi oleh sirkulasi CRH maternal. Kadar CRH pada wanita hamil matur dan prematur hampir mirip namun pada wanita yang memiliki kecenderungan melahirkan bayi prematur akan menampakkan kadar CRH yang meningkat 2-6 minggu lebih cepat. Peningkatan kadar CRH mulai tampak dari kehamilan 18 minggu. 1
CRH plasental juga dapat memasuki sirkulasi fetus. Pada studi invitro dikatakan bahwa CRH dapat menstimulasi produksi adrenal DHEA-s dan kortisol secara langsung. Jika persalinan prematur dikaitkan dengan aktivasi prematur dari kaskade endokrin fetus-adrenal-plasental endokrin, maka hal itu dapat dikatakan bahwa kadar estrogen maternal akan dapat meningkat sebelum waktunya, begitupun dengan kadar CRH yang meningkat sebelum waktunya. Secara fisiologis, peningkatan kadar estrogen dini akan merubah keadaan miometrium menjadi tidak tenang. 1
- Infeksi
Diperkirakan sekitar 40 persen dari persalinan prematur disebabkan karena infeksi intrauterin. Konsep ini dibuat karena adanya dugaan penyebaran infeksi yang bersifat subklinis yang sering terjadi mengikuti insidensi dan menjadi penyebab persalinan prematur. Keadaan subklinis digunakan untuk mendeskripsikan keadaan infeksi intrauterin yang disertai dengan sedikit atau adanya bukti infeksi, tidak ditemukannya mikroorganisme dari dalam cairan amnion. 1
Hasil kultur positif adanya kuman dalam cairan amnion pada persalinan prematur hanya ditemukan pada sekitar 10-40 persen kelahiran prematur, rata-rata sekitar 13 persen. Pada wanita tersebut sering mengalami chorioamnionitis dan KPD dibandingkan wanita hamil dengan hasil kultur negatif. Selain itu wanita dengan kultur positif memiliki resiko melahirkan neonatus dengan komplikasi. Semakin cepat onset persalinan prematur, semakin tinggi resiko terkena infeksi cairan amnion. Pada waktu yang bersamaan, insidensi kultur cairan amnion yang positif dikumpulkan dengan amniosentesis pada persalinan normal lebih banyak dibandingkan dengan persalinan prematur. Hal ini diperkirakan karena pada saat persalinan normal, cairan amnion terinfiltrasi oleh bakteri yang terjadi pada saat proses persalinan berlangsung, walaupun pada kehamilan prematur yang menunjukkan adanya bakteri merupakan tanda signifikan. Endotoksin dapat menstimulasi cairan amnion untuk mensekresikan sitokin yang dapat masuk melalui cairan amnion. 1
Kuman dapat mencapai jaringan intrauterin melalui jalur transplasental dari infeksi sitemik maternal, secara retrograde melalui cavum peritoneal via tuba fallopii dan melalui infeksi asceding lewat vagina dan serviks. Empat stadium dari infeksi intrauterin yaitu invasi mikroba yang termasuk vaginosis bacterial (stadium 1), infeksi desidual (stadium 2), infeksi amnion (stadium 3), dan infeksi sistemik fetus (stadium 4). Mikroorganisme yang terdapat dalam vagina atau serviks akan naik ke atas dan berkoloni pada desidua dan mengenai membran plasenta,kemudian masuk ke dalam kantung amnion. kuman-kuman kemudian menghasilkan lipopolisakarida atau toksin yang akan menginduksi produksi sitokin dalam sel-sel desidua, membran dan dalam fetus sendiri. Baik lipopolisakarida dan sitokin-sitokin meningkat karena adanya pelepasan prostaglandin dari membran plasenta, desidua atau keduanya. 1
Kuman yang diduga berkaitan dengan kelahiran prematur yaitu Gardnerella vaginalis, Fusobacterium, Mycoplasma hominis, Ureaplasma urealyticum. 1
Adanya pengaruh ligand liposakarida bacterialis menyebabkan peningkatan pelepasan lokal kemokin, sitokin dan prostaglandin sebagai bagian dari respon inflamasi. Sebagai contohnya, IL-1B diproduksi secara cepat setelah stimulasi lipopolisakarida. IL-1 berkerja dengan cara meningkatkan respon terhadap peningkatan sintesis sitokin lainnya seperti TNF-a, IL-6, IL-8, proliferasi, aktivasi dan migrasi leukosit, modifikasi matriks ekstraseluler, mitogenik dan efek sitotoksik termasuk panas dan respon akut. IL-1 juga bekerja untuk memicu pembentukan prostaglandin pada beberapa jaringan meliputi miometrium, desidua dan amnion. 1
Sitokin yang diproduksi oleh desidua maternal dan miometrium dapat berefek pada lokasi produksinya. Leukosit terutama neutrofil, makrofag dan sel limfosit T akan menginfiltrasi bagian serviks, segmen bawah rahim dan fundus pada waktu persalinan. Penelitian lain dapat menunjukkan bahwa leukosit akan menginvasi membran dan serviks melalui persalinan prematur. Oleh karena itu, invasi leukosit merupakan sumber sitokin yang pertama. 1
Leukosist diduga sebagai sumber utama sitokin miometrium yang meliputi IL-1, IL-6, IL-8, TNF-a, meskipun dalam sel desidua baik sel stroma dan leukosit saling bekerja sama dalam menghasilkan sitokin. Dalam serviks, sel epitel permukaan dan glandular tampaknya ikut memproduksi IL6,8,TNF-a. pada kenyataannya IL-8 dianggap sebagai sitokin utama dalam proses pematangan servikal dan diproduksi oleh sel epitel dan sel stromal serviks. 1
Infiltrasi leukosit dapat diregulasi oleh sintesis membran plasenta yang memproduksi kemokin. Pada persalinan matur, didapatkan peningkatan konsentrasi dari MCP-1 (monocyte-macrophage activator). MCP-1 dianggap sebagai faktor yang menginisiasi infiltrasi leukosit dalam plasenta dan membran, dengan kata lain produksi MCP-1 merupakan suatu marker adanya infeksi intra-amnion dan inflamasi.1
BAB III
KESIMPULAN
Fase-fase kelahiran terdiri dari empat fase penting yang menunjukkan adanya transformasi dari uterus. Banyak sekali faktor yang berpengaruh terhadap fase-fase persalinan baik faktor fisiologis maupun kimiawi. Infeksi intrauterine merupakan infeksi yang secara signifikan menyebabkan persalinan prematur idiopatik yang spontan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar